Share

Part 2 : New Bodyguard

Bi Suti mengetuk pintu kamar Aqila beberapa kali. Gadis berambut cokelat gelap itu tidak keluar dari kamar sejak pulang kantor, mungkin tertidur. Sementara sekarang sudah pukul delapan malam. Utari telah menyuruhnya untuk memanggil Aqila untuk makan malam.

"Non, makan malam dulu, Non. Udah ditunggu Bapak sama Ibu di bawah," ujarnya dengan suara agak dikeraskan.

Bi Suti kembali mengetuk pintu saat tak mendengar jawaban. Lalu, karena takut nona majikannya kenapa-kenapa, dia akhirnya membuka pintu dan menerobos masuk.

Di atas ranjang, dia melihat Aqila masih tertidur pulas. Bajunya bahkan belum diganti, masih mengenakan baju kantor. Make up di wajahnya juga belum dihapus. Sepertinya Aqila langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu.

"Non, udah malem." Bi Suti mengguncang bahu Aqila pelan.

Tak ada respon selain gumaman lirih dari bibir tipis merah muda milik Aqila. Gadis itu pasti sangat kelelahan.

Kembali diguncangnya bahu Aqila, kali ini lebih keras.

"Eugh ... kenapa, Bi?" Gadis itu mengerjapkan mata.

"Udah malem, Non. Mandi, ganti baju, abis itu makan malem. Ditunggu Bapak sama Ibu di bawah."

Aqila melirik jam di atas nakas. Benar saja, pukul delapan malam. Cahaya di luar jendela juga bukan lagi berasal dari matahari, melainkan dari lampu taman di samping rumah.

Bergegas dia bangkit dari tempat tidurnya, menyambar handuk, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk yang melilit tubuh.

Setelah mengenakan pakaian santai, Aqila bergegas turun ke lantai bawah, menuju ruang makan di mana orang tuanya telah menanti sedari tadi.

"Baru bangun?" tanya Utari saat melihat anak gadisnya menuruni tangga.

Aqila hanya mengangguk sambil memamerkan deretan giginya. Setibanya di meja makan, dia segera mengambil duduk di hadapan sang mama.

Tumis ayam mentega yang masih mengepulkan uap panas tersaji di meja. Harumnya menggoda penciuman Aqila dan membuat perutnya seketika merasa lapar.

Segera dia isi piring di hadapannya dengan dengan nasi panas, lalu menyendok tumis ayam mentega yang menjadi menu favoritnya itu dan menaruhnya di atas nasi. Suara alat makan yang berdenting mendominasi ruangan kala mereka sibuk menikmati makan malam.

"Qi, minggu depan kita ada makan malem sama keluarganya Om Ghifari, ya? Sekalian kamu kenalan sama Gavin." Giri berkata di sela-sela kegiatannya menyantap makanannya.

Seketika Aqila terbatuk. Dia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit akibat tersedak ayam. Utari dengan sigap mengambilkan segelas air putih dan memberikannya kepada putrinya.

"Pelan-pelan, dong, Sayang." Ditepuk-tepuknya punggung sang putri supaya batuknya reda.

Aqila menenggak air putih pemberian mamanya hingga tandas, lalu meletakkan gelas yang telah kosong itu di meja dengan keras.

"Ya abisnya Papa, lagi enak-enak makan tiba-tiba bahas itu," jawabnya kesal sambil mengusap bibir yang basah. "Kan Qila udah bilang kalo Qila nggak mau nikah sekarang. Apalagi sama si Gavin Gavin itu."

"Kan cuma makan malem aja, Sayang. Biar kamu kenal dulu sama Gavin. Siapa tau nanti kalo udah ngobrol kalian ngerasa cocok." Utari mencoba membujuk putri semata wayangnya yang keras kepala itu.

"Enggak. Qila nggak mau ketemu dia. Qila nggak mau nikah sama dia. Pokoknya nggak mau!"

