Konferensi pers tentang pertemuan para pengusaha besar dan juga memperlihatkan inovasi yang mereka buat akhirnya selesai.
Para jurnalis berhamburan keluar dari ruangan, sibuk mengejar deadline, mengetik cepat di ponsel atau menelepon kantor. Suasana ramai, namun bagi Renjana, dunia seolah menyempit. Ia berjalan perlahan, menuruni anak tangga kecil menuju lorong hotel. Pundaknya terasa pegal, pikirannya penuh. Tapi setidaknya — tugas utamanya hari ini sudah ia selesaikan. Atau begitulah pikirnya, sebelum sebuah sosok menghalangi jalannya. Sagara. Bersandar santai di dinding lorong, lengan terlipat di dada, seperti sengaja menunggu. Renjana berusaha bersikap biasa saja, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba melangkah melewati pria itu tanpa memulai percakapan, tapi suara Sagara menahan langkahnya. "Masih sama seperti dulu," gumamnya. Suaranya berat, rendah, namun penuh sindiran yang menusuk. "Berusaha keras kelihatan hebat, padahal cuma anak bawang." lanjut pria itu. Renjana berhenti, membalikkan tubuh perlahan. Tatapan mereka bertabrakan di udara. Sagara menatapnya dari atas ke bawah, seperti sedang menilai sebuah barang dagangan yang tidak layak dipajang. Ia mendorong tubuhnya menjauh dari dinding, mendekat dengan langkah santai namun penuh tekanan. Renjana tidak mundur. Ia menguatkan dirinya, walau di dalam, ada percikan amarah yang mulai menyala. Sagara berhenti hanya satu langkah di depannya, cukup dekat hingga Renjana bisa mencium aroma maskulin dari parfum mahalnya. "Kau tahu, aku nyaris tidak mengenalimu tadi," katanya, sudut bibirnya melengkung membentuk dalam senyum mengejek. "Kupikir kau sudah menyerah saja pada hidupmu, setelah dulu selalu di bawah bayang-bayang orang lain." Renjana mengepalkan jemarinya dalam-dalam. Ia ingat betul, di masa SMA dulu, Sagara selalu punya cara untuk membuatnya merasa tidak cukup baik. Kini, bertahun-tahun berlalu, pria itu masih sama. Atau mungkin, lebih kejam. Ia mengangkat dagunya, menahan setiap kata kasar yang ingin ia lontarkan, dan memilih berbicara dengan suara serendah mungkin. "Sayangnya, hidupku tidak seburuk imajinasimu, Sagara," ucap Renjana tajam, "Dan lihat siapa yang malah butuh media sekarang untuk menyelamatkan citranya." Kilatan kecil muncul di mata Sagara. Entah itu amarah, terkejut, atau... kagum? Renjana tak peduli. Ia melangkah ke samping, melewati pria itu dengan bahu tegak. Tapi langkahnya baru beberapa meter saat Sagara berbicara lagi, cukup keras untuk didengar. "Berhati-hatilah, Renjana," katanya datar. "Dunia ini lebih kejam dari yang kau bayangkan. Tidak semua orang akan bersikap lunak padamu hanya karena kau terlihat... rapuh." Renjana berhenti sejenak, menoleh setengah. "Aku tidak butuh belas kasihan," sahutnya. "Dan aku tidak serapuh itu." Sagara menatapnya dalam-dalam, sebelum akhirnya menyeringai kecil — dingin, penuh teka-teki. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik, melangkah pergi menyusuri lorong panjang. Renjana berdiri di sana beberapa detik, menenangkan detak jantungnya yang liar. Ia tahu satu hal pasti: hari ini bukanlah pertemuan terakhir mereka. Pertarungan ini baru saja dimulai. Malam itu, ballroom hotel bintang lima dipenuhi kilau lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Suasana formal, elegan. Para tamu mengenakan gaun malam terbaik mereka, begitupun dengan renjana,dia di undang oleh seorang anonim untuk meliput tentang bisnis yang akan di kembangkan. dia tidak tau itu siapa,tapi mungkin dengan tawaran ini dia bisa lebih mengembangkan dirinya,apalagi tugas dari kantor yang memintanya lembur malam ini, kesempatan yang tidak boleh di sia siakan sementara pria-pria berdasi hitam berdiri dalam lingkaran-lingkaran kecil, bercakap santai tentang bisnis, investasi, dan kekuasaan. Renjana berdiri di dekat pintu masuk, menarik napas perlahan. Gaun biru gelap yang dikenakannya menjuntai lembut, rambutnya disanggul sederhana, wajahnya hanya dipoles tipis. Ia merasa sedikit kikuk karena— ia bukan tipe orang yang betah di pesta mewah seperti ini. Namun tugasnya jelas: Meliput acara makan malam perusahaan ini untuk artikelnya besok. Konferensi pers tadi siang hanyalah pembuka. Malam ini, ia harus mendapatkan 'warna' tambahan untuk tulisannya. Dan, tentu saja... bertemu kembali dengan narasumber