“Malah Haaa! Jawab bukan malah haaa,” gerutu Orin.
“Ya, tapi, saya juga bingung Non harus jawab apa, saya takut Nona tidak mau sama saya, tapi saya juga bingung gimana cara menolak permintaan bapak,” balas Naka.
Penjual nasi goreng datang dengan membawakan dua piring nasi goreng dan 2 gelas minum.
“Silahkan dinikmati,”
“Terima kasih, Pak,” kata Naka
Orin yang benar-benar kelaparan langsung melahap nasi gorengnya tanpa ditiup, akhirnya orin jadi kepanasan, membuat Naka tertawa geli sendiri.
“Masih panas, non. Ditiup dulu,” kata Naka
“Kamu gak hihang kao hanas,” balas Orin sambil berusaha mengunyah nasi goreng yang sudah terlanjur masuk kemulutnya.
Akhirnya Naka membantu sedikit mendinginkan nasig goreng Orin dengan cara mengipasi nasi goreng Orin menggunakan kertas menu yang terletak diatas meja. Orin diam-diam memperhatikan Naka yang begitu perhatian pada Orin. Selama ini memang Naka nyaris selalu meladeni kemauan Orin tanpa membantah sedikitpun, melindungi Orin yang merupakan tugas utamanya, malah kadang justru membuat Naka jadi seperti kakak Orin.
“Naka, menurutmu bagaimana?” tanya Orin
“Bagaimana apanya, Nona?” tanya Naka bingung
“Soal pernikahan kita,” jawab Orin
“Astaga! Harus dijawab sekarang ya?” tanya Naka
“Papi hanya kasih aku waktu sampai besok pagi untuk memberikan jawaban,” jawab Orin
“Pertanyaan saya hanya satu, Nona, apakah Nona bersedia menjadi istri saya?” tanya Naka, “Saya tidak akan bertanya apapun pada anda, mengenai setelah menikah anda tetap akan menganggap saya bawahan Nona, saya akan terima, karena memang saya hanya seorang bodyguard.”
“Kamu jangan ngomong gitu, menikah itu bukan main-main, kalau memang kita menjadi suami istri, mana mungkin aku menganggapmu sebagai bawahanku,” jawab Orin, “Hanya saja, kamu sudah tahu semuanya tentang aku, memangnya kamu mau menikah sama wanita seperti aku?”
“Apanya yang kurang dari anda Nona, justru saya yang merasa kurang banyak Nona. Nona sempurna, cantik, cerdas, seorang CEO, kurang apa lagi?” tanya Naka, “Justru saya takut jika saya menjadi suami anda, akan banyak orang mencibir pada anda nantinya. Saya tidak mau Nona direndahkan orang lain hanya karena menikah dengan laki-laki seperti saya, hanya seorang bodyguard.”
Seketika Orin terkesiap mendengar perkataan Naka. Pria yang notabene baru berusia 23 tahun, bahkan kuliah saja belum selesai, pemikirannya sudah sampai sejauh itu. Bukan memikirkan tentang bagaimana dirinya nanti jika menikah dengan Orin, tetapi justru memikirkan bagaimana martabat Orin nanti jika menikah dengan dirinya.
Akhirnya acara makan nasi goreng selesai, tetapi Orin enggan untuk pulang, sehingga Naka mengajak Orin duduk santai disebuah taman kota yang masih ramai pengunjung sambil menikmati segelas susu jahe.
“Naka, aku kali ini serius tanya, kamu mau nggak jadi suami aku?” tanya Orin
“Kalau Nona tidak keberatan, saya bersedia,” jawab Naka
“Kamu mau menerima aku apa adanya, sabar ngadepin aku yang seperti biasanya seperti apa?” tanya Orin
“Ya, Nona. Apa yang saya nggak tahu soal Nona,” jawab Naka, “Pun jika setelah kita menjalaninya Nona tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, saya bersedia untuk mundur dan bercerai dengan anda.”
“Nikah belum udah ngomongin cerai!” sentak Orin,”Nggak ada dikamusku nikah terus cerai, mau apapun yang terjadi, rumah tangga hanya dilakukan sekali seumur hidup, kecuali memang salah satu dari kita mati, maut yang akan memisahkan kita.”
“Jadi, apakah besok bapak akan mendapatkan jawaban yang sama dari kita?” tanya Naka, “Saya masih takut, non. Saya takut tidak bisa membahagiakan anda. Kalau memenuhi secara finansial jelas saya sudah kalah, apalah saya ini, selama ini justru digaji sama bapak.”
