“Reagan, aku tidak tahu apa kamu masih ingin tetap tinggal bersamaku atau kembali ke tempatmu. Yang jelas kehidupanku akan sangat berbahaya untukmu saat ini.”
Claire terpaksa berkata seperti ini pada Reagan, dia sudah terlalu banyak membawa Reagan ke dalam masalahnya. Dia akan merasa bersalah jika terjadi sesuatu pada pria yang dinikahinya karena keuntungan sepihak.
Reagan kaget lalu berkata, “Claire, apa aku terlihat seperti pria yang lemah?”
“Tidak, bukan itu maksudku.” Claire menatap Reagan dengan lekat. Walaupun kemampuan pria itu hebat, tapi jika itu dia lakukan hanya untuk membela dirinya rasanya tidak pantas.
“Claire, aku adalah suamimu. Orang yang paling pantas melindungimu, pasti akan ada konskuensi karena ini tanggung jawabku. Tapi jika kamu tidak merasa nyaman, aku …”
Claire merasa ucapan Reagan ada benarnya juga,
“Kamu dari mana saja, Reagan?” Erik menyambut kedatangan Reagan dengan suara yang terdengar begitu khawatir. Hampir semalaman Reagan pergi meninggalkan rumah sakit tanpa jejak. “Menyingkirkan sampah masyarakat yang terlalu serakah,” sahut Reagan singkat. “Bagaimana dengan Claire? Apa dia baik-baik saja?” Senyum Erik, sedikit memunculkan harapan dalam hati Reagan sebelum mendengar jawaban pria itu. “Claire sudah sadar, dan dia mencarimu.” Tanpa banyak kata Reagan lantas masuk ke ruang inap sang istri. Di sana, dia mendapati Claire yang masih terbaring lemah dengan wajah pucat pasi. Rambut pirang nan panjang milik Claire terurai, mata indahnya menatap Reagan yang sudah berdiri di ambang pintu dengan raut wajah lega. “Kamu dari mana saja?” tanya Claire dengan suara lemah. Sudut bibirnya bergetar, energi dalam tubuhnya terkuras habis dan belum sepenuhnya pulih. Reagan lantas mendekat, meraih tangan Claire kemudian menciumi punggung tangan yang mulus itu. “Maafkan aku, aku harus membe
Mobil mewah dari jenama Bugatti itu terparkir dengan kasar di pelataran sebuah mansion yang dijaga oleh sekelompok ajudan berotot tebal. Ketika sosok sang pengendara turun dari mobil itu, semua mata penjaga menatap awas setiap gelagat yang dia tunjukkan. Seolah dengan begitu, mereka mampu membuat nyali sosok teguh itu menciut perlahan. Tetapi, perlakuan itu tidak mengubah apapun dalam diri Reagan. Bersama segenap api dendam yang membara di dadanya, dia terus melangkah, cepat dan tegas menuju pintu utama mansion. “Siapa kamu? Dan ada urusan apa kamu datang kemari?” tanya salah satu ajudan yang berjaga. Sekali lagi, Reagan hanya menatap pria itu dengan tatapan datar namun sengit. “Minggir lah, atau kamu akan mendengar gemeretak tulang-tulangmu yang patah dalam hitungan detik,” ucap Reagan dengan suara rendah dan dalam. Pria itu tak gentar dengan ancaman, dia justru semakin mendekatkan wajahnya di depan wajah Reagan, menantang. “Area ini adalah area privat. Tidak semua orang diizinka
Langkah besar Reagan cepat menyusuri lobi gedung apartemen yang dia tinggali dengan Claire. Di belakangnya, Erik mengikutinya dengan raut wajah yang tidak kalah khawatir. Menaiki lift terasa lebih lama disaat hal tak terduga mengisi kepala Reagan bersama rasa khawatir yang tidak berujung.“Kenapa lift ini bergerak lambat sekali, brengsek!” maki Reagan. Dia hampir saja meninju dinding lift yang tebal jika tidak ditahan oleh Erik.“Tenangkan dirimu, Reagan. Claire tidak butuh kamu yang penuh emosi,” kata Erik. Reagan tidak menjawab, hanya menatap layar lift yang bergerak menunjukkan perubahan angka setiap beberapa detik.Saat sampai di lantai hunian pribadinya, Reagan lantas masuk ke dalam penthouse, berkeliling setiap sudut mencari ke
