LOGINWanita yang mematung terhipnotis perlahan kesadarannya kembali, sorot matanya kembali hidup, namun sayang ketika ia sadar malah di hadapkan pada pemandangan yang membingungkan.
Seorang pria tengah berguling-guling di tanah berteriak kepanasan sementara pria paruh baya di depannya berusaha melakukan sesuatu namun tak berdaya. Raven menoleh pada wanita itu, “Nona anda sudah sadar?” “Apa yang terjadi?” tanya wanita itu kebingungan. “Akan kujelaskan nanti, bisakah kau menolongku untuk membawa pria yang menolongmu ini ke tabib?” Sang wanita mengerutkan dahi makin tak mengerti, namun ia mendekati Dean, dan mengecek suhu tubuhnya. “Kebetulan aku adalah seorang perawat, lebih baik kita bawa dia ke rumahku,” ujar wanita itu sambil membantu Dean duduk. Sementara wanita itu mengurus Dean, Raven masih sempat memulung belanjaannya yang berantakkan tadi, “Ya kebetulan yang menguntungkan, aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya, dia tiba-tiba kepanasan seperti itu setelah ….” Raven tak meneruskan kata-katanya, ia mendekati wanita itu sambil membawa keranjang belanjaannya, dan menatap netranya yang terlihat penasaran dengan kelanjutan kata-katanya. “Setelah apa?” tanya wanita itu tak sabar. Raven memberikan keranjang belanjaannya pada wanita itu, dan mendekat, “Setelah dia membunuh Vampir yang mengincar lehermu!” jawab Raven. Sang wanita terkejut melongo sambil menggenggam erat keranjang belanjaan Raven, melampiaskan hatinya yang syok. “Tolong bawakan keranjang belanjaanku, sementara aku menggendong anak ini, tuntun kami ke rumahmu. Apa itu jauh?” “Oh, i-iya rumahku dekat dari pasar malam ini, mari Tuan ikuti aku!” Raven tak memberikan wanita itu kesempatan untuk terlarut dalam perasaan syoknya, dengan cepat Dean di bawa ke rumah wanita itu yang berada di ujung pasar. Sesampainya di rumah sang wanita, Dean di baringkan, wanita itu memeriksa denyut nadi Dean yang tak normal. Suhu tubuhnya pun turun tapi Dean masih mengeluh betapa panas ia rasakan di seluruh tubuhnya. Kulitnya tampak pucat seperti kulit Vampir. “Aku tak mengerti, ia baik-baik saja setelah aku periksa, hanya saja denyut nadinya tak normal, tapi aku akan memberikan minuman obat padanya,” tutur wanita itu. Raven mengangguk, ia lalu menyelimuti Dean. “Nona aku tak punya uang untuk membayar jasamu, tapi kami telah menolongmu dari Vampir itu, anggap saja ini sebagai balas budimu pada kami. Impas ‘kan?” Wanita itu tersenyum sambil meracik obat untuk Dean, “Tentu Tuan, bahkan jika kita tak pernah ada hutang budi sekalipun, aku akan tetap membantu orang-orang yang sakit.” Raven tersenyum tipis mendengar kata-kata wanita itu, ia biarkan sang wanita memberikan obat buatannya pada Dean. Hari sudah semakin larut, wanita itu mempersilakan Raven dan Dean untuk menginap mengingat kondisi Dean belum pulih betul untuk pulang ke tengah hutan. Raven tertidur sambil duduk di samping ranjang Dean, sementara Dean sudah tampak tenang dan tertidur setelah meminum obat dari wanita itu. Tengah malam sudah lewat menembus fajar, suara liar nyamuk yang berterbangan terasa lebih berisik dari biasanya, Dean membuka matanya perlahan melihat nyamuk-nyamuk berterbangan dengan sangat lambat. Ia mengerutkan dahi. Baru pertama kali ia dapat melihat nyamuk sejelas ini, ia tepuk nyamuk itu dengan mudah. Suara tepukan itu rupanya telah membangunkan Raven. Raven membulatkan netranya tatkala melihat gerakan Dean yang sangat cepat