“Kamu kenapa sih dari tadi sok merendah terus!? Aku tidak suka!” seru Orin
“Lantas saya harus bagaimana?” tanya Naka
“Jangan sok merendah terus seperti itu, sebentar lagi kamu juga lulus kuliah, pasti papi kasih kamu posisi yang baik diperusahaan, perusahaan papi saja ada lima, dua perusahaan sudah dipegang Kak Daniel dan Kak Samuel, aku pegang satu perusahaan, dan papi masih pegang dua perusahaan, nantinya salah satu pasti akan diberikan sama kamu,” jawab Orin.
“Saya….. nggak berani, Non. Saya kan belum ada pengalaman kerja kantoran, apalagi mengurus perusahaan, saya kan hanya bodyguard saja selama ini,” kata Naka
“Kamu mau bohong sama aku?” tanya Orin
“Mak-maksudnya?””
“Siapa yang sering diam-diam menyelesaikan laporanku selama ini kalau bukan kamu!?” tanya Orin
Naka seketika terkejut, tidak menyangka jika selama ini diam-diam menyelesaikan beberapa pekerjaan Orin ketika Orin tidak mampu menyelesaikan dan justru memilih clubbing.
“Maaf, Nona, saya lancang,” kata Naka
“Kamu nggak salah, justru itu bagus, artinya kamu sedikit demi sedikit sudah belajar tentang bagaimana mengurus perusahaan,” balas Orin, “Jadi besok-besok jangan lagi-lagi merasa rendah diri atau merendahkan diri. Potensi kamu bagus untuk memegang kendali perusahaan, papi harus tahu soal ini.”
“Jangan Nona!” seru Naka, “Jangan bilang bapak, saya nggak enak sama bapak, nanti dikira saya mau nikah sama Nona karena harta.”
“Ssst…. Kok dingin ya, tapi aku masih ingin disini,” kata Orin
Jelas saja Orin yang hanya mengenakan piyama tidur kedinginan. Naka segera melepas jaketnya sehingga menyisakan kaos lengan panjang press body.
“Nona pakai jaket saya,” kata Naka sambil menangkupkan jaketnya di bahu Orin.
“Nanti kamu kedinginan,” balas Orin
“Enggak. Saya masih pakai kaos lengan panjang,” kata Naka.
Orin lalu memakai jaket Naka, tercium aroma parfum bergamot menyeruak dari jaket Naka, membuat Orin tampak menikmati aroma parfum yang menempel pada jaket itu.
“Nona, sudah malam, ayo kita pulang, besok Nona ada jadwal meeting pagi,” kata Naka.
Orin menurut, bahkan ketika dengan tanpa sadar Naka menggandeng tangan Orin, dia tetap diam saja sambil memandangi punggung pria yang tinggi tegap sekaligus tampan itu, jarang ada pria sesempurna Naka. Pendiam, sering mengalah, dan melayani semua keinginan Orin.
Naka kemudian memakaikan helm dikepala Orin, lalu Naka menaiki motornya diikuti Orin. Tanpa sadar, Orin justru melingkarkan tangannya di perut Naka, sehingga tubuh Orin menempel pada punggung Naka, dan kepalanya menyender di bahu Naka, membuat Naka sedikit kikuk dibuatnya.
Naka membawa motornya dengan kecepatan sedang, dan pukul sebelas malam mereka sampai dirumah. Kondisi rumah sudah sangat sepi, karena para maid tentu sudah beristirahat. Orin segera masuk kekamarnya tanpa melepas jaket Naka, begitu juga Naka juga langsung masuk kekamarnya sendiri dan segera merebahkan diri dikasurnya yang hanya berukuran 120x200 cm itu.
Naka masih berusaha mengatur debar jantungnya yang seolah-olah berlari kesana kemari, selama perjalanan pulang dengan posisi dipeluk Orin dari belakang seperti tadi, rasa-rasanya Naka ingin menyembunyikan diri saja di kutub utara. Mimpi apa sampai-sampai dia dipeluk wanita secantik Orin. Orin hampir tidak ada cacat cela sama sekali, wajahnya putih dan halus bak porselen, kulit tubuhnya juga putih dan halus, sudah jelas kalau rutin melakukan perawatan tubuh di tempat yang mahal. Naka tahu karena paling tidak dua minggu sekali mengantar Orin melakukan perawatan tubuh, dengan sekali perawatan bisa habis sampai duapuluh lima juta.
Orin tanpa sadar terlelap dengan masih memakai jaket Naka. Sepertinya jaket itu memberi magnet tersendiri untuk Orin malam itu, aroma parfum dari jaket Naka mampu membuat Orin bisa tertidur dengan nyaman malam itu.
Esok hari, Anindito seperti biasa sarapan bersama Sonia juga Orin sebelum masing-masing beraktivitas diperusahaan masing-masing. Sonia sendiri masih lebih suka berada di rumah sambil mengurus si kecil Indra.
