“Saya terima nikahnya dan kawinnya Orin Regina Asmoro binti Anindito Asmoro dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai!”
Suara lantang Naka menggema memenuhi hall hotel bintang lima yang digunakan secabagai acara akad nikah sekaligus sebagai tempat resepsi.
“Sahhh!” teriak para saksi.
Naka tersenyum lega, akhirnya dia bisa mengucapkan ijab Kabul hanya dengan satu tarikan nafas, padahal semalaman dia nyaris tidak bisa tidur karena sibuk menghapal ijab Kabul, dan selalu saja salah-salah terus, entah salah menyebut nama Orin atau salah menyebut nama mertuanya.
Naka mencium kening wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya dengan lembut, dan orin mencium punggung tangan pria yang selama ini selalu setia menemaninya dan menjaganya sebagai seorang bodyguard, dan kini berubah status menjadi suaminya.
Sungguh tidak ada yang menyangka, jika Naka berhasil menakhlukkan hati Orin, semua orang juga tahu jika Naka adalah bodyguardnya Orin, ada sebagian orang yang bangga dengan sikap Naka yang memang dewasa meski usianya terpaut empat tahun dibawah Orin, tetapi ada juga yang mencemooh Naka, menganggap Naka mencari kesempatan untuk mendapatkan kekayaan instans dengan dalih mencintai Orin. Padahal jika boleh saja mereka tahu yang sebenarnya, diantara keduanya, sama sekali belum ada tumbuh perasaan cinta.
Keduanya tengah duduk diatas pelaminan setelah lelah bersalaman dengan banyak tamu undangan. Orin tampak mulai kurang nyaman dengan gaun pengantinnya, sehingga membuat Naka sedikit memperhatikan.
“Non, eh- maksudnya Orin, kamu lelah?” tanya Naka
“Kakiku pegel, bang,” jawab Orin
“Pasti karena heelsmu terlalu tinggi, tujuh centimeter itu tinggi, lho!” kata Naka, “Dilepas saja kalau lelah.”
“Gak mau! Enak aja, udah cakep-cakep pakai gaun begini masa nyeker,” balas Orin
“Sini, aku pijitin sebentar!”kata Naka sambil berjongkok didepan Orin. Naka tidak peduli banyak mata melihat apa yang dia lakukan, memberikan sedikit pijatan dikaki Orin membuat Orin sedikit nyaman.
“Sudah, bang, gak enak dilihat orang, harusnya aku yang pijat kamu,” kata Orin
“Aku tidak lelah, tidak perlu dipijat,” balas Naka
Pesta usai pada pukul empat sore, wajah-wajah lelah tampak tersirat dikeluarga Orin. Orin sendiri sedari tadi sudah mengantuk sekali, sehingga ketika sampai dikamar pengantin yang sudah disiapkan pihak hotel, Orin langsung tertidur dengan gaun pengantin masih melekat ditubuhnya, sementara Naka bergegas membersihkan diri dan berganti dengan pakaian yang lebih santai.
“Orin, bangun, mandi dulu biar segar,” bisik Naka
Sayangnya, Orin terlalu lelap dalam tidur, bahkan terdengar dengkuran halus dari bibir Orin, menandakan Orin memang benar-benar lelah menjadi ratu seharian ini.
“Ya Tuhan, semoga aku bisa menjadi imammu selamanya,” gumam Naka, “Keputusan berat untuk menikahimu, tapi bagaimana aku bisa menolak semuanya.”
Naka yang juga mengantuk akhirnya ikut terlelap disofa, dia belum memiliki keberanian untuk tidur disebelah Orin, rasa canggung jelas masih menyelimuti hati dan pikirannya. Entah mimpi apa beberapa waktu lalu, dia yang hanya seorang bodyguard justru menikahi anak dari majikannya sendiri, seorang CEO wanita yang cantik paripurna tentunya.
Orin terbangun setelah dua jam terlelap, dia melihat Naka yang tertidur pulas di sofa, kakinya yang panjang menjuntai di sandaran Sofa, membuat Orin sedikit kasihan dengan posisi tidur Naka.