menepuk nyamuk-nyamuk itu. “K-kau …?” “Eh paman terbangun gara-gara aku ya? Maaf tapi nyamuk-nyamuk ini rasanya mengganggu.” Dean menepuk telapak tangannya membersihkan dari nyamuk-nyamuk yang menempel di telapak tangannya. “Ba-bagaimana bisa gerakanmu secepat itu?” Raven menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dean hanya mengangkat bahunya tak mengerti. Lalu suara langkah kaki di atap terdengar begitu jelasnya, tercium bau teh oleh Dean yang masih duduk di ranjangnya. “Mmh, wangi teh. Wanita itu pasti akan kemari,” ujar Dean. “Apa? Siapa yang kemari? Ini masih fajar, mungkin wanita itu masih tidur di lantai dua.” ujar Raven yang kemudian bersandar santai di kursinya. Satu menit kemudian apa yang di katakan Dean benar saja, wanita itu turun dari lantai dua rumahnya sambil membawa nampan dengan dua cangkir teh di atasnya. Raven melongo ketika wanita itu datang, bagaimana mungkin langkah kecil wanita ini terdengar oleh Dean, juga wangi teh yang baru tercium baunya ketika di sajikan di depan mata. Raven menoleh heran pada Dean saat wanita itu menghidangkan teh di depan mereka. “Tadi aku ke toilet di ujung tangga lantai dua, kudengar kalian sudah bangun. Jadi kusajikan teh hangat ini. Bagaimana keadaanmu, Nak?” tanya wanita itu. “Ya, sudah lebih baik, Nona …, terimakasih sudah merawatku.” Raven dan Dean meminum teh yang di sajikan, Raven memandang wanita di depannya lalu tersenyum. “Karena ini sudah fajar, ada baiknya kami pamit pulang, perjalanan cukup jauh, kuda kami di titipkan pula di lapang samping pasar, sudah terlalu lama kami pergi, khawatir kuda kami di curi orang,” ujar Raven sembari meletakkan cangkir teh di atas meja. Dean pun setuju dengan Raven, ia bersiap juga memakai jubahnya kembali. Kemudian wanita itu bergegas mengambil keranjang belanjaan Raven dan memberikannya ke depan pria ini. “Ini keranjang belanjaan kalian, aku sudah menambahkannya dengan bahan-bahan pokok milikku, anggap saja ini rasa terima kasihku karena telah menyelamatkan nyawaku,” ujar wanita itu sambil tersenyum pada Raven. Raven menerimanya dengan senang hati, matanya berbinar sambil tersenyum menatap wanita di hadapannya. “Terima kasih kembali, padahal sudah cukup kau balas dengan merawat anak ini. Oh iya siapa namamu?” Tanya Raven. “Olea, dan Anda?” “Raven, dan anak ini Dean,” ujar Raven sembari menunjuk Dean. Mereka pun pamit dari rumah Olea dengan keranjangan belanjaan yang lebih penuh. Mereka berjalan menyusuri pasar yang nampak lenggang, para pedagang sebagian telah membereskan dagangannya. Sambil berjalan menuju lapangan di mana kuda-kuda berada, Raven penasaran apa yang Dean rasakan saat ini. “Sebenarnya apa yang terjadi? Aku menangkap beberapa keanehan padamu setelah kepanasan, tapi aku belum bisa menyimpulkan apa itu,” imbuh Raven. “Keanehan? Ya, aku pun merasakan sesuatu yang aneh di tubuhku sekarang. Seingatku setelah aku membunuh Vampir itu, darahnya masuk ke mulutku, aku tak sengaja menelannya …, tiba-tiba tubuhku rasanya panas, terutama tenggorokanku,” tutur Raven. Raven mengangguk dengan kerutan di dahinya, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing hingga mereka tiba di lapangan dan mencari kudanya. Banyak kereta kuda juga terparkir di sana, para pedagang berlalu lalang membawa barang dagangan mereka, serta jasa transportasi kereta kuda juga begitu padat. Hari yang sibuk telah datang di pagi buta. Raven kesulitan menemukan kuda mereka meski