“Orin, kamu sudah ada jawaban belum?” tanya Anindito
“Jawaban apa?” tanya orin balik
“Soal Naka,” jawab Anindito, “Bagaimana?”
“Papi serius tanyanya sekarang?” tanya Orin tidak percaya, hari masih pagi tapi Anindito sudah menanyakan soal kesediaannya menikah dengan Naka.
“Ya, sekarang, mumpung masih pagi, masih ada waktu buat memberikan pesangon untuk Naka kalau kamu tidak mau menikah dengan dia,” jawab Anindito
“Jangan, Pi!” teriak Orin
“Artinya?” tanya Sonia sambil tersenyum
“Iya, aku mau,” jawab Orin sambil cemberut
“Maaf, Nona, ini jaketnya siapa ya ada dikamar Nona!? Bibi nemu dikamar Nona!?” tanya Bibi Tini sambil membawa sebuah jaket, yang jelas-jelas semua orang tahu itu milik Naka.
Naka yang baru saja muncul di ruang makan tampak terkejut, dia lupa jika jaketnya semalam dipakai Orin.
“Itu….”
“Itu bukannya jaketnya Naka?” tanya Sonia
Naka dan Orin saling berpandangan bingung mau berkata apa.
“Sepertinya memang pernikahan kalian harus dipercepat,” kata Anindito
“Tapi, Pak…..,” Naka berusaha protes
“Nggak ada tapi!” seru Anindito, “Semalam baru jaket, besok-besok bisa celana dalam yang tertinggal dikamar Orin.”
“Astaga! Bapak! Saya nggak seperti itu!” protes Naka, “Semalam saya nganter Nona cari makan karena lapar, dan Nona kedinginan tidak bawa jaket, jadi saya pinjamkan jaket saya.”
“Udah nggak usah protes, siapkan sura-suratmu,” kata Anindito dengan tatapan mengintimidasi, “Seminggu lagi kalian menikah!”
“Seminggu!!!??”
Kiyo duduk di teras depan rumahnya, memandangi dedaunan yang jatuh berantakan di depannya. "Kenapa harus menikah sekarang? Aku masih harus menyelesaikan kuliah dan membangun karirku," gumamnya dalam hati."Tapi, Kiyo, aku ingin kita menikah. Supaya Daddy nggak ribut melulu. Aku juga mulai mencintaimu, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu," ucap Kin sambil menatap Kiyo, pria itu terlihat duduk di sampingnya.Kiyo menatap Kin dengan wajahnya yang pucat. "Aku juga mencintaimu, Kak Kin, tapi aku tidak siap untuk menikah. Aku masih ingin menyelesaikan kuliahku dan membuat karirku.""Mungkin aku bisa mengerti perasaanmu, Kiyo," sahut Kin setelah memikirkannya sejenak. "Bagaimana kalau kita bertunangan saja untuk sementara waktu dan menikah setahun kemudian ketika kau sudah siap?"Kiyo terdiam sejenak. Usulan Kin terdengar masuk akal, dan setidaknya itu memberinya lebih banyak waktu untuk mengejar tujuannya. "Baiklah, kalau begitu kita akan bertunangan untuk sementara waktu," ja
Kin duduk di bar dengan segelas whiskey di tangannya, sambil menatap kosong ke arah botol yang kosong di dekatnya. Naka, ayah Kin, masuk ke dalam bar dan melihat kondisi putranya yang terlihat buruk."Kin, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Naka dengan nada cemas."Oh, Daddy. Apa yang kamu lakukan di sini?" Kin menoleh dan tersenyum kepada ayahnya."Aku khawatir tentangmu, Kin. Kamu minum terlalu banyak akhir-akhir ini. Kenapa kamu tidak membicarakan masalahmu denganku?" Naka duduk di sebelah putranya.Kin mengambil segelas lagi dan menyatukan kedua telapak tangannya di atas meja. "Daddy tidak akan mengerti. Aku merasa sangat kesepian setiap kali Lona tidak ada di sisiku. Tidak ada yang bisa mengganti kehadirannya.""Daddy mengerti, Kin. Tapi, kamu tidak bisa terus minum dan kehilangan kendali dirimu. Kita harus mencari jalan keluar dari situasi ini." Naka mengambil nafas dalam-dalam."Jalan apa yang bisa kita lakukan, Dad?" tanya Kin, memandang ayahnya.Naka menggelengkan kepalany