Gadis berusia awal dua puluhan itu segera bangkit dari duduk dan berlari ke kamar, meninggalkan makanannya yang masih tersisa setengah.

Di dalam kamar, Aqila menelungkupkan diri di atas ranjang sembari memeluk boneka beruang berwarna cokelat yang dia beri nama Choki. Itu adalah boneka pemberian Kenzo, hadiah kelulusannya dari perguruan tinggi tahun lalu.

Diusapnya pipi si boneka dengan lembut, seolah dia sedang mengusap pipi kekasihnya.

"Aku nggak mau nikah sama orang lain, Zo. Aku cuma mau nikah sama kamu. Aku cintanya sama kamu," gumam Aqila lirih. Kedua netra beningnya mengembun, tertutup kaca-kaca bening yang sebentar lagi luruh.

***

Tidak seperti tempo hari saat hari pertama dirinya bekerja, hari ini Aqila sudah rapi bahkan saat jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Dengan tergesa dia menuruni satu per satu anak tangga dan berlari menuju ruang makan. Di sana sudah ada Utari yang tengah menyiapkan sarapan dibantu Bi Suti.

Aqila menarik kursi dan duduk dengan cepat, mencomot roti panggang selai cokelat dan melahapnya dengan terburu-buru. Tiga lembar roti habis dalam sekejap, kemudian Aqila menenggak susu cokelatnya yang masih hangat sampai sisa setengah.

"Ma, Qila berangkat," ucapnya sambil mengusap bibir yang belepotan susu, lalu bangkit dan melangkah menuju pintu depan.

"Heh, susunya dihabisin dulu!" jawab Utari setengah berteriak karena Aqila sudah menghilang dari balik pintu.

Utari segera menyusul dengan tergopoh-gopoh.

"Kerjaan Qila kemarin belum selesai. Qila mau berangkat pagi buat selesein kerjaan yang kemarin."

Tanpa menunggu jawaban sang mama, Aqila berlari keluar gerbang. Di depan sudah ada Kenzo yang menunggu sembari bersandar pada kap mobil.

"Kamu udah sarapan?" Kenzo bertanya seraya membukakan pintu mobil untuk kekasihnya.

"Udah tadi. Ayok, Zo. Aku telat, nih."

"Telat? Ini baru jam berapa, Sayang? Kantor kamu masuk jam setengah sembilan, kan?"

Kenzo menyalakan mesin mobilnya, lalu menginjak gas.

"Aku mau ngerjain tugas yang kemaren aku tinggal. Nanti jam sembilan harus dipresentasikan buat rapat sama klien penting."

Kenzo tersenyum simpul. Gadis yang dipacarinya dua tahun lalu, yang dulu begitu manja dan kekanak-kanakan, kini telah berubah menjadi wanita mandiri dan pekerja keras.

"Kamu berubah, Sayang," bisik Kenzo.

Aqila mengerutkan dahi. "Aku berubah kenapa?"

"Dulu kamu manja banget. Sekarang jadi mandiri, pekerja keras lagi. Aku bangga sama kamu."

Pipi Aqila seketika bersemu merah begitu mendengar ucapan Kenzo, terlebih ketika tangan lelaki itu mengusap puncak kepalanya, jantungnya tiba-tiba berdegup tak beraturan.

Sudah dua tahun mereka berpacaran, tetapi perasaan Aqila terhadap Kenzo sama sekali tidak berubah. Dia masih suka tersipu setiap kali Kenzo menggodanya, masih suka salah tingkah jika Kenzo memuji ataupun memberikan sentuhan-sentuhan ringan untuknya. Rasa sayangnya terhadap lelaki itu juga masih sama. Tak pernah berkurang, tetapi justru tumbuh semakin subur setiap harinya.

Mobil berhenti di depan teras kantor. Aqila turun dari mobil setelah berpamitan, kemudian dengan cepat melangkah menuju lift. Antrean cukup ramai di depan lift. Aqila berdiri di barisan paling belakang. 

