Jevan tengah makan siang di kantin kantornya bersama Alex, sahabat karib Jevan. Dan juga merupakan salah satu karyawan di perusahannya. Tak biasanya dia makan siang di kantin kantornya. Namun, entah mengapa hari ini rasanya dia ingin sekali makan siang disini. Tentu saja, suasana kantin sedikit heboh dikarenakan bos dari King Company sedang berada di kantin. Hal yang baru pertama kali terjadi. Namun, sayang ketenangan Jevan tak bertahan lama. Kala Sarah, datang menghampiri meja mereka berdua.
“Hai!” sapa Sarah, yang tiba-tiba saja sudah duduk disamping Jevan.
Jevan sama sekali tak menggubris ucapan Sarah barusan. Karena merasa tak diperhatikan, akhirnya Sarah menggeser duduknya agar lebih dekat lagi dengan Jevan. Gadis itu, tiba-tiba saja meraih lengan Jevan, dan bergelanyut manja pada laki-laki itu. Ini bukanlah suata hal yang mengejutkan bagi para karyawan King Company. Pasalnya, rumor terkait Jevan, Sarah dan juga Maura sudah menyebar luas di seluruh lingkungan kantor King Company ini. Banyak sekali, yang membicarakan tentang mereka bertiga, bahkan para karyawan. Terutama karyawan perempuan, menjuluki bos nya itu sebagai playboy kelas dewa. Tampan, kaya namun pemain wanita.
“Lepas, Sarah!’ ucap Jevan dengan nada dinginnya. Sambil menatap ke arah Sarah.
“Tidak, aku tidak mau.”
Akhirnya, Jevan membiarkan Sarah untuk tetap memeluk lengannya. Bukan apa-apa, Jevan hanya malas untuk berdebat dengan Sarah. Sedangkan Alex, laki-laki itu hanya berperan sebagai penonton saja. Terlalu malas untuk ikut campur.
“Ahahahah”
Suara tawa yang tak asing bagi Jevan. Jevan menoleh ke arah sumber suara. Tepat di pintu masuk kantin, disana ada Maura, Salwa dan Rion. Entah mengapa, pemandangan di depan itu benar-benar membuat hati Jevan rasanya terbakar. Tanpa disadarinya, kedua tangan Jevan sudah mengepal sempurna. Matanya lurus menghadap ke depan sana, dengan tatapan tajam khasnya.
Kini Maura, Salwa dan Rion. Sudah duduk di bangku tepat di depan Jevan. Tadi Maura sempat beradu pandang dengan Jevan sebelum Maura memutuskan untuk mengalihkan pandangannya terlebih dulu. Maura duduk menghadap ke arah Jevan, dengan Rion yang duduk disampingnya. Pemandangan itu tak lepas dari pantauan Jevan. Jevan sama sekali tak mengalihkan pandangannya.
“Mau makan apa, Maura? Aku pesankan,” ujar Rion.
“Tidak perlu, aku bisa pesan sendiri saja.”
“Sudah biar aku saja. Kamu juga, Salwa .Mau pesan apa?”
“Samakan saja,” jawab Salwa.
“Bagaimana kalau nasi goreng?” saran Rion.
“Terserah.”
“Dasar, wanita. Yasudah aku pesan dulu.”
Setelah itu, Rion beranjak dari duduknya, Dan berjalan untuk memesankan makanan untuk mereka bertiga. Maura melirik kearah Jevan sekilas. Rupanya laki-laki itu masih memperhatikannya. Jujur, Maura jadi gugup diperhatikan oleh Jevan dengan tatapan seperti itu.
Sarah yang daitadi hanya sibuk bermain ponsel, dan bergelanyut manja pada lengan Jevan. Kemudian tersadar akan kehadiran Maura. Ini mungkin kesempatan yang tepat untuk dia menyelesaikan masalahnya dengan Maura. Saat Sarah hendak berdiri, dengan kasar Jevan menarik lengan Sarah agar kembali duduk. Tentu saja perlakuannya barusan membuat Sarah heran.
“Kamu kasar sekali, Jevan!” ujar Sarah marah.
“Mau apa kamu?” tanya Jevan dengan nada mengintimidasi.
“Balas dendam.”
“Diam, duduk disini!”
“Kenapa? Kamu membela Maura sekarang?”