lonceng telah di kalungkan di leher kuda itu. “Diam dulu paman, aku hafal bunyi lonceng kuda kita,” ujar Dean. Telinga menangkap berbagai suara, namun ia memilahnya dengan cepat, suara lonceng yang khas dari kuda mereka begitu nyaring terdengar. Dean menoleh kebelakangnya, “Aku mendengar rintihan dan lonceng kuda kita di sana.” Ia menunjuk arah ke sebuah bangunan dari kayu. “Tapi kita tak menitipkannya di sana ‘kan?” tanya Raven ragu. “Tapi aku benar-benar mendengar kuda kita di sana, Paman!” Dean berjalan mendekati bangunan kayu itu. Di susul Raven walau sebenarnya ia ragu. Di bukanya pintu bangunan itu, benar saja kuda mereka berada di sana, seakan mengerti dengan kehadiran pemiliknya, kuda itu melompat girang dengan suaranya yang riang. Dean menghampiri kuda itu dan mengelusnya dengan kasih sayang. “Bagaimana bisa kau tahu? Itu mustahil!” Raven semakin tertegun dengan kemampuan Dean sekarang.Langit di atas Dawnshire kelabu, seolah matahari enggan menampakkan sinarnya. Kabut tipis merayap di antara rumah-rumah tua yang sebagian besar telah ditinggalkan manusia. Aroma tanah basah bercampur dengan bau samar darah yang masih melekat di jalanan berbatu. Di beranda sebuah rumah besar yang dindingnya mulai ditelan lumut, seorang pria tinggi berdiri tegak. Dracula, pemimpin para vampir, mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang ujungnya hampir menyentuh tanah. Matanya bersinar merah redup di bawah langit mendung saat ia mengangkat tangannya dan berseru lantang, "Wahai kaumku, berkumpullah di Eldoria Sanctum, keadaan kita sedang genting." Suara beratnya menggema di seantero desa, bergema melalui angin yang berdesir. Para vampir yang bersembunyi di bayang-bayang mulai bermunculan. Sebagian menjawab panggilannya dengan erangan kecil, lalu membungkuk hormat sebelum menghilang dalam kabut hitam pekat. Ada yang m
Pertanyaan Raven juga justru mengganggu pikiran Dean. Pekikkan suara kuda yang begitu nyaring, hentakkan sepatu kuda, semua bercampur dengan desiran suara angin. Pergerakan orang-orang di sekitarnya begitu jelas terbaca walau hanya dari suara yang di timbulkan.Bahkan suara nafas Raven di sampingnya terdengar begitu jelas. Perubahan dalam dirinya begitu drastis tak ia mengerti.Raven menepuk bahunya, menyadarkannya dari hal yang membingungkan. Raven mengajaknya pulang menunggangi satu kuda.Hari sudah pagi, banyak orang semakin padat berlalu lalang. Tempat pasar malam kini telah bersih berganti dengan hiruk pikuk kendaraan kereta kuda.Dean sangat ingin duduk di kereta kuda sekarang, karena satu kuda ini di tunggangi dirinya dan Raven serasa sempit, mau tak mau Dean jadi harus menempel pada punggung Raven. Namun apa daya, Raven hanya mampu membeli satu kuda saat iniDilihatnya keranjang belanjaan yang tampak penuh di genggamannya, ia duduk di belakang kemudi Raven dengan tak nyaman, k
Wanita yang mematung terhipnotis perlahan kesadarannya kembali, sorot matanya kembali hidup, namun sayang ketika ia sadar malah di hadapkan pada pemandangan yang membingungkan.Seorang pria tengah berguling-guling di tanah berteriak kepanasan sementara pria paruh baya di depannya berusaha melakukan sesuatu namun tak berdaya.Raven menoleh pada wanita itu, “Nona anda sudah sadar?”“Apa yang terjadi?” tanya wanita itu kebingungan.“Akan kujelaskan nanti, bisakah kau menolongku untuk membawa pria yang menolongmu ini ke tabib?”Sang wanita mengerutkan dahi makin tak mengerti, namun ia mendekati Dean, dan mengecek suhu tubuhnya.“Kebetulan aku adalah seorang perawat, lebih baik kita bawa dia ke rumahku,” ujar wanita itu sambil membantu Dean duduk.Sementara wanita itu mengurus Dean, Raven masih sempat memulung belanjaannya yang berantakkan tadi, “Ya kebetulan yang menguntungkan, aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya, dia tiba-tiba kepanasan seperti itu setelah ….”Raven tak meneruska
