Orin dan Naka sama-sama melotot tidak percaya dengan keputusan Anindito, secepat itu mereka akan dinikahkan, Naka berpikir bahkan paling tidak menunggu sampai dia selesai sidang skripsi yang hanya tinggal satu bulan lagi, tapi apapun keputusan Anindito, Naka tidak bisa membantah. Orin sebagai anaknya saja tidak bisa membantah, apalagi dia yang hanya seorang bodyguard.
Siang itu, Naka menyerahkan berkas yang digunakan untuk keperluan menikah, dari mulai kartu keluarga, KTP sampai akta kelahirannya. Anindito menerima berkas itu lalu membawanya keruang kerjanya.
Anindito memeriksa masing-masing pemberkasan Naka dengan seksama, dan ketika Anindito membaca akta kelahiran Naka, dia sedikit terkejut membaca nama kedua orang tua Naka.
“Jadi nama ayahnya Naka itu Bayu Erlangga, ibunya Maya Saputri. Aku seperti tidak asing dengan dua nama ini,” gumam Anindito. Dia kemudian mencari data kecelakaan tiga tahun lalu, karena memang informasinya kedua orang tua Naka meninggal karena kecelakaan mobil.
Anindito dibuat terkejut soal asal-usul orang tua Naka, pasalnya Anindito tahu betul siapa kedua orang tua Naka.
“Jadi Naka itu anaknya Bayu dan Maya. Ya Tuhan, kasihan sekali nasib anak itu, harusnya anak itu hidup dengan baik. Aku memang tidak salah menikahkan Naka dengan Orin. Akan kupastikan Naka menjadi sukses setelah ini!” kata Anindito dengan senyum kecilnya.
Siang itu, Orin dan Naka tengah mengikuti Sonia yang membawa keduanya kesebuah butik untuk fitting baju pernikahan mereka. Orin yang dasarnya fashionable sekali sangat antusias memilih beberapa model gaun pengantin, dan semuanya yang dia pilih dengan model pundak terbuka.
Naka sampai pusing sendiri ditanya yang mana cocok untuk calon istrinya, karena apapun yang dipaka Orin selalu pas untuk Orin dan membuat Naka malah menjadi kikuk sendiri dihadapkan pada calon istri yang cantiknya luar biasa, sedangkan dia sampai di tarik-tarik Sonia untuk mencoba beberapa setelan jas yang cocok untuk tubuh Naka.
Akhirnya Sonia sendiri yang memutuskan Orin mengenakan Backless Dress karena memang Orin semakin tampak elegan mengenakan gaun dengan model yang mengekspos area punggung atau bagian belakang tubuh. Hal ini untuk menimbulkan kesan glamour, elegan, dan anggun sekaligus, dengan bagian belakang yang terbuka. Naka sejujurnya ingin protes karena gaun tersebut terlalu mengekspos lekuk tubuh Orin yang bak gitar spanyol, tetapi mana berani dia melakukan itu.
Naka sendiri dipilihkan model jas velvet, yang semakin membuat aura tampan Naka keluar, bahkan Orin sampai melongo melihat Naka memakai jas tersebut. Naka sendiri sebenarnya kurang nyaman, karena dia tahu, pasti jas itu tidak mungkin harganya dibawah sepuluh juta, tetapi atas kemauan Anindito, pernikahan putri bungsunya kali ini harus dirayakan dengan meriah, dan semua orang dapat melihat pesta pernikahan itu. Waktu satu minggu mempersiapkan pesta pernikahan tidak sulit untuk Anindito dengan segala kekayaannya.
“Non, emangnya harus ya kalau menikah pakai pakaian mahal begini?” tanya Naka merasa tidak enak hati, dia yang menikah dengan Orin, harusnya dia yang mempersiapkan semua, tetapi ini malah pihak wanita yang mempersiapkan semuanya.
“Memangnya kita nikah cukup pakai sarung dan mukena saja?” tanya Orin balik, “Kamu aneh saja! Udah nurut aja, dari pada papi murka.”
“I-iya, non!” jawab Naka
“Jangan panggil aku nan non nan non terus, aku ini calon istrimu! Bukan majikan kamu lagi!” gerutu Orin
“Tapi udah jadi kebiasaan, Non!” balas Naka
“Non lagi!” sentak Orin
“Lalu saya harus panggil apa?” tanya Naka
“Terserah!” seru Orin sambil meninggalkan Naka yang garuk-garuk kepala bingung.