“Jangan mengundang keributan, memalukan saja!”
“Dia itu anak tidak tahu diri! Harus diberi pelajaran, Jevan!”
“Kubilang diam, ya diam! Paham?”
Sarah berdecak kesal, ada apa dengan Jevan? Mengapa tiba-tiba berubah?
Tak lama kemudian, Rion datang dengan nampan berisikan makanan mereka bertiga. Rion kemudian menaruh nampan itu di atas meja, dan kembali duduk disamping Maura. Mereka memulai memakan makanan masing-masing. Disela-sela makan, mereka juga saling bercanda gurau. Apalagi Rion dan Maura, mereka berdua terlihat sangat dekat.
Jevan sudah tidak tahan lagi. Laki-laki itu kemudian berdiri, berjalan menuju ke arah Maura. Tentu saja, hal itu mengejutkan Maura dan yang lainnya. Saat dengan tiba-tiba, Jevan sudah berdiri tepat dihadapan Maura. Rion menatapanya datar. Namun, Jevan tak menghiraukan itu. Sedangkan Maura, menatap Jevan heran.
“Aku perlu bicara, Maura,” ujar Jevan tiba-tiba.
“Apa?” jawab Maura bingung.
“Aku perlu bicara, bisa ikut denganku?”
“Bicara apa?”
“Ayo ikut saja, ini penting.”
“Oh i-iya, bisa.”
Saat Maura hendak beranjak untuk berdiri. Rion, menahan tangan Maura. Gadis itu kemudian menoleh ke arah Rion. Rion tak berkata apapun, dia hanya memberikan isyarat kepada Maura. Untuk tetap diam disini, dan tidak ikut dengan Jevan. Namun, Maura menentangnya.
“Aku bisa urus ini, kamu jangan ikut campur.”
Setelah mengatakan itu, Maura pergi bersama Jevan. Meninggalkan area kantin. Baik Sarah dan Rion sama-sama memandang kepergian Jevan dan Maura itu dengan raut wajah yang sulit untuk dijelaskan.
Ada apa ini?
Jevan dan Maura duduk di sofa yang ada di dalam ruangan milik Jevan, agar mereka bisa lebih leluasa untuk berbicara empat mata saja makanya Jevan mengajak Maura untuk berbicara di dalam ruangannya. Setelah sekitar dua menit, belum ada obrolan yang tercipta diantara keduanya. Maura sibuk memandangi rumput-rumput hijau yang dia injak. Sedangkan Jevan, sibuk memandangi Maura yang duduk disampingnya. Akhirnya Maura membuka suara, gadis itu menolah ke arah Jevan yang masih memperhatikannya.
“Hal penting apa, yang Mas ingin katakan?”
“Maaf.”
Satu kata yang keluar dari mulut Jevan. Namun, mampu membuat Maura kebingungan dibuatnya.
“Maaf? Maksudnya?”
“Maaf sudah menyakitimu, Maura.”
Apa ini benar? Yang dikatakan Jevan? Ataukah laki-laki ini sedang mempermainkannya lagi? Sulit untuk ditebak. Jevan terlalu abu-abu. Namun, Maura dapat melihat jelas. Ketulusan dari kata maaf Jevan barusan.
“Aku tahu, sulit bagimu untuk memaafkanku. Tapi bisakan kamu memberi aku kesempatan?”
“Kesempatan untuk apa?”
“Untuk membuktikan, bahwa aku tulus meminta maaf, atas perlakuanku padamu.”
“Aku tidak tahu, Mas.”
Jevan meraih kedua tangan Maura, laki-laki itu memutar posisinya agar menghadap penuh ke arah Maura. Matanya menatap serius kedua bola mata Maura. Maura bingung harus apa. Gadis itu hanya terdiam kaku.
“Untuk semua hal menyakitkan, yang aku lakukan padamu, Maura. Dengan tulus aku meminta maaf. Maafkan aku, Maura. Aku tahu, aku sangat dalam melukai hati dan perasaanmu. Aku tahu, aku sudah menyia-nyiakan semua kebaikan yang kamu berikan. Sekarang aku sadar, tentang semua pengorbananmu, Maura. Jadi aku mohon, maafkan aku.”
Mendengar Jevan, melontarkan kata-kata manis itu. Membuat Maura seakan-akan terhipnotis. Perjuanganya untuk membenci Jevan seakan runtuh. Hatinya kembali berdebar kala memandang kedua bola mata indah milik laki-laki di depannya ini.
