Share

Part 1 : CEO Woman

06.30 WIB

Alarm dari ponsel di nakas berdering nyaring sejak satu jam yang lalu, tetapi si empunya masih nyenyak bergelung di alam mimpi. Burung-burung yang berterbangan di luar kaca jendela seakan lelah membangunkan. Begitu pula dengan sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah-celah korden yang terbuka.

Suara langkah kaki yang menghentak menaiki tangga terdengar menyelingi dentingan alarm yang tak kunjung usai. Semakin dekat, langkah kaki itu semakin keras terdengar.

"Aqila! Udah jam berapa ini? Bangun!" Suara teriakan sang mama membuat Aqila seketika tersentak bangun.

Kepalanya masih terasa linglung, matanya juga masih setengah terpejam. Namun, pintu kamar yang terbuka dengan keras membuat kedua matanya seketika terbuka lebar.

"Kamu bangun aja masih susah, kok sok-sokan mau kerja." Omelan Utari seperti cambuk yang memaksa Aqila bergerak cepat menyambar handuk.

Aqila menghela napas kesal. Seminggu yang lalu papanya sudah pulang dari rumah sakit. Begitu pulang, pria yang membesarkannya selama 22 tahun itu langsung mengungkit permintaan yang dia ajukan saat sekarat karena serangan jantung. Papanya ingin Aqila menikah. Dia bahkan sudah menjodohkan Aqila dengan anak dari teman karibnya semasa kuliah dahulu.

Astaga, yang benar saja! Umur Aqila baru 22 tahun, masa iya harus menikah? Dia juga baru saja lulus kuliah dan belum pernah menggunakan ijazahnya untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi pekerja kantoran. Lagi pula, seharusnya papanya tau kalau Aqila sudah punya pacar. Jadi, mana mau dia menikah dengan orang lain, dijodoh-jodohkan lagi. Memangnya ini zaman Siti Nurbaya?

Tiga puluh menit berlalu, Aqila keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang membalut tubuh rampingnya, sementara handuk kecil melilit kepala.

Segera dia bersiap-siap. Mengeringkan rambut panjang kecoklatan miliknya, memakai lotion di seluruh tangan dan kaki, lalu mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Utari untuknya. Tak lupa, sapuan make up segar menghias wajah cantik gadis itu.

Pukul delapan pagi, dia telah duduk di kursi ruang makan. Di sana ada mama, papa, juga Bi Suti, pembantu yang sudah dianggap seperti keluarga di rumah itu. Piring-piring berisi nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya telah tertata di meja. Aqila duduk di samping mamanya, kemudian bergegas memulai sarapan.

Bi Suti menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhnya di samping piring Aqila.

"Pelan-pelan makannya, Non," celetuknya.

Aqila menelan dengan susah payah makanannya, meneguk air putih sesaat, lalu menjawab, "Takut telat, Bi."

"Kan papa masih di sini. Papa aja santai makannya."

Aqila tak berniat menjawab ucapan mamanya. Dia masih sibuk menyuapkan makanan ke mulut sampai mulutnya penuh.

"Kamu beneran mau kerja, Sayang?" tanya papanya, membuat Aqila yang hendak memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut pun mengurungkan niat.

Aqila menghela napas. "Kemarin kan kita udah bahas ini, Pa."

Dua hari lalu, saat papanya membahas tentang perjodohannya, Aqila meminta agar pernikahannya ditunda, setidaknya sampai tahun depan. Alasannya sih karena dia ingin berkarir dulu, tetapi sebenarnya tujuannya meminta menunda pernikahan adalah agar dia dan pacarnya punya waktu untuk meyakinkan papanya, supaya dia tidak jadi dijodohkan dengan orang lain.

"Oke kalo gitu. Tapi papa harap kamu nggak bikin bangkrut perusahaan papa. Kerja yang bener."

"Pa ...." Aqila melengos. 

Masa iya dia mau bikin bangkrut perusahaan papanya, yang benar saja, gerutunya dalam benak.

Aqila adalah anak tunggal dari kedua orang tuanya. Dia pernah punya kakak, tetapi meninggal saat dia baru berusia satu tahun karena penyakit demam berdarah.

Meskipun perempuan, dia merasa tetap bertanggung jawab untuk meneruskan usaha papanya. Jadi, dia akan belajar mulai hari ini.

Sebenarnya, alasan papanya ingin Aqila menikah cepat adalah agar suaminya nanti yang disuruh meneruskan bisinis keluarga mereka. Namun, tidak. Aqila juga bisa. Dia tidak butuh orang lain, apalagi orang asing. Dia akan mengurus sendiri perusahaan keluarganya dengan baik.

***

Pukul setengah sembilan pagi, Aqila menginjakkan kakinya di tempat parkir kantor. Gedung megah berlantai tujuh itu sudah dipenuhi para karyawan. Aqila mengikuti langkah papanya untuk memasuki gedung dan menaiki lift.