“Gini amat mau nikah aja, punya istri anak orang kaya emang begini rasanya, ya?” tanya Naka dalam hati.
Naka beranjak keluar rumah, tadi dia memang berpamitan untuk keluar rumah pada Anindito.
“Naka, mau kemana!?” teriak Orin
“M-mau ke makam ayah sama ibu,” jawab Naka, “Mau nyekar, sama minta ijin karena saya mau menikah besok sama Non Orin.”
“Non lagi! Aku ikut!” seru Orin yang langsung menyambar tas dan jaketnya.
“E-iya,” balas Naka kikuk
Orin langsung meloncat ke boncengan motor Naka, dan memeluk perut Naka, tentu saja itu masih membuat Naka kikuk juga.
“Ayo jalan!” seru Orin sambil tersenyum
Naka akhirnya membawa motornya kesebuah pemakaman umum di pinggiran kota, dimana kedua orang tuanya dimakamkan. Naka kemudian membersihkan rerumputan yang tumbuh diatas pusara kedua orang tuanya, lalu menabur bunga diatasnya. Orin tampak hanya memandangi semua yang dilakukan Naka.
Laki-laki itu kemudian berjongkok disamping pusara dan memanjatkan doa untuk kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu, besok Naka mau menikah dengan Non Orin, Naka minta doa restunya, semoga Naka bisa menjadi imam yang baik untuk non Orin, semoga Naka selalu bisa melindungi istri Naka dari segara kemakshiatan dunia,” kata Naka.
Orin tampak trenyuh mendengar perkataan Naka, tidak menyangka Naka masih saja merasa rendah diri, padahal besok statusnya sudah berubah menjadi suaminya, imam untuknya, dan kepala keluarga dalam lingkup rumah tangganya kelak.
Keduanya lalu pulang kerumah. Naka bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk besok. Tampak kedua kakak Naka sudah pulang bersama keluarganya.
“Akhirnya, kamu juga yang memenangkan hati Orin,” kata Daniel sambil menepuk bahu Naka, “Aku harap kamu bisa bersabar dengan adikku satu itu.”
“Iya, Bang, semoga saya bisa,” balas Naka, “Semoga Non Orin gak kecewa menerima pernikahan ini.”
“Kok, Non sih!” seru Valencia, istrinya Daniel.
“Ya, maaf, masih canggung aja,” balas Naka
Pernikahan ini tentu juga sebuah keputusan besar, karena pada akhirnya Orin sendiri yang memilih untuk mengikuti agama Naka yang merupakan muslim, sedangkan Orin Kristen, sehingga Anindito tidak mempermasalahkan itu, sebelum prosesi pernikahan besok, Orin sudah terlebih dahulu masuk ke islam dengan dibantu salah satu kyai yang merupakan teman Anindito juga.
“Bang Naka…..” Orin memanggil Naka ketika Naka hendak mengambil air minum dikulkas
“Eh, Nona manggil saya?” tanya Naka bingung, tidak biasanya Orin memanggil Naka dengan embel-embel bang didepan namanya.”
“Non lagi!” seru Orin dengan nada kesal
“Ya, baiklah O-orin,” balas Naka kikuk sendiri
“Ulangi! Masa gagap gitu!” seru Orin
“Iya, Orin!” balas Naka akhirnya berhasil menyebut nama calon istrinya tanpa gagap.
“Bang, nanti malam clubbing yuk!” ajak Orin
“Nooo!” seru Naka, “Nggak ada besok mau menikah terus mau clubbing malam-malam! Gak boleh!”
“Ya, kan itung-itung aku pesta melepas lajang,” rengek Orin
“Enggak, Orin, nggak boleh! Nurut atau saya kurung dikamar!” balas Naka dengan suara sedikit keras.
Orin akhirnya masuk kekamarnya dengan wajah cemberut, sementara Naka mengelus dada, entah bagaimana menghadapi Orin kedepannya jika masih saja hobi clubbing dan mabuk. Selama ini Naka hanya menuruti kemauan Orin karena dia hanyalah bodyguard, tapi jika besok saja Naka akan mengucapkan ijab Kabul, artinya Naka sudah menjadi imamnya Orin, mau tidak mau, suka tidak suka, Orin harus menuruti semua perkataan Naka sebagai suaminya.
“Naka, maafkan Orin ya,” kata Anindito, “Papi harap kamu sabar menghadapi polah tingkah dia yang masih seperti anak kecil.”