Sembari menunggu, Aqila mengeluarkan ponsel dan menggunakannya sebagai cermin, tangannya menyisir poni dan beberapa anak rambutnya yang agak berantakan.

Pintu lift terbuka, Aqila dan para karyawan masuk bergantian. Beberapa karyawan yang mengenalinya langsung menyapa.

"Selamat pagi, Bu Aqila."

"Pagi," jawabnya seraya mengulas senyum seramah mungkin.

Aqila melangkah cepat menuju ruangannya setelah keluar dari lift. Ruangan Direktur Utama terletak di ujung lorong sebelah kanan, sementara di barisan sebelah kiri adalah ruangan direktur dan wakil direktur.

Ruangan Vania dan Rudi ada di sebelah ruangannya, di barisan sebelah kanan lorong. Sedangkan tepat di ujung lorong ada jendela kaca besar yang sejajar dengan lift.

Aqila memasuki ruangan, menempelkan ibu jarinya pada finger print untuk absensi, dan langsung menghempaskan tubuh di atas kursi guna menarik napas sebentar. Tasnya dia letakkan di meja, lalu setelah napasnya kembali teratur, dia bangkit menuju rak berisi folder-folder beraneka warna. Diraihnya beberapa file dari folder-folder itu, lalu kembali duduk di kursinya.

Sekilas, diliriknya jam di pergelangan tangan. Pukul setengah delapan. Masih ada satu setengah jam untuknya menyelesaikan tugas sebelum presentasi dimulai.

Kata Vania, klien yang akan rapat dengannya pagi ini adalah salah satu klien penting untuk perusahaan. Aqila tidak ingin mengecewakan. Dia akan berusaha keras agar kliennya tetap mempertahankan kerja sama dengan perusahaan mereka meskipun yang menghandle perusahaan bukan lagi papanya.

Pintu diketuk tiga kali, disusul masuknya Vania ke ruangannya.

"Qi, udah berangkat? Tante pikir kamu bakal telat hari ini," ujar Vania yang melihat Aqila tengah berkutat dengan berkas-berkas di tangan.

Aqila mengangkat wajah, lalu tersenyum. "Aku harus selesein ini, Tan. Bentar lagi kan ada rapat sama klien."

Vania tersenyum simpul. "Tante nggak nyangka, kamu semangat banget kerjanya."

Aqila hanya tertawa ringan sebagai jawaban.

Vania meletakkan setumpuk dokumen di meja. "Ini, ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani. Kamu selesein dulu materi buat rapat nanti, abis itu tandatangani ini, ya. Kalo udah, file-nya taruh situ aja, nanti Tante balik lagi buat ambil. Kamu nggak usah bolak-balik ke ruangan Tante, capek," jelas Vania sembari menahan tawa.

Pasalnya, di hari pertama bekerja kemarin, Aqila sibuk mondar-mandir ke ruangannya ataupun ruangan Rudi. Padahal, dia tinggal menghubungi mereka lewat interkom dan sekretarisnya itu yang akan datang ke ruangannya.

Aqila tertawa. "Hehe, iya, Tante. Makasih, ya."

Vania mengangguk, kemudian melangkah keluar dari ruangan. Pekerjaannya juga masih banyak. Berkas-berkas di mejanya sudah menunggu untuk diselesaikan.

***

Pukul setengah dua belas siang, Aqila keluar dari ruang rapat bersama Vania dan Rudi. Syukurlah rapat hari ini berjalan lancar. Meskipun dia cukup gugup selama presentasi tadi, tetapi semua berjalan dengan baik. 

Jam istirahat makan siang tiba. Aqila berjalan menuju lift untuk kembali ke ruangannya terlebih dahulu sebelum turun ke kafetaria untuk makan siang. Vania dan Rudi mengikutinya di belakang.