Beberapa kali dia melihat papanya menganggukkan kepala ketika para karyawannya menyapa, sementara terhadapnya mereka justru menatap dengan kernyit heran tergambar jelas di muka.

Aqila masuk ke ruangan papanya di lantai tujuh. Ruangan yang sebentar lagi akan ditempatinya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebenarnya dia sudah sering memasuki ruangan itu. Namun, baru kali ini dia mengamati dengan seksama apa-apa saja yang ada dalam ruangan itu. 

Satu set sofa di tengah ruangan, tiga buah lemari besar berjajar di sudut kiri ruangan, sedangkan di sudut kanan seberang pintu terdapat vas bunga besar dengan tanaman yang tumbuh subur di atasnya. 

Meja kerja besar dengan kursi yang dapat berputar berada di depan jendela, membelakangi balkon. Di atas meja itu terdapat papan nama bertuliskan Direktur Utama Giri Wicaksana—yang mungkin sebentar lagi akan diganti dengan namanya. 

Pemandangan di luar balkon begitu indah. Aqila bisa melihat seluruh kota dari sana. Nanti jika lelah, dia hanya perlu memutar kursi untuk menikmati pemandangan indah kota Jakarta dari lantai tujuh gedung ini.

"Vania, tolong ke ruangan saya sebentar." Papanya berbicara lewat sambungan telepon kepada sekretarisnya.

Aqila mengernyit. "Kenapa manggil Tante Vania, Pa?"

"Dia yang bakal ngajarin kamu nanti. Setelah selesai rapat, papa mau langsung pulang. Kamu bisa mulai kerja hari ini."

"Apa?" Aqila sontak membelalakkan mata. "Nggak ada training dulu, Pa? Atau enggak, Aqila jadi karyawan biasa aja dulu."

"Vania sama Rudi yang bakal training kamu nanti selama gantiin papa jadi direktur. Papa mau istirahat. Kesehatan papa kan belum pulih benar."

Aqila mengangguk perlahan. Benar. Kesehatan papanya memang belum begitu baik meskipun dokter sudah mengizinkannya pulang. Dia juga takut kalau-kalau nanti papanya kambuh lagi.

"Ya udah," angguknya.

Suara ketukan pintu terdengar setelah itu. Disusul handle yang diputar dan daun pintu terbuka. Wanita berpakaian formal dengan rambut yang disanggul rapi memasuki ruangan.

"Vania, mulai hari ini Aqila akan menggantikan saya. Kamu dan Rudi tolong bimbing dia, ya. Setiap hari saya minta kamu buat laporan evaluasi kinerjanya, lalu berikan pada saya."

Wanita yang berdiri di depan meja kerja itu mengangguk sopan. "Baik, Pak."

"Ya sudah, begitu saja. Tolong kumpulkan semua karyawan. Kita akan mulai rapat sepuluh menit lagi."

Vania mengiyakan perintah bosnya, lalu segera pamit meninggalkan ruangan.

"Ayo siap-siap. Kita ke ruang rapat."

Aqila mengangguk, lalu bangkit dari sofa dan mengikuti papanya menuju ruang rapat.

Setibanya di sana, sudah banyak karyawan-karyawan penting perusahaan yang berkumpul. Meja panjang dengan kursi-kursi yang berjajar di kanan-kiri itu penuh dengan orang-orang yang menatapnya penuh tanya.

Semua orang lantas berdiri begitu melihat CEO mereka masuk ke ruangan beserta jajaran direksi. Di antara mereka juga ada Aqila, papanya, Vania, dan juga Rudi yang lantas duduk di jajaran kursi paling depan yang telah disediakan.

"Selamat pagi, semua ...," sapa Giri membuka rapat.

Suara gemuruh terdengar saat semua orang menjawab bersamaan.

"Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, agenda utama rapat pagi ini adalah untuk memperkenalkan direktur baru di perusahaan ini, yaitu putri saya sendiri, Aqila Kaira Khanza."

Tepuk tangan menggema memenuhi seluruh ruangan saat Aqila perlahan bangkit berdiri, kemudian membungkuk sopan untuk menyapa semua orang. Setelah perkenalan seperlunya, dia kembali duduk.

Aqila menghela napas berulang kali. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sudah cukup layak untuk menerima jabatan setinggi ini, dan juga ... dia pasti bisa melakukannya.

***

Sinar matahari semakin jingga saat Aqila akhirnya bisa menyandarkan punggung ke sandaran kursi di belakangnya. Dipijitnya kedua pelipis menggunakan ibu jari guna meringankan pening di kepalanya. Sejak pagi tadi, banyak hal yang harus dia pelajari. Berbagai kertas berserakan di meja kerjanya yang berantakan.

Suara ketukan pintu membuat Aqila menoleh.

