Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, namun Zeira masih setia duduk di bangku parkiran bersama security. Wanita cantik itu sebenarnya sudah selesai bekerja sejak jam 5 sore, tetapi karena hujan deras! la tidak bisa pulang dengan mengendarai motor, akhirnya Zeira memutuskan duduk di sana sambil menunggu hujan reda. Tin....tin.....tin...... Suara klakson mobil itu membuat Zeira dan security terkejut. Keduanya gugup saat kacanya terbuka. "Kalau pacaran bukan di sini tempatnya," ucap Anjas. "Ma...ma....maaf Pak. Aku hanya menemani mbak Zeira, soalnya dia enggak bisa pulang karena hujan deras," ucap security dengan ragu-ragu. Anjas bukannya menjawab, justru kembali menutup kaca mobilnya dan pergi meninggalkan parkiran. Mobil mewah itu sudah 30 menit meninggalkan perusahaan Wijaya namun tiba-tiba kembali lagi. "Apa ada yang tertinggal Pak?" Tanya security dengan sigap. "Suru dia masuk," ucap Anjas dengan angkuh. "Dia!" Security bingung, ia tidak mengerti siapa maksud Anjas. "Lola
"San, kamu kenal sama mbak Bella?" Tanya Zeira. "E...e... enggak, kenal gitu ajah." Jawab Susan dengan ragu-ragu. Setelah 15 menit berlalu, mereka tiba di sebuah rumah sakit yang berada di pinggiran kota. Keduanya dibawa masuk keruangan UGD untuk dilakukan tindakan. Susan menemani Bella, sedangkan Zeira menemani Anjas sambil menggendong Azka. "Sayang kamu tenang dulu ya?" Bujuk Zeira kepada putranya. Sebab dari tadi Azka berusaha melepaskan tubuhnya dari gendongan Zeira. Padahal mereka saat ini sedang mendorong tempat tidur Anjas menuju ruang UGD. Entah mengapa balita yang baru berusia satu tahun itu selalu menunjuk jari tangannya ke arah Anjas sambil mengatakan Pa...Pa... "Papa, Papa, Papa." Panggil Azka. "Sayang, dia itu bukan Papa! Tapi bos Mama." Zeira berusaha menjelaskan siapa Anjas kepada Azka. Tetapi apalah daya, Azka masih kecil dan belum mengerti apa-apa. "Ibu tunggu di sini ya? Kami akan memeriksa pasien." Perawat meminta Zeira untuk menunggu di luar. Namun hati Z
Seperti biasa, jam 7 pagi Zeira sudah tiba di kantor. Wanita cantik itu sedang berkutat mengerjakan pekerjaannya, dan tidak lupa sambil bersenandung rindu. Tok....tok....tok..... Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Zeira memutar tubuh ke arah pintu. "Iya mbak, ada yang bisa saya bantu?" Ucap Zeira dengan tersenyum ramah. Namun wanita itu bukannya menjawab, justru ia memperhatikan Zeira seperti orang yang sedang bingung. "Ada yang bisa saya bantu Mbak?" Zeira mengulang ucapannya. "Kamu" wanita itu menunjuk Zeira dengan satu jari tangannya. "Bukannya mbak yang menitipkan amplop ini kepadaku waktu itu?" lanjutnya sambil menunjukkan amplop besar berwarna cokelat. Zeira memperhatikan amplop itu, seketika ia mengenal dan mengingatnya, kalau amplop itu adalah amplop yang ia temukan waktu kejadian di hotel 2 tahun yang lalu. "Iya, saya mengingatnya." Jawab Zeira. Namun ia bingung kenapa wanita itu mencarinya dan membawa amplop itu kembali. "Nah.... tenyata benar. Aku pikir aku
Pagi ini Zeira lebih awal tiba di kantor, sebelum ia menyerahkan surat pengunduran diri, Zeira terlebih dahulu membuatkan sesuatu untuk para karyawan terutama untuk Anjas. Sebenarnya Zeira gugup dan tidak sanggup untuk bertemu dengan pria yang sudah menghamilinya itu. Tetapi Zeira menguatkan diri, karena harus memberikan surat pengunduran dirinya secara langsung kepada Anjas. Zeira tidak mau saat berhenti bekerja dari sana meninggalkan kesan yang tidak baik. Ting-nong....ting-nong.... Zeira meraih ponsel dari dalam tas. "Susan," ucapnya setelah melihat nama yang muncul di layar ponselnya, sambil mengusap tombol berwarna hijau. *Iya San* *Ra, kamu lagi sibuk gak?* Suara dari seberang sana. *Enggak, kenapa San?* Zeira mulai khawatir, sebab Susan tidak pernah menghubunginya di jam kerja, apalagi masih pagi seperti ini. *Kamu bisa turun sebentar gak? Soalnya aku lagi di lobby nih* *Di lobby? Tunggu sebentar ya San* Zeira memutuskan sambungan teleponnya. Ia bergegas menemui Saddam