“Kenapa nggak tidur saja disebelahku kalau capek,” gerutu Orin. Orin lalu melepaskan gaunnya dan membersihkan diri dikamar mandi. Orin keluar hanya mengenakan handuk yang dililitkan di tubuhnya, hanya menutupi sebagian dadanya dan menampakkan paha mulus putih tanpa cacat apalagi bekas luka, dan bersamaan dengan Orin keluar dari kamar mandi, Naka juga sudah bangun dan tengah duduk di sofa sambil mengumpulkan nyawanya.
“Bang, aku lapar,” kata Orin
Naka terlonjak kaget ada suara perempuan dikamarnya, dia belum sadar jika dia sudah menikah dan tinggal sekamar dengan wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya.
“Ya, Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa kalau aku ini sudah menikah,” gerutu Naka
Naka tambah dikejutkan dengan penampilan Orin yang masih menggunakan handuk saja.
“Orin! Pakai bajumu!” seru Naka
“Kenapa? Aku baru saja selesai mandi, lupa bawa baju ke kamar mandi,” balas Orin, ”Pesan makanan sana! Aku lapar!”
“Hah! I-iya.”
Naka bergegas keluar dari kamar, tentu saja jangan ditanya, jantungnya berdegup kencang karena baru saja melihat pemandangan indah kemolekan tubuh istrinya, itu baru tertutup handuk, bagaimana kalau tidak sama sekali.
“Apakah aku akan melakukan malam pertama?” tanya Naka kalam hati, “Ah! Tidak-tidak! Mana berani aku menyentuh dia!”
Naka kembali masuk ke kamar dengan membawa sebuah nampan berisi makanan dan minuman, malam itu bahkan Naka tidak ada selera makan gara-gara melihat kemolekan tubuh Orin, sehingga Naka hanya meminta bagian restoran hotel untuk memberikan dia segelas susu hangat saja, sedangkan Orin dia ambilkan menu makanan kesukaan Orin seperti biasanya, spageti dan milkshake coklat.
Orin tampak sudah mengenakan kimono tidurnya, dan mereka kemudian duduk bersama di sofa sambil makan.
“Kamu tidak makan, bang?” tanya Orin yang melihat Naka hanya menyeruput susu hangatnya.
“Masih kenyang,” jawab Naka dengan tanpa memperhatikan Orin, pasalnya Orin mengenakan kimono pendek, sehingga lagi-lagi memamerkan paha mulusnya.
Selesai makan, Orin kembali merebahkan diri di sofa, disebelah Naka yang masih asyik dengan ponselnya. Orin merasa dicuekin kemudian bersandar di pundak Naka.
“Kamu kenapa diam saja?” tanya Orin
“Hah! E- tidak, tidak apa-apa,” jawab Naka gugup, “Aku sedang menunggu email dari dosenku, aku mau persiapan ujian skripsi.”
Orin memandang wajah Naka dari samping, pria itu sangat tampan jika dilihat dari samping, rahangnya begitu tegas, bibirnya seksi, dan hidungnya sangat mancung. Entah Naka itu sebenarnya tercipta dari ayah dan ibu yang seperti apa, sehingga anaknya setampan itu.
Jujur, Naka bingung mau memulai darimana untuk berhubungan dimalam pertama bersama Orin, dia terlalu gugup untuk menyentuh istrinya.
“Kenapa terasa gerah ya,” kata Orin tiba-tiba. Dia berdiri dan melepas kimononya, yang tentu saja membuat Naka semakin meneguk salivanya. Pasalnya dibalik kimono itu, ternyata Orin mengenakan lingiere yang sangat seksi, warnanya merah menyala, sangat tipis, dan bahkan disamping kanan dan kirinya transparan hanya dibatasi beberapa utas tali-tali kecil saja, sehingga terlihatlah mulusnya tubuh Orin dari samping kanan kirinya.
Naka langsung memalingkan wajahnya, tanda dia semakin gelisah dan resah. Keinginannya begitu besar, apalagi yang dibawah sana sudah ikut meronta-ronta karena otak tuannya telah terkontaminasi kemolekan tubuh istrinya, dan Naka hanya terpaku diam.