“Ya, Pak. Saya akan berusaha selalu sabar dengan tingkah Orin,” balas Naka
“Naka, mulai sekarang kamu panggil aku Papi dan juga Mami,” kata Anindito
“Oh, i-iya,” balas Naka kembali kumat gagapnya.
“Naka, Papi mau tanya sama kamu, Ayah dan Ibumu dulu bekerja sebagai apa?” tanya Anindito.
“Saya tidak pernah tahu apa pekerjaan Ayah dan Ibu, yang pasti Ayah memang sering pergi keluar kota bersama Ibu, yang saya tahu, mereka pernah bilang bekerja disebuah pabrik,” jawab Naka.
“Apakah kamu ada keluarga lain?” tanya Anindito
“Tidak ada, Pi,” jawab Naka, “Sejak kecil saya hanya mengenal keluarga saya Ayah dan Ibu saja.”
“Yakin?” tanya Anindito
“Iya,” jawab Naka
“Ya, sudah, sana kamu istirahat untuk persiapan besok,” kata Anindito
Naka meninggalkan Anindito memasuki kamarnya, Naka menolak pindah kamar sesuai keinginan Sonia, toh juga pada akhirnya dia akan menempati kamar Orin jika sudah menjadi suaminya besok, untuk apa repot-repot pindakh kamar kesana kemari.
“Kasihan sekali kamu, Naka. Papi janji, kamu akan kembali mendapatkan apa yang sudah menjadi hak kamu,” kata Anindito.
Kiyo duduk di teras depan rumahnya, memandangi dedaunan yang jatuh berantakan di depannya. "Kenapa harus menikah sekarang? Aku masih harus menyelesaikan kuliah dan membangun karirku," gumamnya dalam hati."Tapi, Kiyo, aku ingin kita menikah. Supaya Daddy nggak ribut melulu. Aku juga mulai mencintaimu, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu," ucap Kin sambil menatap Kiyo, pria itu terlihat duduk di sampingnya.Kiyo menatap Kin dengan wajahnya yang pucat. "Aku juga mencintaimu, Kak Kin, tapi aku tidak siap untuk menikah. Aku masih ingin menyelesaikan kuliahku dan membuat karirku.""Mungkin aku bisa mengerti perasaanmu, Kiyo," sahut Kin setelah memikirkannya sejenak. "Bagaimana kalau kita bertunangan saja untuk sementara waktu dan menikah setahun kemudian ketika kau sudah siap?"Kiyo terdiam sejenak. Usulan Kin terdengar masuk akal, dan setidaknya itu memberinya lebih banyak waktu untuk mengejar tujuannya. "Baiklah, kalau begitu kita akan bertunangan untuk sementara waktu," ja
Kin duduk di bar dengan segelas whiskey di tangannya, sambil menatap kosong ke arah botol yang kosong di dekatnya. Naka, ayah Kin, masuk ke dalam bar dan melihat kondisi putranya yang terlihat buruk."Kin, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Naka dengan nada cemas."Oh, Daddy. Apa yang kamu lakukan di sini?" Kin menoleh dan tersenyum kepada ayahnya."Aku khawatir tentangmu, Kin. Kamu minum terlalu banyak akhir-akhir ini. Kenapa kamu tidak membicarakan masalahmu denganku?" Naka duduk di sebelah putranya.Kin mengambil segelas lagi dan menyatukan kedua telapak tangannya di atas meja. "Daddy tidak akan mengerti. Aku merasa sangat kesepian setiap kali Lona tidak ada di sisiku. Tidak ada yang bisa mengganti kehadirannya.""Daddy mengerti, Kin. Tapi, kamu tidak bisa terus minum dan kehilangan kendali dirimu. Kita harus mencari jalan keluar dari situasi ini." Naka mengambil nafas dalam-dalam."Jalan apa yang bisa kita lakukan, Dad?" tanya Kin, memandang ayahnya.Naka menggelengkan kepalany