Apa yang harus dia lakukan?
“Maura!”
Maura menolah saat ada yang memanggilnya. Rupanya orang itu adalah Rion. Laki-laki itu lantas berlari menuju ke arah Maura.
“Darimana kamu?” tanya Rion saat sudah berada di hadapan Maura.
“Ruangan Mas Jevan.”
“Apa yang laki-laki brengsek itu lakukan padamu, tadi?”
“Tidak ada, Rion.”
“Jujur, Mau.”
“Dia tidak menyakitiku, dia hanya meminta maaf kepadaku.”
“Jangan percaya, aku sangat yakin dia itu adalah laki-laki jahat. Kau harus tetap menjauh darinya. Itu hanya tipu daya dia saja.”
“Semua orang berhak berubah Rion, aku lihat Mas Jevan tulus meminta maaf.”
“Tidak. Kamu tidak boleh dekat-dekat dengan Jevan lagi. Dia pasti akan menyakitimu, seperti sebelumnya.”
Disaat Maura dan Rion masih sibuk berdebat. Tiba-tiba saja Jevan datang menghampiri mereka berdua. Rion menatap tak suka kehadiran Jevan itu.
“Maura, pulang bersamaku ya?” ujar Jevan, mengajak Maura. Belum sempat Maura menjawab ajakan Jevan. Rion sudah menyelanya lebih dulu.
“Tidak bisa, Maura pulang bersamaku.”
Perkataan Rion barusan, mengundang emosi Jevan. Jevan langsung menoleh kea rah Rion. Menatap laki-laki itu dengan tajam. Sama halnya dengan Jevan, Rion juga menatap Jevan dengan tatapan tajamnya.
“Aku mengajak Maura. Biarkan dia yang menjawab. Memangnya kamu siapa?”
“Kenalkan, aku Rion. Kekasih Maura,” ujar Rion santai, sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Jevan.
Maura berjalan di koridor kantornya dengan perasaan lesu. Entah kenapa akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang menguras energinya. Dia bahkan beberapa kali tak selera makan. Namun, dia masih harus tetap bekerja. Sebenarnya dia malas sekali untuk berangkat ke kantor pagi ini. Dia malas jika nanti akan bertatap muka dengan Rion."Tuhan, aku mohon. Keberuntungan berpihak padaku hari ini. Hari ini saja, jangan pertemukan aku dengan Rion dn juga Pak Jevan."Setelah berdoa dan menyemangati dirinya. Maura melanjutkan langkah kakinya untuk menuju ke ruang kerjanya.Apa Maura sejahat itu, sampai-sampai Maura berdoa pun tak dikabulkan oleh Tuhan. Baru saja Maura berdoa tadi, belum sempat lima menit. Maura sudah dipertemukan oleh Rion. Laki-laki itu terlihat di depan sana hendak berjalan menuju ke arahnya. Mau menghindari pertemuannya itu pun tak bisa.Akhirnya Maura memasang wajah datarnya dan berjalan menghadap lurus ke depan tak memperdulikan Rion yang melewatinya. Tentu saja Rion gelisah
Maura sedang duduk di kursi riasnya. Gadis itu sedari tadi tak bisa berhenti untuk tidak tersenyum saat mengingat kejadian semalam. Maura melirik ke arah boneka beruang yang ada di atas ranjangnya. Saat ingat boneka itu adalah pemberian dari Jevan, lagi dan lagi Maura tersenyum malu. "Bisa gila aku, jika terus-terusan seperti ini." Jevan benar-benar berhasil, membuat Maura jatuh sangat dalam menaruh perasaan padanya. Maura merasa Jevan sudah benar-benar berubah kali ini. Bahkan, Maura juga merasa Jevan sudah lebih menjaga jarak dengan Sarah. Entahlah sebenarnya Maura tak begitu yakin tapi, itu yang Maura lihat sejauh ini. Namun, anehnya Sarah juga sekarang tidak pernah mengganggu Maura lagi. Ya seharusnya Maura senang tapi, Maura malah merasa aneh dengan sikap Sarah yang seperti itu. "Apa dia juga sudah berubah? Ah tidak mungkin tapi, ah sudahlah biarkan saja." Tak mau ambil pusing, Maura lebih memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Kini gadis itu sudah siap untuk berangkat ke k