“Bang, kamu nggak tidur lagi?” tanya Orin yang tengah mengoleskan lotion ke kakinya yang jenjang.
“Hah! Iya, sebentar,” jawab Naka gugup
Naka kemudian berjalan keranjang, dan bersandar dikepala ranjang.
“Tidurlah jika kamu lelah,” kata Naka
“Tidur?” tanya Orin tidak percaya
Pasalnya memang sedari tadi Orin sudah mempersiapkan semuanya untuk malam pertamanya, meskipun belum ada cinta diantara keduanya, tetapi Orin berusaha untuk menjadi istri yang baik. Salah satunya dengan mencoba mengenakan lingiere seksi supaya Naka mau menjamahnya tanpa rasa grogi, karena Orin tahu, Naka pasti masih merasa tidak enak, mengingat dia adalah bodyguardnya.
“Iya, tidur, biar besok pagi bisa bangun dalam keadaan segar, sini!”
Naka menepuk bagian ranjang yang kosong, meminta Orin untuk tidur disebelahnya. Orin menurut, tanpa sadar lingiere Orin sedikit terangkat sehingga menampakkan paha mulusnya.
“God!!! Kenapa rasanya seperti ini memiliki istri yang cantik,” kata Naka dalam hati, “Mana dia gak pakai bra lagi, apakah dia juga tidak pakai celana dalam?”
Pikiran Naka kemana-mana tidak jelas, sementara Orin malah justru sudah kembali tertidur dalam keadaan dongkol, usahanya membuat Naka tergoda gagal total, nyatanya pria itu justru hanya mengajaknya tidur supaya besok bisa bangun dengan keadaan lebih segar. Sungguh, konsep macam apa dimalam pertama justru tidur supaya esok bisa bangun lebih segar lagi.
Orin yang sudah tertidur, membuat Naka kembali mengambil ponselnya, mencari-cari artikel tentang malam pertama, dan semua artikel menjurus pada pembahasan hubungan intim.
“Astaga, masa iya harus seperti itu!?” jerit Naka dalam hati, “Aku mana berani melakukan itu padanya.”
“Aku kurang cantik apa kurang seksi sebenarnya….,” terdengar Orin mengigau, membuat Naka terkejut setengah mati, “Menyebalkan kamu.”
Esok harinya, Naka sudah bangun terlebih dahulu, dan berlari kekamar mandi. Naka pria normal, semalaman tidur dengan posisi dipeluk Orin, tentu sungguh menyiksanya, sehingga pagi itu Naka segera menuntaskan semuanya dikamar mandi. Keduanya kemudian pulang kerumah pada siang hari, setelah mereka sarapan bersama di hotel, lalu mampir ke rumah Naka untuk mengambil barang-barang milik Naka. Naka resmi tinggal dirumah Orin, bersama mertuanya, sehingga Naka harus mengambil barang-barang yang masih ada dirumah peninggalan orang tuanya. Naka masuk ke kamar Orin dengan suasana berbeda, sudah ada satu lemari tambahan disana, yang memang ditambahkan untuk tempat pakaian Naka. “Aku bantu bereskan pakaian abang,” kata Orin “E, tidak usah, aku bisa sendiri,” balas Naka, “Kamu istirahat saja, besok sudah mulai kerja.” “Siapa bilang besok kita kerja?” tanya Orin, “Kita akan bulan madu.” “Bu-bulan madu?” tanya Naka tidak percaya, kenapa juga harus ada bulan madu, sedangkan malam pertama saja dila
Wajah Naka masih bersemu merah ketika duduk bersama Anindito dan istrinya di ruang keluarga. Bagaimana tidak malu kalau Naka yang tengah berciuman dengan Orin, justru ketahuan oleh mertuanya. “Besok kalian akan berangkat ke Bali. Nikmati liburan kalian,” kata Anindito “Harus ya, pi?” tanya Naka “Ya, harus!” jawab Sonia, “Supaya pulang lekas bawa cucu untuk kami.” “Cu-cucu!?” tanya Naka menjadi lebih gugup lagi “Sebentar, Pi,” kata Orin, “Sepertinya keberangkatan ke Bali harus diundur 2 atau 3 hari lagi. Bukannya Bang Naka besok sidang skripsi?” “Ya, Tuhan! Iya aku lupa, besok sidang skripsi,” balas Naka sambil menepuk dahinya sendiri. “Bisa tetap berangkat besok. Sidang skripsi kan pagi, kalian bisa berangkat sore harinya,” kata Anindito, “Ya, sudah sana kamu belajar buar persiapan besok! Orin, jangan ganggu suamimu, biar dia belajar dulu.” “Aku juga mau keluar, pi,” balas Orin “Mau kemana kamu?” tanya Sonia “Nge mall, daripada bosan dirumah,” jawab Orin sambil berlalu pergi.
