Share

Bos Kampret Ku
Bos Kampret Ku
Author: Viena Edelweiss

1. Bos Baru

Yogyakarta

Lila turun dari ojol dengan buru-buru. Dia berlarian membelah halaman kantornya yang luas dan berderap masuk ke dalam gedung berdesain cukup unik--nggak mirip kantor pada umumnya sebenernya, sih.

Gedung ini tidak berbentuk kotak tinggi menjulang. Meskipun masih tinggi menjulang, tetapi atap dan sebagian badan gedung bagian atas berbentuk bundar mirip koloseum di Italia tempat gladiator adu nyawa pada zaman dulu.

Okay, kembali pada Lila yang pagi itu lupa menghidupkan alarm untuk membangunkan dirinya sendiri. Alhasil, gadis manis berambut panjang kuncir kuda itu pun terlambat setengah jam. Wajahnya sudah pucat pasi saat berhadapan dengan sang kepala corporate sekretaris---Bu Ana.

Tetapi tunggu dulu. Mundur beberapa menit sebelumnya saat masuk ke dalam gedung, Lila harus mengalami drama tabrakan dengan seorang pemuda berkemeja merah marun saat keluar dari lift yang membuatnya ngomel-ngomel.

Ya, bayangkan saja, Lila sedang panik karena membayangkan dirinya akan kena semprot Bu Ana, kenapa harus ditambah adegan tabrakan pula dengan entah siapa pun dia.

Dia belum pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Mungkin saja karyawan baru yang sedang dibimbing oleh Pak Arka, staff ahli yang berdiri di samping pemuda itu.

Dan entah kenapa Pak Arka malah memelototinya, seakan-akan ingin memperingatkan sesuatu padanya. Tetapi, Lila yang sudah sangat emosi tidak terlalu menghiraukan pria itu.

"Kalau jalan liat kanan kiri, depan, belakang, dong, Mbak." Ucapan si pemuda diselingi dengan smirk di bibirnya membuat Lila emosi. Apalagi mata elang pemuda itu memindai tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung roknya yang, astaga kependekan.

"Situ juga kalau jalan liat-liat!" sembur Lila sambil menurun-nurunkan rok span hitam yang menggantung beberapa centi di atas lututnya. Risih sekali dengan tatapan nakal pemuda itu. Breng sek bener.

"Wah, karyawan di sini galak-galak, ya, Pak Arka?" Si pemuda terkekeh, disambut cibiran Lila. "Tapi, kalau yang galak manis begini, jatuhnya gemesin. Seksi pula." Dia menaik-naikkan alis sambil matanya masih tetap nakal memindai badan Lila.

"Eh, mulut situ, ya?" Lila melotot geram. Siapa sih ini karyawan baru, songong bener tidak punya sopan santun.

Dan lagi-lagi Pak Arka mendelik pada Lila sambil menggeleng. Tetapi gadis itu tidak peduli. Waktu keterlambatannya sudah memanjang menjadi empat puluh lima menit. Ini lebih celaka dari pada peringatan tersirat dari Pak Arka.

Tidak mau memperpanjang perdebatan lagi, tanpa ba-bi-bu Lila segera menghambur ke ruangan Bu Ana---yang juga ruangannya dan satu asisten sekretaris lain, Yolanda.

"Ini sudah dua kali dalam minggu ini, loh, kamu telat, Lil." Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu berkacak pinggang di depan Lila yang menunduk menyembunyikan wajah pucatnya.

"Sudah tahu hari ini ada Dirut baru. Harusnya kamu jangan bikin kesan pertama buruk begini, dong. Pak Ezekiel tadi ke ruangan ini dan nanyain kenapa asistenku ilang satu!"

"Iya, Bu ... maaf," cicit Lila sambil pelan-pelan menggeser langkah hingga mendekat ke mejanya. Yolanda di meja sebelah senyum-senyun nyebelin.

"Dirut baru lagi keliling kantor sama Pak Arka. Nanti beliau ke sini lagi mau memastikan penghuni ruangan ini lengkap." Bu Ana mengibaskan tangan menyuruh Lila duduk di kursinya.

Aduh mampus. Jangan-jangan yang tadi ditabrak adalah Dirut baru. Fix ini, sih, mirip cerita di novel-novel. Awal ketemu di kantor terlibat konflik, tidak tahunya dia bos baru.