"Ah segarnya, habis mandi." Kini Maura sudah terbaring di atas ranjangnya. Pulang dari jogging tadi Maura langsung saja mandi. Tubuh gadis itu terasa sangat lengket. Mandi sehabis olahraga sangatlah menyegarkan tubuh. Badannya terasa segar dan fresh. Sesuai dugaan Maura juga, punggung gadis itu yang tadi pagi terkena bola basket kini sudah tidak sakit lagi. "Untung saja, tidak keras tadi lemparannya. Kalau keras, bida patah tulang aku tadi." Sambil bermalas-malasan sehabis mandi, Maura juga sembari memainkan ponselnya. Ting! "Ada apa ya, dia menghubungiku hari ini?" Tiba-tiba saja sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya. Maura sudah sempat membaca siapa orang yang mengiriminya pesan barusan. Orang itu adalah Jevan. Jevan:: Sore nanti bisa antarkan aku membeli kado untuk adikku? Maura tak langsung menjawab pesan yang barusan Jevan kirimkan. Gadis itu masih menimang-nimang jawaban apa yang akan Maura berikan pada Jevan. Gadis itu bingung, Maura sebenarnya tak ada niat untuk m
Drtt. Drttt. Drrttt. Maura buru-buru keluar dari kamar mandinya saat mendengar ponselnya terus-menerus berdering. Di malam-malam begini siapa yang menghubungnya. Saat ponselnya sudah berada di genggamannya. Rupanya, Rion yang menghubunginya malam-malam begini. Langsung saja Maura menerima panggilan telepon itu. "Halo, Rion. Ada apa?" "Kamu diaman? Aku di depan." "Apa? Sebentar aku keluar." Maura terkejut saat mengetahui rupanya Rion berada di depan sana. Untuk apa laki-laki itu datang kesini malam-malam. Tadi Rion berkata jika dia ada urusan. Buru-buru Maura lari keluar dan menghampiri Rion. "Ada apa malam-malam begini, kamu kemari?" Pasalnya ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dan Rion berada di hadapannya sekarang. "Kamu dari mana saja?" Tanya Rion pada Mauta. "Aku? Aku emm.." Maura diam, gadis itu masih memikirkann jawaban apa yang akan dia berikan pada Rion tentang pertanyaan barusam. Tidak mungkin sekali, Maura menjawab dengan jujur kalau dia tadi pergi makan ma
"Aku harus memakai baju apa?"Kini Maura terbaring di atas ranjangnya, bersama dengan tumpukan baju-bajunya yang tersebar di seluruh sudut ranjangnya. Sedari pulang dari kantor tadi Maura langsung membuka lemari bajunya dan hendak memilih baju mana yang akan ia gunakan untuk datang ke acara makan malam nanti.Sudah ada sekitar sepuluh baju yang Maura coba. Nun, dia belum merasakan ada yang cocok untuk dia pakai nanti. Jika dalam situasi ini dia lebih memilih untuk kembali ke kehidupan sebelumnya, dulu dia tidak pernah bingung memilih baju tapi, sekarang dia kebingungan sekali paslnya Maura hanya membawa sedikit baju ke kost nya."Apa aku pulang saja, untuk mengambil baju? Ah tapi jika begitu nanti Rion jadi tau ding. Parahnya lagi bisa saja aku diadukan ke Papa.""Lalu sekarang aku harus bagaimana?"Maura kemudian bangkit dari posisinya, gadis itu kembali menatap baju-bajunya yang terhambur di atas ranjang. Sebenarnya ada tiga baju yang menarik perhatian Mauta. Namun, tetap saja ia bi
"Eh eh eh, kamu mau membawaku kemana?" Maura terus memberontak, ia berusaha untuk bisa lepas dari Rion. Entah kenapa, secara tiba-tiba Rion datang ke ruangannya dan menyeret Maura begitu saja. Bahkan sedari tadi Maura berteriak, menanyakan apa yang akan Rion lakukan. Tapi laki-laki itu tak menjawabnya, Rion terus saja menyeret Maura sampai di depan dapur. "Rion, kamu ini ada apa sih? Tiba-tiba saja menarikku begitu saja?" "Kamu itu bawel ya, Maura." "Kamu saja yang tidak sopan!" "Aku ada sesuatu untukmu." "Apa?" Rion kemudian merogoh kantong celananya, laki -laki itu nampak mengeluarkan sebuah kotak berwarna pink yang tak begitu besar. Mungkin seukuran dengan kotak cincin. Rion kemudian menyodorkan kotak itu kepada Maura. "Untukmu." Gadis itu kemudian menerima kotak yang diberikan oleh Rion. Kemudian memandang Rion aneh. Maura rasa hari ini bukanlah hari ulang tahunnya. Lantas mengapa Rion memberikannya kado. "Dalam rangka apa kamu memberiku ini?" Rion tampak menggaruk bela