utama: Sagara. Hanya memikirkan nama itu saja membuat perutnya bergejolak. Baru saja ia hendak menyusuri ballroom, suara lembut menghentikannya. "Renjana Ayudya?" Ia menoleh. Seorang pelayan menyerahkan secarik undangan kecil berpinggiran emas. Renjana menerimanya dengan kening berkerut. "VIP Lounge – Private Dinner, jam 20.00. Ruang 7. Undangan khusus dari: Sagara Mahadewa." Jantungnya berdegup lebih kencang. Sagara. Lagi-lagi Sagara. Renjana mengepalkan undangan itu pelan. Ia bisa saja menolak. Ia bisa saja beralasan sibuk. Tapi bagian profesional dalam dirinya tahu — kesempatan semacam ini jarang datang. Dan ia tidak akan membiarkan ketidaksukaannya pada satu orang menghalangi kariernya. Tanpa banyak pikir lagi, Renjana melangkah. --- Ruang 7 terletak agak jauh di ujung lorong ballroom, pintunya berat dengan ukiran klasik. Seorang penjaga membukakan pintu, membiarkannya masuk. Ruangan itu jauh lebih kecil dan lebih intim daripada ballroom di luar. Meja makan bundar telah disiapkan hanya untuk dua orang, diterangi lampu gantung kecil yang memancarkan cahaya lembut. Dan di sana, berdiri dengan jas hitam yang rapi dan gelas anggur kosong di tangannya — Sagara. Saat melihat Renjana masuk, bibirnya melengkung dalam senyum tipis. Tapi bukan senyum ramah — melainkan senyum seorang pemburu yang baru saja menjebak mangsanya. "Selamat malam," sapanya datar, "Kukira kau tidak akan datang." Renjana menegakkan tubuhnya, berusaha menunjukkan sikap tenang. "Aku datang bukan untukmu," jawabnya singkat. "Aku datang untuk pekerjaanku." Sagara mengangguk santai, seolah sudah menduga jawaban itu. Ia lalu menarik kursi untuknya — sebuah gestur sopan yang terasa aneh di antara ketegangan yang menggantung. Renjana duduk dengan hati-hati, menjaga jarak emosional sejauh mungkin. Beberapa saat mereka hanya duduk diam, membiarkan ketegangan memenuhi udara. Lalu, pelayan datang, menghidangkan makanan satu per satu. Suara alat makan beradu menjadi satu-satunya bunyi di antara mereka. Sagara menatap Renjana sepanjang waktu, seolah mengamati setiap gerakan kecilnya. "Kau berubah," katanya akhirnya, memecah keheningan. "Bukan gadis pemalu yang dulu suka kabur waktu dipanggil di lorong sekolah." Renjana tersenyum tipis, menusuk potongan salmon di piringnya. "Manusia belajar dari rasa malu," balasnya. "Begitu juga aku." Sagara menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Tatapannya tetap intens, mengunci Renjana di tempat. "Aku penasaran..." katanya perlahan, "Apa yang membuatmu begitu keras sekarang? Hidup yang berat? Atau... terlalu banyak luka?" Renjana merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. Bukan karena pertanyaan itu kasar — tapi karena Sagara mengucapkannya dengan nada... seolah dia benar-benar ingin tahu. Sejenak, Renjana hampir menjawab jujur. Namun ia segera mengurungkan niat itu. Ini bukan tempatnya membuka luka lama. Ia mengangkat alis, tersenyum sinis. "Kalau kau pikir aku datang ke sini untuk membahas masa lalu," katanya pelan, "kau salah besar." Sagara mendengus kecil, lalu mengambil gelas anggurnya, memutar cairan merah itu dengan santai. "Tidak semua orang bisa mengubur masa lalu, Renjana," katanya. "Kadang masa lalu itu yang akan memburumu, sampai kau tidak punya pilihan selain menghadapinya." Renjana mengatupkan rahangnya. Mungkin, hanya mungkin... Sagara sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Suasana menjadi lebih berat, seolah udara di ruangan itu mengental. Renjana memutuskan untuk menyelesaikan makanannya dengan cepat, lalu pergi sebelum perang kata-kata itu berubah menjadi sesuatu yang lebih sulit dikendalikan.Renjana merapatkan jaketnya, menahan dingin dan amarah sekaligus. Ia menatap punggung Sagara yang menjauh dengan sorot tajam, penuh tekad. Lalu ia menunduk, mengatur napas, dan melangkah pelan menjauh dari kerumunan. Tapi tidak benar-benar pergi.Ia bersembunyi kembali, kali ini lebih jauh dan hati-hati. Suasana di depan masih tegang. Kamera di tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena takut — melainkan karena dorongan kuat untuk menyelesaikan tugasnya.Ia mengambil beberapa foto dari kejauhan. Memastikan tidak ada cahaya flash, tidak ada suara mencurigakan. Merekam secuil demi secuil bukti yang bisa ia gunakan untuk artikelnya nanti.Jam menunjukkan pukul 23.47 ketika mobil-mobil itu satu per satu pergi. Sagara adalah yang terakhir naik ke dalam kendaraannya. Sekali pun ia tak menoleh ke belakang.Saat lokasi benar-benar sepi, Renjana berdiri dari persembunyian dan berjalan cepat ke area tempat mereka tadi berdiri. Ia menemukan puntung rokok, selembar kertas kontrak yang tampakn