Suara nyaring seperti hewan yang kesakitan begitu sulit di jelaskan menggema di dalam gua yang dijadikan rumah ini. Dean menutup kupingnya karena suara itu menyakiti gendang telinganya.Perlahan ia membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Di sana Raven menusuk jantung makhluk itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya.Seperti ibu dan ayah Dean yang terbakar saat di tusuk, makhluk itu pun perlahan berubah jadi abu. Raven terkulai di tanah setelah berhasil menusuk makhluk itu. Tangisnya pecah.Dean mendekat pada Raven, “Paman, laki-laki tidak boleh cengeng.”Dean berdiri di depan jeruji perak itu menggenggam batang jeruji dengan kedua tangannya sambil memandangi Raven yang masih menangis.Raven menghapus air matanya dan tertawa melihat Dean, “Kau meledekku sekarang?”Dean tersenyum lalu terkekeh, “Paman juga bilang begitu padaku.”Raven bangkit dan tersenyum tipis menatap Dean, “Ayo kita mulai berlatih memburu Vampir!”Binar mata Dean begitu terpancar mendengar it
Dean mengemas barang-barang yang di perlukan, dan membawa beberapa barang berharga untuk di jual.Di pandangnya Raven sambil mengemasi barang-barang, sosok tinggi tegap dengan janggut tipis itu begitu tergesa-gesa membantu Dean.“Kenapa Paman terburu-buru?” tanya Dean.“Cepatlah! Sebelum kawanan Vampir lain mengendusmu! Ketika satu vampir mati itu sama saja memberikan sinyal bagi kawanan Vampir lainnya!”Raven mengobrak-abrik lemari orang tua Dean, ia menemukan perhiasan perak di sana, dan tersenyum lega seolah menemukan harapan.Sebuah kalung liontin perak kesayangan ibu Dean, anak itu menatap kalung itu nanar.“Pakailah perhiasan perak ini, Vampir melemah bila terkena perak.” Raven mengalungkan liontin itu pada Dean lalu mereka bergegas pergi dari rumah orang tua Dean.Rumah yang penuh kenangan bersama orangtuanya, rumah di tepi hutan yang indah, kebun di belakang rumah yang menjadi tempat favoritnya untuk mencari cacing, kini hanya tinggal kenangan.Ia ingat saat bersenda gurau ber
Seribu tahun lalu, di suatu negara bernama Auroria, tepatnya di desa Dawnshire yang makmur dan tenang, seorang nenek penyihir tua sedang bereksperimen dengan ramuan dan muridnya yang berbaring di depan sebuah kuali.Sang penyihir menambahkan beberapa jeroan binatang purba serta tumbuhan aneh lainnya. Terakhir ia teteskan darah dari sayatan telapak tangannya sambil melafalkan mantra, berharap ramuan ini dapat menjadikannya makhluk yang abadi.Satu sendok pertama ramuan itu dia berikan pada murid laki-lakinya yang sudah paruh baya. Tiga detik kemudian tubuh sang murid bereaksi, wajahnya perlahan tampak segar dan muda, namun ia bergumam “haus”.Ia lihat tetesan darah dari telapak tangan sang penyihir masih tampak segar dan basah. Ia mencengkram penyihir yang telah menjadi gurunya beberapa belas tahun itu.Sang penyihir yang sudah tua renta tak dapat mengelak dari cengkraman muridnya sendiri, telapak tangannya di gigit dan darahnya di hisap hingga habis.Sang penyihir tewas, namun 5 menit