"Qi, makan siang bareng, ya?" ajak Vania saat telah sampai di depan pintu ruangannya.

Aqila tersenyum. "Tante duluan, deh. Aku mau ngerjain beberapa hal dulu."

"Makan dulu, Qi. Kalo kamu sakit nanti Tante yang dimarahin papamu."

Aqila tertawa. "Iya, Tan. Nanti aku makan. Tante makan siang duluan aja."

Setelah itu, dia melanjutkan langkahnya menuju ruangannya.

Betapa terkejutnya Aqila karena begitu membuka pintu, dia melihat papanya sedang duduk di sofa bersama laki-laki, entah siapa. Aqila juga tidak mengenalinya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah untuk apa papanya di kantor?

"Papa?"

Giri dan laki-laki yang bersamanya seketika menoleh. Mereka pun segera bangkit dari duduk.

"Halo, Sayang. Gimana rapatnya? Lancar?"

Aqila mengangguk ragu, raut wajahnya mengguratkan kebingungan. "Rapatnya lancar. Tapi, Papa dateng ke sini buat nanyain itu?" tanya Aqila. Matanya melirik lelaki yang berdiri di sebelah papanya. "Terus dia siapa?"

"Ini bodyguard yang akan menjaga kamu. Dia bakal ngawal kamu sepanjang hari selama kamu nggak di rumah. Dia juga bakal anter-jemput kamu ke mana pun kamu mau pergi, biar kamu nggak perlu minta anter-jemput sama si Kenzo lagi," jelas Giri sambil menepuk bahu lelaki yang terlihat seumuran dengan putrinya itu.

"Hah?" Aqila terperangah. "Pa, yang bener aja, deh. Jangan norak!"

"Papa harap kamu nurut sama Papa. Kalo kamu nggak mau Papa sakit lagi, kamu jauhin itu laki-laki begundal yang jadi pacar kamu. Putusin dia."

"Pa ... jangan ikut campur urusan percintaan aku," keluh Aqila jengkel.

Giri menggelengkan kepala. "Papa ini papa kamu. Wajar kalo Papa ikut campur dalam hal apa pun di hidup kamu. Papa juga udah punya calon yang lebih qualified buat jadi suami kamu. So, mulai sekarang kamu jangan pernah temui Kenzo lagi."

Giri mengalihkan pandangan ke arah lelaki yang dibawanya tadi. "Tolong jaga Aqila. Saya mau pulang dulu."

"Pa!"

"Ssssttt!" Giri menempelkan telunjuknya di depan bibir. "Nurut. Papa tinggal, ya? Baik-baik di sini."

Setelah itu, Giri keluar dari ruangan, meninggalkan Aqila bersama laki-laki yang sejak tadi berdiri mematung di tempatnya.

Aqila mengembuskan napas kesal. Tatapannya beralih pada lelaki itu. "Nama lo siapa?" tanyanya ketus.

"E—Hendra, Non." Lelaki itu menjawab gugup. Tatapannya mengarah ke lantai, tak berani membalas tatapan majikan barunya.

Aqila menghela napas perlahan untuk menurunkan kadar emosinya. "Oke, Hendra. Sekarang kamu keluar."

"Ta—tapi, Non, saya disuruh Bapak untuk ...."

"Keluar!" bentak Aqila kesal. Amarahnya bahkan sudah sampai ubun-ubun. "Lu jaga pintu aja! Jangan masuk kalo nggak gue panggil!"

Hendra melangkah gontai menuju pintu. Aqila mengikuti langkah lelaki itu dengan tatapan jengkel. Setelah Hendra menghilang dari pandangan, Aqila segera menghempaskan tubuhnya ke kursi. Kepalanya yang terasa berat dia rebahkan di atas meja. Kedua matanya terpejam, sambil sesekali memijat pelipisnya dengan ibu jari. Akhir-akhir ini kelakuan papanya memang selalu membuatnya pusing!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status