Naka sudah tidak dapat lagi membendung hasratnya, sebagai laki-laki normal tentu saja dia langsung memuncak gairahnya disuguhi pemandangan kemolekan tubuh istrinya. Akhirnya malam itu menjadi pergumulan malam pertama entah yang sudah menjadi malam kesekian untuk mereka berdua. Pukul empat pagi, Naka terbangun dengan posisi tengah tidur sambil memeluk istrinya dari belakang. Orin masih tampak terlelap dengan menggunakan lengan Naka sebagai bantalan kepalanya. Perlahan Naka memindahkan kepala Orin ke bantal, dan kemudian dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan sholat subuh. Orin masih belum bisa sholat, sehingga Naka harus mengajarinya secara bertahap, pagi itu Naka sholat sendirian di samping ranjang. Orin yang sedari tadi sudah bangun tampak memperhatikan Naka yang tengah sholat. “Pagi-pagi sudah wangi aja?” tanya Orin yang melihat Naka mengenakan sarung dan baju kokonya. “Karena kalau pagi kita harus ibadah,” jawab Naka sambil tersenyum “Aku belum bisa
Suasana sore di sebuah resort mewah yang sudah berkelas internasional menjadi pemandangan indah bagi sepasang pengantin baru Orin dan Naka. Ternyata Anindito memilihkan salah satu resort mahal dikawasan Jimbaran untuk anak dan menantunya berbulan madu. Naka tengah berenang di kolam renang privat yang ada di resort itu, bentuk tubuhnya yang memang atletis dengan dada bidang dan 6 kotak diperutnya menambahkan kadar ketampanannya, sungguh tidak menyangka jika Naka selama ini hanya seorang bodyguard, yang akhirnya menikah dengan Orin, gadis cantik anak dari majikannya sendiri. Orin yang tengah menikmati pemandangan sore hari, matanya hampir tidak lepas dari Naka, Orin sangat terkesima dengan bentuk tubuh indah milik sang suami, beberapa kali mengambil gambar Naka yang baru saja keluar dari kolam renang, membuat Orin senyum-senyum sendiri. Dulu dia sempat menentang sebuah pernikahan, tapi entah kenapa sekarang dia begitu tergila-gila pada Naka. Sekalipun usia Naka dibawahnya empat tahun,
Orin dan Naka sudah kembali ke rumah Anindito setelah berbulan madu selama seminggu di Bali. Jika Orin sudah mulai persiapan untuk kembali bekerja dengan wajah baru dan cerianya, maka berbeda dengan Naka. Pria itu justru bingung, karena sejak kembali dari Bali, tugasnya mengawal Orin sudah digantikan oleh Angel. Anindito mengambil bodyguard baru perempuan untuk putri bungsunya. Pagi itu Orin sudah tampak berdandan cantik dengan setelan blazer warna merah marun dengan dalaman berdada rendah, juga rok pendeknya dengan warna senada, rok itu hanya sekitar 30 centimeter menutupi bagian bawah Orin, sehingga masih terlihat paha mulus nan putih itu. Ditambah sebuah stiletto dengan warna merah marun juga membuat penampilan Orin sungguh sempurna. “Orin, memangnya tidak ada rok yang lebih panjang lagi?” tanya Naka sambil memperhatikan istrinya yang tengah menggunakan lisptik “Memangnya kenapa?” tanya Orin balik, “Biasanya juga seperti ini.” “Aku tidak suka orang lain memandangi tubuhmu,” jawa