“D-dia bukannya … Black Code?” Sekali lagi Erik bertanya di tengah kebingungannya. Pria bertopeng yang baru muncul terkekeh. “Sepertinya kamu tidak memberinya informasi yang cukup tentang kita,” katanya. Reagan tersenyum miring, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sambil memandangi Erik. “Aku sengaja tidak memberitahu dia. Hitung-hitung sebagai kejutan mental.” “Kalian mengejekku, ya?” Erik menyahut, dia merasa menjadi orang paling bodoh saat ini. “Bagaimana mungkin hanya aku yang tidak mengetahui ini?” “Kamu tahu kode etik pekerjaan?” balas Reagan. “Terkadang, ada beberapa hal krusial di dalam pekerjaan yang tidak bisa disiarkan secara terbuka bahkan pada internal. Hal yang aku dan Black Code lakukan adalah salah satunya.” Meski dia marah, Erik tidak bisa menyimpan kemarahannya terlalu lama. Dia cukup sadar diri, dalam dunia peretas, dia pun masih pemula. “Baiklah, aku mencoba untuk mengerti. Sekarang, apa yang bisa aku lakukan?” Reagan menganggukkan kepalanya pe
Di dalam sebuah ruangan serba gelap, sepasang mata mengedar pandang. Terasa asing dan menyesakkan meski baru sepuluh menit duduk di sana. Suara derit pintu terbuka mengalihkan perhatian sosok pria yang mengenakan hoodie dan topeng hitam itu. Matanya menyorot kehadiran seorang paruh baya dengan segenap wibawa yang mengelilingi dirinya. “Apa kau Black Code?” tanya pria itu. Pria bertopeng itu mengangguk tanpa bersuara, setelahnya, si paruh baya terkekeh pelan. “Ternyata aku mengandalkan dua orang peretas kelas kakap dengan spesialisasi yang sama. Apa aku salah jika menganggap kalian bersaing?” “Aku tidak punya banyak waktu untuk bicara, katakan saja apa maumu?” tandas Black Code. “Apakah semua peretas memang bersikap seolah-olah mereka sepenting itu?” Theodore, si paruh baya itu, terkekeh mengejek. “Baiklah, kenalkan, aku Theodore. Kamu bisa memanggilku Tuan Theo seperti yang dilakukan mantan peretasku sebelumnya.” Ucapan Theodore sedikit mengusik ego Black Code. Pria di balik top
Mata Erik merah menyala, bahkan Reagan bisa melihat kobaran api di sana saat mendekatinya dan sang satpam yang terlalu naif ini. “T-Tuan Erik?” Napas menderu cepat, dan kedua tangan terkepal erat siap meninju wajah sang satpam. “Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan tanganmu darinya!” perintah Erik tegas. Tangan sang satpam bergetar ketika dia lepas pegangannya di lingkar kaus Reagan. “M-Maaf, Tuan. Apa yang membuat Anda marah begini? Aku hanya melakukan prosedur keamanan yang sudah ditetapkan perusahaan,” kata satpam berusaha membela diri dan memberikan penjelasan.Tetapi Erik tidak menggubris. Dia memandangnya sinis sekilas kemudian beralih pada Reagan sambil membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat. “Maafkan kelalaian staf kami, Tuan Maverick!” ucap Erik. Sedetik kemudian, wajah tercengang terlukis di sebelah pria itu. Bola mata satpam hampir mencuat keluar, jika tidak segera menutup mulutnya yang terbuka lebar. “T-Tuan Maverick?!” Erik menegakkan kembali tubuhnya, “Dasar bo