Lona terkejut, tapi segera wajahnya berubah menjadi bahagia dan ia memeluk Kin dengan erat."Benarkah? Aku tidak menyangka!" kata Lona dengan suara lirih, merasa sangat tersentuh."Ya, benar," jawab Kin, sambil merangkul Lona kembali. "Aku sudah mempertimbangkan hal ini cukup lama, dan aku tahu bahwa kamu adalah orang yang benar-benar aku mau bersama selamanya. Aku tidak ingin menunda-nunda lagi."Lona terharu, menyadari bahwa ini adalah keputusan yang sangat berani dari Kin. Dia merasa sangat beruntung memiliki seseorang seperti Kin yang begitu mencintainya."Terima kasih,tapi apa yang bisa aku berikan untukmu? Aku sudah tidak bisa apa-apa?"tanya Lona, "Kamu akan menyesal menikahi aku, Kin."Kin tersenyum dan menatap Lona dengan lembut. "Tidak ada yang harus kamu berikan untukku. Aku mencintaimu apa adanya, Lona. Kamu memberikan kebahagiaan dan arti pada hidupku, dan itu adalah hadiah yang tak ternilai bagi ku."Lona merasa terharu dengan pernyataan Kin. Dia tahu bahwa Kin benar-bena
Kin, tentu saja merasakan sesak didalam jiwa, menghadapi kekasihnya Lona yang ternyata mengindap kanker otak stadium empat. Siapa mengira wanita cantik itu menanggung beban begitu berat sendirian selama ini.Kin duduk di samping tempat tidur Lona di ruang perawatan rumah sakit. Dia memegang tangan Lona lembut dan mengobrol dengannya. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Kin.Lona tersenyum lemah. "Aku sedikit merasa lelah dan pusing, tetapi aku bersyukur masih bisa berbicara denganmu," jawabnya.Kin mengelus rambut Lona dengan lembut. "Aku akan selalu ada di sampingmu, Lona. Kita akan melawan kanker ini bersama-sama, sampai kamu sembuh sepenuhnya," ucapnya dengan tegas.Lona tersenyum, merasa terhibur dengan kata-kata Kin. Mereka terus berbicara sepanjang malam, berbagi cerita mengenai masa lalu mereka. Kin bercerita tentang kejadian-kejadian lucu saat mereka bertemu pertama kali. Lona tertawa mendengarkan ceritanya, merasa terhibur."Aku tidak akan pernah sembuh, Kin," kata Lona, "
Menghadapi Kin sama saja menghadapi Iblis. Itulah yang sekrang tengah dirasakan Willy. Willy bukannya tidak tahu siapa Kin, sebagai salah satu mantan karyawannya, tentu dia tahu bagaimana sepak terjang Kin selama ini. Masih untung saja kemarin Kin hanya memecat dirinya, tapi uang memang telah membutakan mata seorang Wiily, dia tetap menginginkan menguasai perusahaan yang tengah dipegang Kin. Sungguh mimpi yang sangat diluar jangkauan sebenarnya, karena Kin bukanlah orang yang mudah untuk di takhlukkan. Niatnya menggunakan Lona sebagai alatnya selama ini dengan cara mengancam Lona, nyatanya juga tidak membuahkan hasil. "Jadi selama ini Lona menikmati setiap malam bersamamu ketika tidak aku, karena ancamanmu," kata Kin."Lona saja yang murahan," balas Willy"Wanita manapun akan mendesah dan menjerit ketika dibuai dengan lidah dan jemari kita, Wil!" sentak Kin, "Hanya saja dia mendesah dalam keadaan menangis atau bahagia, dia sendiri yang tahu.""Kin! Nggak usah cerewet terus kenapa?"
Pertanyaan Kin tentu membuat Kiyo sedikit kaget. Bisa-bisanya pria itu menanyakan hal yang pribadi."Kalau aku masih virgin, lalu kenapa?" tanya Kiyo sambil melotot jengkel pada Kin.Kim hanya terkekeh saja mendengar pertanyaan Kiyo, Padahal dia hanya bertanya saja. Mereka akhirnya tiba di kampus dan suasana kampus terlihat sangat ramai karena memang sedang ada acara daftar ulang mahasiswa baru."Jangan jauh-jauh dari aku aku takut kamu tersesat," kata Kin.Tidak ada orang yang tidak kenal dengan Kin, karena pria itu memang pengusaha muda yang saat ini tengah banyak disukai oleh banyak wanita. Adanya Kiyo yang tengah bersama Kin membuat orang-orang bertanya Siapakah wanita yang tengah bersama dengan Kin."Kenapa semua orang memperhatikan kita?" tanya Kiyo, "Aku jadi malu, Kak."" karena akulah yang sebenarnya menjadi pusat perhatian mereka, jadi mungkin mereka Tengah bertanya-tanya Siapa wanita cantik yang sedang bersamaku ini," jawab Kin.Kiyo tersenyum sambil menggigit bibirnya. Dia