"Masuk," ucapnya singkat.

"Nggak pulang, Qi?" Vania bertanya seraya melangkah masuk.

Aqila menggeleng lemah. "Bentar lagi, Tante."

"Pulang aja. Mejanya diberesin, berkasnya ditata terus masukin ke folder di rak sana," ucap Vania sembari menunjuk rak di samping lemari. "Besok dikerjain lagi."

Mendengar ucapan sekretaris papanya —yang sekarang menjadi sekretarisnya— itu membuatnya menghela napas berat.

"Ternyata jadi direktur nggak gampang."

Vania terkekeh mendengar celetukan lirih Aqila. "Kamu kan baru belajar. Nanti lama-lama juga bisa, terus terbiasa."

Aqila menatap wanita berusia dua kali lipat usianya itu sesaat, kemudian tersenyum. "Makasih, ya, Tan, udah sabar ngajarin aku."

"Iya, Qi. Sama-sama. Ayo pulang, udah sore."

Aqila mengangguk, lalu memaksa tubuhnya bergerak merapikan lembar-lembar kertas di meja dan memasukkannya ke dalam folder sebelum menyambar tas dan blazernya. Dia mengenakan blazer abu-abu itu sembari melangkah meninggalkan ruangan.

Sesampainya di lantai satu, Aqila berpisah arah dengan Vania. Dia berdiri di depan pintu utama. Tangannya menyusup ke dalam tas kemudian meraih ponsel. Dibukanya aplikasi pesan lalu mencari nomor sang kekasih, dan dengan cepat jarinya menekan ikon telepon.

"Hallo, Sayang ...." Suara laki-laki di seberang sana menyapa.

"Zo, aku udah pulang. Bisa jemput?"

"Siap. Lima belas menit aku sampe."

"Oke." Dan dengan cepat Aqila mematikan panggilan.

Sembari menunggu, dia memijat-mijat betisnya pelan. Entah mengapa kakinya terasa pegal sekali. Apa karena seharian berjalan-jalan bolak-balik ke ruangan Vania dan Rudi menggunakan sepatu hak tinggi?

Tak sampai lima belas menit bahkan, mobil BMW merah keluaran terbaru berhenti di depannya. Dengan segera Aqila membuka pintu sebelah kiri, lalu masuk.

"Langsung pulang, Sayang? Atau mau makan dulu?" tanya Kenzo saat Aqila sedang memasang seatbelt.

Aqila menggeleng. "Langsung pulang aja, Sayang. Aku capek banget. Pengen tidur."

Kenzo malah terkekeh. "Capek ya kerja?"

Pipi Aqila berubah merah. Bukan karena tersipu, tetapi karena malu. Secara tidak langsung ucapan Kenzo seperti sedang menyindirnya. Selama ini yang dia tau hanya menghabiskan uang orang tua. Dia tidak tau bagaimana lelahnya kedua orang tuanya bekerja selama ini, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Dia hanya tertunduk tanpa menjawab ucapan kekasihnya.

Perjalanan dari kantor sampai ke rumah hanya sekitar lima belas menit jika tidak macet. Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil yang mereka naiki berhenti di depan sebuah rumah mewah bernuansa krem.

"Makasih, ya, udah nganterin pulang. Aku masuk dulu," pamit Aqila sebelum membuka pintu mobil.

"Eits, main pergi-pergi aja. Bayarnya mana?"

Aqila tersenyum melihat Kenzo menelengkan kepala ke arahnya. Lalu, dengan cepat dia kecup pipi kiri Kenzo sebelum bergegas turun dan berlari memasuki rumah.

Baru saja masuk, dia sudah disambut pertanyaan dari sang papa.

"Pulang sama siapa, Sayang?"

Praktis, Aqila berjingkat kaget. Pasalnya dia tidak mengira bahwa papanya sedang duduk di ruang tamu.

"Sama Kenzo, Pa. Tadi Qila minta jemput."

Koran yang berada di tangan Giri terbanting ke meja. Lelaki yang sebagian besar rambutnya telah memutih itu sontak berdiri.

"Qila, kamu kan tau kamu akan menikah dengan orang lain, kenapa masih berhubungan dengan Kenzo?"

Mendengar itu, Aqila yang baru saja akan menaiki tangga pun segera menghentikan langkah dan memutar badan.

"Papa kan tau aku sama Kenzo pacaran udah lama, kenapa Papa malah jodohin aku sama orang lain?"

"Qila, Kenzo itu—"

"Pa, Qila capek. Qila masuk kamar dulu." Dengan cepat Aqila memotong ucapan papanya, lalu berlari menaiki anak tangga dan masuk ke kamar.

Dilemparkannya tubuh letih itu ke atas tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan.

Ah, tubuhnya sudah sangat lelah karena bekerja seharian, lalu setelah pulang malah disambut dengan pertengkaran.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status