Pagi itu, mata Renjana masih sembab saat ia tiba di kantor. Namun seperti biasa, ia menarik napas panjang dan memaksa dirinya tersenyum tipis. Tidak ada yang boleh tahu betapa hancurnya dirinya semalam. Sesampainya di meja kerjanya, ia langsung menyalakan laptop dan mulai mencari-cari pekerjaan tambahan. Matanya berkabut, pikirannya berisik — namun ia tahu, ia tidak boleh diam. Saat itu, mata Renjana terpaku pada papan pengumuman internal. Ada pengumuman kecil: "Dibutuhkan relawan untuk liputan tambahan malam ini. Bonus lembur diberikan." Tanpa pikir panjang, Renjana berdiri dari kursinya dan langsung berjalan cepat ke ruangan atasannya. Tok. Tok. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Renjana membuka pintu perlahan. Pak Adi, atasannya, sedang sibuk meneliti beberapa berkas. "Ada apa, Renjana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan. "Saya mau ambil tugas lembur malam ini, Pak," ucap Renjana cepat. Pak Adi akhirnya mendongak. Wajahnya tampak ragu. "Ini tuga
Malam sudah larut ketika Renjana akhirnya tiba di depan rumah. Rumah itu kecil, cat temboknya mulai pudar, beberapa bagian pagar berkarat. Lampu teras redup, nyaris mati. Tapi di sinilah tempat yang disebutnya “rumah” — meski tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya.Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tak sampai satu menit, daun pintu dibuka kasar dari dalam. Sosok seorang wanita berusia setengah baya berdiri di ambang pintu, mengenakan daster lusuh, dengan wajah masam. Ibunya.Mata sang ibu langsung menyipit begitu melihat Renjana. Tanpa sapaan, tanpa senyum."Kamu pulang juga akhirnya," gumamnya ketus. "Kira-kira mau tidur di jalan, ya?"Renjana menunduk sedikit, menahan perih yang menguar dari nada suara itu. Ia masuk pelan, membiarkan ibunya berlalu ke dalam tanpa menunggunya.Bau masakan gosong tercium samar dari dapur. Rumah itu berantakan — piring kotor menumpuk di wastafel, baju berserakan di kursi ruang tamu. Renjana terbiasa dengan pemandangan in
Konferensi pers tentang pertemuan para pengusaha besar dan juga memperlihatkan inovasi yang mereka buat akhirnya selesai. Para jurnalis berhamburan keluar dari ruangan, sibuk mengejar deadline, mengetik cepat di ponsel atau menelepon kantor. Suasana ramai, namun bagi Renjana, dunia seolah menyempit. Ia berjalan perlahan, menuruni anak tangga kecil menuju lorong hotel. Pundaknya terasa pegal, pikirannya penuh. Tapi setidaknya — tugas utamanya hari ini sudah ia selesaikan. Atau begitulah pikirnya, sebelum sebuah sosok menghalangi jalannya. Sagara. Bersandar santai di dinding lorong, lengan terlipat di dada, seperti sengaja menunggu. Renjana berusaha bersikap biasa saja, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba melangkah melewati pria itu tanpa memulai percakapan, tapi suara Sagara menahan langkahnya. "Masih sama seperti dulu," gumamnya. Suaranya berat, rendah, namun penuh sindiran yang menusuk. "Berusaha keras kelihatan hebat, padahal cuma anak bawang." l
Langit abu-abu menaungi kota pagi itu. Gerimis tipis membasahi jalanan saat Renjana Ayudya turun dari bus, menenteng tas berisi buku catatan dan perekam suara. Ditangannya, kartu pers tergenggam erat — tanda resminya sebagai jurnalis muda Sentra Media. Hari ini, ia mendapat tugas pertamanya: menghadiri konferensi pers di Hotel Grand Marvell. Sebuah langkah kecil, tapi bagi Renjana, ini berarti dunia. Setibanya di kantor, Pak Arman, pemimpin redaksi, sudah menunggunya di meja. Tanpa banyak basa-basi, pria itu menyerahkan map berisi rundown acara. "Fokus ke isu utama. Dengarkan baik-baik. Jangan ragu bertanya,"katanya sambil menatap Renjana dengan serius. Renjana mengangguk cepat. "Siap, Pak." Beberapa menit kemudian, ia kembali keluar, melawan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya. Di dalam perjalanan menuju hotel, pikirannya sibuk membayangkan berbagai kemungkinan: siapa saja yang akan hadir, apa yang harus ia tanyakan, bagaimana nanti ia menulis berita pertama