Karena bujukan dari Anjas, akhirnya Azka menuruti ucap Zeira. Balita satu tahun itu menjulurkan kedua tangan agar Zeira menggendongnya. "Saya permisi dulu Pak," ucap Zeira dengan hormat. "Hm..." Jawab singkat Anjas dengan wajah dingin. "Papa." Panggil Azka saat akan ke luar dari pintu. Anjas memutar kepala ke arah pintu, ia tersenyum manis sambil melambaikan tangan. "Dada, sampai bertemu di lain waktu." ucapnya. Mendengar ucapan Anjas, seketika air mata Zeira menetes. Hatinya begitu sedih karena akan membawa Azka pergi dari Jakarta. Begitu juga dengan Anjas, entah mengapa ia merasa sedih mengigat Zeira akan membawa Azka pindah ke kampung. Ada rasa tidak rela dalam hatinya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Azka adalah anak Zeira. Sepanjang perjalanan dari kantor menuju rumah, air mata Zeira tidak berhenti menetes. Rasa sedih menyelimuti hati dan perasaannya. Padahal selama satu tahun ini Zeira tidak pernah sesedih ini, tetapi setelah mengetahui kalau Anjas adalah aya
Satu tahun telah berlalu, Anjas menjalani hari-hari dengan berbagai masalah. Pria tampan itu selalu berdebat dengan adik tiri dan ibu tirinya tentang warisan. Bahkan selama satu tahun ini, Anjas jarang pulang ke kediaman Wijaya. Ia lebih memilih tinggal di apartemen atau menginap di hotel. "Asep." Panggil Anjas kepada sopir pribadi. "Iya Tuan." Jawab Asep dengan hormat sambil menyetir mobil. "Kita ke hotel." Perintah Anjas. "Baik Tuan." Asep memutar stir mobil menuju hotel langganan Anjas. Dalam perjalanan Anjas sudah memesan kamar untuk mereka. Ia memesan kamar VIP untuk 3 hari. Anjas rencananya tidak kembali ke kediaman Wijaya selama tiga hari ini, karena ayahnya ada di sana. "Selamat sore Pak." Sapa para resepsionis hotel. Setiap Anjas menginap di sana, para resepsionis berusaha bersikap ramah, bahkan mereka berlomba-lomba untuk melayaninya selama pria tampan itu menginap di hotel itu. "Hm...." Balas singkat Anjas. Pria tampan itu meraih kunci dari resepsionis, melangkah
Sudah 3 kali Anjas menghubungi nomor ponsel Zeira, namun tidak satupun yang terhubung. Tetapi setelah pukul 11 malam, tiba-tiba ponselnya berdering. Ting-nong.....ting-nong.... Pria tampan itu dengan sigap meraih ponsel dari atas meja. "Zeira," ucapnya dengan lembut. *Kamu di mana?* Anjas langsung bicara pada intinya. Tentu lawan bicaranya di seberang sana bingung, sebab nomor yang menghubunginya adalah nomor baru. Walaupun Zeira merasa familiar dengan suatu itu! Tetapi ia tetap saja bertanya. *Ini siapa?* Sahut dari seberang sana. *Kamu pasti mengenal suaraku Zeira. Kamu tidak perlu berpura-pura tidak tahu* *Maaf Pak, tapi aku benar-benar tidak tahu siapa anda* tegas Zeira. *Yang pastinya aku bukan penjahat, maling, mafia atau pembunuh bayaran. Aku hanya ingin bertemu dengan kamu, ada hal penting yang harus kita bicarakan* *Aku tidak akan pernah bertemu dengan anda, sebab aku tidak mengenal anda* tolak Zeira dan langsung memutuskan sambungan teleponnya. Bahkan Zeira langsu
"Putramu?" Sahut Anjas dengan tersenyum sinis. "Dia bukan putramu Zeira, tetapi putraku." Lanjutnya. "Dia adalah putraku, aku mohon jangan bawa Azka." Bantah Zeira sambil memohon agar Anjas tidak membawa Azka. "Azka mau kan, ikut papah ke Jakarta? nanti papah belikan mainan yang banyak buat Azka, terus papah buat kamar Azka gambar Spiderman." Bujuk Anjas. "Bukan Spiderman papah, tapi tayo." Protes Azka dengan gaya bicara khas anak-anak. "Oh iya, Toya." Timpal Anjas sambil tersenyum bahagia. "Kita pergi ya?" Tanya Anjas dengan nada membujuk kepada Azka. Tentu anak yang tidak tahu apa-apa itu mengangguk, karena bahagia akan dibelikan mainan kesukaannya. Dia berpikir kalau Jakarta itu adalah pasar di mana tempat membeli mainan, setelah itu mereka kembali ke rumah. Zeira berlari mengikuti Anjas yang sedang melangkah menuju pintu sambil menggendong Azka. "Tolong jangan bawa anakku, aku tidak sanggup berpisah darinya." Tangis Zeira sambil berlutut memohon di hadapan Anjas. "Anakmu?