"Bakalan betah kita di kantor, Lil ... secara Dirut baru gantinya Pak Septa gantengnya kebangetan," bisik Yolanda.

"Orangnya pake kemeja warna marun, nggak, Yol?"

"He-eh. Kamu udah ketemu?"

Lila menggaruk kepalanya. "Sempat papasan tadi." Badannya mendadak panas dingin. Ini sih apes bener.

"Ganteng banget, kan? Udah kaya cerita di novel-novel, nggak, sih? Dirutnya kece badai."

Boro-boro mikir gantengnya Dirut baru. Yang ada Lila mendadak demam mengingat ucapan ketus dan sikap galaknya tadi saat tidak sengaja bertabrakan dengan pemuda berkemeja marun.

"Kamu pucet banget, sih, Lil?" Yolanda mengamati wajah Lila. Punggung tangannya dia tempelkan di kening gadis itu. "Kamu sakit?"

"Kayaknya aku bakal dipecat, deh, Yol."

"Hah? Piye? Dipecat piye?"

"Parah ini, sih."

"Kamu ngomong apa, sih, Lil?"

"Anu__," Kata-kata Lila menggantung begitu saja saat sosok pemuda berkemeja marun muncul dari balik pintu bersama Pak Arka, memaksa netranya tertuju. Tenggorokannya seketika tercekat. Pelan dia mengikuti gerakan Yolanda berdiri untuk memberi hormat pada pemuda yang sudah pasti adalah direktur utama baru perusahaan ini.

"Eh, Pak Ezekiel, sudah kelilingnya?" Suara Bu Ana membuat Lila terpelanting ke dunia nyata.

"Sudah, Bu. Mmm ... ini asisten Bu Ana yang telat tadi, ya?" Ezekiel menunjuk ke arah Lila yang masih terperangah. Gadis itu melirik ke arah Pak Arka, dan samar Lila mendengar kata hati pria itu, syukurin.

Tentu smirk di bibir Ezekiel bertambah jelas sekarang. Apalagi melihat tampang Lila yang seperti sedang bertemu hantu. Pucat pasi. Ini momen yang sangat membuatnya puas atas sikap asisten sekretaris bermulut pedas itu sebelumnya.

"Saya sudah menegur, Pak. Maaf, ya, Pak." Bu Ana sepertinya masih memperlajari karakter bos baru ini.

"Sebenarnya tidak terlalu masalah, sih, Bu Ana, asal jangan jadi kebiasaan. Kalau keseringan telat nanti harus bayar denda."

"Oh ya, saya sarankan, ini untuk semua karyawan di sini, harus murah senyum dan jaga sikap. Ucapan yang keluar dari mulut harap dikondisikan apalagi berbicara pada atasan." Jelas saja Ezekiel sedang menyindir Lila yang saat ini sedang bergulat dengan rasa malu yang luar biasa.

"Baik, Pak," ucap Bu Ana dan Yolanda bersamaan. Sementara Lila masih menyembunyikan wajah pucatnya.

"Dan satu lagi," ucap Ezekiel sambil memutar badan dan menatap ke arah Lila. "Kamu, siapa namamu?"

"L-lila, Pak," jawab Lila terbata.

"Roknya kependekan, tuh. Bagian dada juga dikit kelihatan. Kamu niat ngantor apa godain cowok, sih?"

Lila terbelalak. Reflek dia menaikkan singlet dalam outternya yang sedikit menurun. Kampret emang. Dia tidak menyadarinya sedari tadi. Kesan pertama di depan bos barunya itu benar-benar buruk.

"Oh ya, sekedar info, saya suka minum hot caramel machiato siang-siang." Ezekiel mengedipkan sebelah mata sambil membuat decakan di mulut.

"Lila, dengar, ya, yang Pak Ezekiel bilang tadi?" Bu Ana memastikan pada Lila sesaat setelah Ezekiel berlalu dari ruangan itu.

"Iya, Bu." Lila terduduk lesu. Apalagi setelah Bu Ana menaruh dua box berisi amplop-amplop surat yang harus dia sortir hari ini. Mood bekerjanya ambyar sudah.

"Ganteng dan bermulut pedas. Ih! Gemesin, deh," kikik Yolanda pelan sambil menutupi mulut dengan telapak tangan dan mencondongkan badan ke arah Lila. Namun, gadis itu segera kembali ke posisi duduknya saat mendengar suara deheman Bu Ana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status