Diperjalanan baik Maura dan juga Rion belum ada yang membuka pembicaraan. Maura masih terbayang-bayang tentang kejadian barusan. Sedangkan Rion masih sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri."Mau."Panggilan dari Rion itu akhirnya mengalihkan pandangan Maura. Gadis kemudian menoleh ke arah Rion yang berada disampingnya."Iya?""Kemana saja kamu tadi? Apa yang terjadi sebenarnya?"Sejujurnya Maura bingung harus menjawab apa pertanyaan Rion ini. Maura tidak mungkin mengatakan apa yang telah Jevan lakukan tadi. Dan Maura juga tidak mungkin bercerita tentang apa yang dia alami barusan. Jika Rion yahu tentang apa yang terjadi sebenarnya, Maura bisa pastikan bahwa Rion tidak akan benar-benar membiarkan Maura sendiri lagi mulai saat ini. Dan Rion pasti akan menentang keras Jevan dengannya, dan lebih parahnya lagi Maura bisa saja disuruh untuk resign dari kantor."Maaf karena tidak mengabarimu sama sekali, tadi aku hanya sedang pusing dengab kerjan kantor jadi aku memutuskan untuk berjalan-
Maura memandang ngeri pria di depannya yang memandangi Maura dari atas sampai bawah sambil tersenyum menggoda sungguh Maura benar-benar ingin segera menghilang saja dari sini. Gadis itu kemudian mencoba untuk melangkah mundur menajuh dari pria di depannya. Namun, pria tersebut malah semakin mendekati Maura."Jangan coba-coba mendekati aku!" Tegas Maura kepada laki-laki itu. Bukannya takut, pria itu malah tertawa melihat Maura yang ketakutan."Kenapa, takut ya?" Maura masih terus melangkah mundur untuk menjauh dari pria itu sampai akhirnya, gadis itu terjtuh akibat tersandung batu di bawah.brukk."Aw!"Maura lantas mengusap-usap kakinya yang terluka akibat dia terjaruh barusan. Karena hal itu, pria di hadapa Maura lantas berjongkok."Hati-hati dong, kan lecet jadinya," ujar pria itu sambil mencoba untuk menyentuh kaki Maura yang terluka itu.Maura menepis dengan kasar tangan pria itu, dia benar-benar tidak sudi bagian tubuhnya disentuh olehmya. Walaupun sebenarnya Maura saat ini keta
Maura menyalakan kran wastafel kamar mandi. Gadis itu lantas membasuh wajahnya. Tepat sekali, setelah Maura melihat adegan menyakitan antara Jevan dan Sarah tadi. Maura memilih berlari ke kamar mandi dan menumpahkan seluruh air matanya disini. Sudah sekitar sepuluh menit Maura menangis sedari tadi, bahkan matanya kini sudah sembab. Gadis itu jadi tidak berani untuk keluar, apalagi kalau sampai dirinya bertemu Rion. Bisa tamat riwayatnya.“Sial, mataku sangat sembab. Bagaimana ini?”Maura masih terus membasuh wajahnya, berharap sembab dimatanya sedikit berkurang. Namun, nihil hasilnya tetap saja. Dirinya tidak mungkin keluar dengan keadaan seperti ini.“Bagaimana ini? Sangat mustahil, jika aku tidak bertemu Rion sama sekali.”Maura berpikir keras sekali saat ini. Dia harus memikirkan cara agar dirinya tak sampai bertatap muka dengan Rion. Namun, bagaimana?“Apa aku ijin saja, ya?”Awalanya Maura terfikirkan sebuah ide. Mungkin dia bisa saja ijin untuk pulang lebih awal. Namun, setelah