Merasa posisi sudah kalah, akhirnya 2 mobil yang membawa 8 orang yang menyerang Naka pergi meninggalkan Naka begitu saja, bersamaan dengan kedatangan Soni juga beberapa anak buahnya. Keringat Naka bercucuran sampai kemejanya basah, sebelum berkelahi tadi, Naka sudah melepaskan jasnya terlebih dahulu. “Kamu tidak apa-apa, Ka?” tanya Anindito sambil memegang bahu menantunya, kemudian memeriksa kedua sisi wajah Naka, takut-takut kena pukul musuh tadi. “Tidak, Pi. Saya tidak apa-apa,” jawab Naka, “Hanya sepertinya saya mana mungkin memakai kemeja ini, sudah basah.” “Tidak apa-apa, didalam mobil ada kaosmu, kamu ganti kaos saja dahulu,” kata Anindito “Pak, sepertinya keluarga Asoka sudah mengetahui keberadaan Mas Naka,” bisik Soni. “Selidiki saja dahulu, jangan sampai Naka tahu dulu soal ini,” balas Anindito Naka akhirnya melepaskan kemeja dan kaos dalamnya, kemudian memakai kaos oblong yang ada didalam mobil dan menutupnya dengan jas, tentu saja masih tetap terlihat tampan meskipun
Naka bukan tidak tahu maksud dari Intan, tentu saja Naka hanya tersenyum kecil melihat betapa inginnnya Intan mengalahkan Orin istrinya, bahkan untuk urusan laki-laki pun Intan tidak mau kalah. “Kalau anda mau, pria dibelakang anda masih jomblo,” kata Naka sambil menunjuk Fajar, tentu saja Fajar mendelik jengkel pada sahabat yang sekarang menjadi bosnya itu. “Aku maunya sama kamu,” balas Intan yang tiba-tiba duduk dipangkuan Naka, tentu saja Naka tidak dapat berkutik “Tolong anda turun dari pangkuan saya! Ini namanya tidak sopan!” hardik Naka mulai jengkel sendiri. “Baiklah, kali ini mungkin kamu akan diam saja, lain waktu kamu pasti akan jatuh dalam pelukanku,” balas Intan sambil berdiri, kemudian meninggalkan ruangan Naka. Naka menghembuskan napas kasar setelah kepergian Intan, sementara Fajar terkekeh geli melihat sahabatnya seperrti baru saja melihat hantu. “Ya, ampun! Emangnya cewek pada kayak gitu ya kalau saingan,” kata Naka, “Dipikir aku ini piala bergilir buat rebutan sa
Naka sejak menjadi CEO, kesibukannya kian bertambah, begitu juga Orin, keduanya seperti layaknya suami istri yang sudah disetel waktu untuk pergi dan bertemu bahkan tidur bersama, monoton sekali hari-hari mereka. Sebenarnya cita-cita Naka adalah memiliki istri yang tidak bekerja, berada dirumah dan menyambut dia pulang setiap dia pulang kerja, nyatanya sungguh berbeda. Naka harus menerima memiliki istri seorang CEO, yang tentu sangat sibuk, jangan harap istrinya akan menyambutnya setiap pulang kerja dan sudah menyiapkan makan malam untuk mereka berdua, bahkan Orin saja tidak bisa masak. Naka justru seperti supir pribadi Orin, mengantar dan menjemput Orin setiap pulang kerja, atau bahkan pulang dengan kondisi Orin belum bisa pulang terlebih dahulu karena ada rapat mendadak. Sore itu, Naka terpaksa pulang sendiri tanpa menjemput Orin, karena Orin mengatakan ada pertemuan mendadak dengan klien dari Jepang, sehingga Naka memilih pulang lebih dahulu ke rumah. “Naka, kamu tidak pulang den