Lona terkejut, tapi segera wajahnya berubah menjadi bahagia dan ia memeluk Kin dengan erat."Benarkah? Aku tidak menyangka!" kata Lona dengan suara lirih, merasa sangat tersentuh."Ya, benar," jawab Kin, sambil merangkul Lona kembali. "Aku sudah mempertimbangkan hal ini cukup lama, dan aku tahu bahwa kamu adalah orang yang benar-benar aku mau bersama selamanya. Aku tidak ingin menunda-nunda lagi."Lona terharu, menyadari bahwa ini adalah keputusan yang sangat berani dari Kin. Dia merasa sangat beruntung memiliki seseorang seperti Kin yang begitu mencintainya."Terima kasih,tapi apa yang bisa aku berikan untukmu? Aku sudah tidak bisa apa-apa?"tanya Lona, "Kamu akan menyesal menikahi aku, Kin."Kin tersenyum dan menatap Lona dengan lembut. "Tidak ada yang harus kamu berikan untukku. Aku mencintaimu apa adanya, Lona. Kamu memberikan kebahagiaan dan arti pada hidupku, dan itu adalah hadiah yang tak ternilai bagi ku."Lona merasa terharu dengan pernyataan Kin. Dia tahu bahwa Kin benar-bena
Kin, tentu saja merasakan sesak didalam jiwa, menghadapi kekasihnya Lona yang ternyata mengindap kanker otak stadium empat. Siapa mengira wanita cantik itu menanggung beban begitu berat sendirian selama ini.Kin duduk di samping tempat tidur Lona di ruang perawatan rumah sakit. Dia memegang tangan Lona lembut dan mengobrol dengannya. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Kin.Lona tersenyum lemah. "Aku sedikit merasa lelah dan pusing, tetapi aku bersyukur masih bisa berbicara denganmu," jawabnya.Kin mengelus rambut Lona dengan lembut. "Aku akan selalu ada di sampingmu, Lona. Kita akan melawan kanker ini bersama-sama, sampai kamu sembuh sepenuhnya," ucapnya dengan tegas.Lona tersenyum, merasa terhibur dengan kata-kata Kin. Mereka terus berbicara sepanjang malam, berbagi cerita mengenai masa lalu mereka. Kin bercerita tentang kejadian-kejadian lucu saat mereka bertemu pertama kali. Lona tertawa mendengarkan ceritanya, merasa terhibur."Aku tidak akan pernah sembuh, Kin," kata Lona, "
Menghadapi Kin sama saja menghadapi Iblis. Itulah yang sekrang tengah dirasakan Willy. Willy bukannya tidak tahu siapa Kin, sebagai salah satu mantan karyawannya, tentu dia tahu bagaimana sepak terjang Kin selama ini. Masih untung saja kemarin Kin hanya memecat dirinya, tapi uang memang telah membutakan mata seorang Wiily, dia tetap menginginkan menguasai perusahaan yang tengah dipegang Kin. Sungguh mimpi yang sangat diluar jangkauan sebenarnya, karena Kin bukanlah orang yang mudah untuk di takhlukkan. Niatnya menggunakan Lona sebagai alatnya selama ini dengan cara mengancam Lona, nyatanya juga tidak membuahkan hasil. "Jadi selama ini Lona menikmati setiap malam bersamamu ketika tidak aku, karena ancamanmu," kata Kin."Lona saja yang murahan," balas Willy"Wanita manapun akan mendesah dan menjerit ketika dibuai dengan lidah dan jemari kita, Wil!" sentak Kin, "Hanya saja dia mendesah dalam keadaan menangis atau bahagia, dia sendiri yang tahu.""Kin! Nggak usah cerewet terus kenapa?"
Pertanyaan Kin tentu membuat Kiyo sedikit kaget. Bisa-bisanya pria itu menanyakan hal yang pribadi."Kalau aku masih virgin, lalu kenapa?" tanya Kiyo sambil melotot jengkel pada Kin.Kim hanya terkekeh saja mendengar pertanyaan Kiyo, Padahal dia hanya bertanya saja. Mereka akhirnya tiba di kampus dan suasana kampus terlihat sangat ramai karena memang sedang ada acara daftar ulang mahasiswa baru."Jangan jauh-jauh dari aku aku takut kamu tersesat," kata Kin.Tidak ada orang yang tidak kenal dengan Kin, karena pria itu memang pengusaha muda yang saat ini tengah banyak disukai oleh banyak wanita. Adanya Kiyo yang tengah bersama Kin membuat orang-orang bertanya Siapakah wanita yang tengah bersama dengan Kin."Kenapa semua orang memperhatikan kita?" tanya Kiyo, "Aku jadi malu, Kak."" karena akulah yang sebenarnya menjadi pusat perhatian mereka, jadi mungkin mereka Tengah bertanya-tanya Siapa wanita cantik yang sedang bersamaku ini," jawab Kin.Kiyo tersenyum sambil menggigit bibirnya. Dia