Share

Bab 3~rumah?

Author: Pena_sihir
last update Huling Na-update: 2025-03-05 11:41:15

Malam sudah larut ketika Renjana akhirnya tiba di depan rumah.

Rumah itu kecil, cat temboknya mulai pudar, beberapa bagian pagar berkarat. Lampu teras redup, nyaris mati. Tapi di sinilah tempat yang disebutnya “rumah” — meski tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya.

Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tak sampai satu menit, daun pintu dibuka kasar dari dalam. Sosok seorang wanita berusia setengah baya berdiri di ambang pintu, mengenakan daster lusuh, dengan wajah masam. 

Ibunya.

Mata sang ibu langsung menyipit begitu melihat Renjana. Tanpa sapaan, tanpa senyum.

"Kamu pulang juga akhirnya," gumamnya ketus. "Kira-kira mau tidur di jalan, ya?"

Renjana menunduk sedikit, menahan perih yang menguar dari nada suara itu. Ia masuk pelan, membiarkan ibunya berlalu ke dalam tanpa menunggunya.

Bau masakan gosong tercium samar dari dapur. Rumah itu berantakan — piring kotor menumpuk di wastafel, baju berserakan di kursi ruang tamu.

Renjana terbiasa dengan pemandangan ini. Sejak dulu.

Dengan langkah ringan, ia merapikan syalnya, lalu beranjak ke kamarnya. Tapi belum sempat menutup pintu, suara sang ibu menggelegar dari ruang tengah.

"Kamu pikir bisa seenaknya pergi malam-malam begitu? Bikin malu saja!" teriaknya.

Renjana mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.

"Aku kerja, Bu. Ada tugas dari kantor," jawabnya perlahan, berusaha tetap hormat.

Sang ibu tertawa sinis.

"Kerja? Hah! Wartawan receh macam kamu mau banggain apa? Paling juga diusir sama bosmu nanti. Bikin malu keluarga!"

Setiap kata itu seperti cambuk yang mencambuk punggung Renjana. Tetapi Ia diam seperti biasa. Tak ada pembelaan, tak ada air mata. Sudah terlalu sering ia mendengar hinaan serupa — bahkan lebih buruk.

Baginya, sakitnya bukan hanya karena ucapan itu... tapi karena yang mengatakannya adalah satu-satunya orang tua yang ia miliki.

Tak berhenti sampai di situ, ibunya berjalan menghampiri pintu kamar Renjana, menatap tajam penuh amarah.

"Kamu pikir kamu siapa, hah? Pulang larut, dandan cantik-cantik, bawa aib buat keluarga!" Matanya menilai penampilan Renjana dari atas ke bawah dengan jijik, "Jangan-jangan kamu kerja aneh-aneh, hah? Main laki sana-sini?!"

Renjana mendongak. Kali ini tatapannya sedikit bergetar.

Terlalu kejam.

Terlalu keji.

"Bu... jangan begitu. aku.....aku cuma berusaha," suaranya pecah tanpa ia bisa cegah.

Sang ibu mendengus, melipat tangan di dada.

"Usaha? Usaha apa? Jadi perempuan gak ada gunanya kayak kamu itu, buat apa hidup?"

Kata-kata itu jatuh seperti pedang ke jantung Renjana.

Sakit.

Tapi ia hanya berdiri di sana, membiarkan luka itu terbuka tanpa perlawanan.

Beberapa detik kemudian, ibunya berbalik pergi, membanting pintu kamar tidurnya sendiri dengan keras. Meninggalkan Renjana sendiri di lorong gelap, berdiri kaku seperti patung.

Belum sempat Renjana meletakkan tasnya di atas ranjang, ketukan keras menghantam pintu kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, pintu itu didorong terbuka dengan kasar. Sang ibu berdiri di sana, wajahnya merah padam, matanya menyala penuh kemarahan.

"Renjana!" bentaknya tajam. "Keluar sekarang juga!"

Terkejut, Renjana buru-buru berdiri, menahan napas. Ia tahu, kalau ibunya sudah seperti ini, artinya masalah besar menantinya. Dengan langkah ragu, ia mengikuti ibunya ke ruang tamu. Di ruang itu, ibunya membalikkan badan dengan cepat dan menunjuk Renjana tepat di wajahnya.

"Kamu mau tinggal di sini, kan? Mau makan? Mau tidur?!" katanya dengan nada tinggi, "Nah, sekarang kamu harus bayar juga! Ini bukan hotel gratis!"

Renjana terdiam. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat. Sudah terlalu sering kalimat seperti itu keluar dari mulut ibunya.

"Tapi Bu... aku sudah kasih semua gajiku bulan lalu," katanya hati-hati, berusaha menahan suaranya tetap lembut.

Ibunya mendengus keras, seperti tidak peduli.

"Itu dulu!" katanya, "Ini sekarang beda! Adikmu butuh uang! Banyak! Dia ketangkap judi lagi! Utangnya numpuk, kalau nggak dibayar, kita semua bisa malu!"

Renjana merasa dadanya diremas.

Adiknya — satu-satunya adik laki-lakinya — memang sudah lama menjadi sumber masalah. Bermain judi, berhutang, terlibat dengan orang-orang berbahaya. Dan kini, lagi-lagi ia yang harus menanggung akibatnya.

"Berapa, Bu...?" tanyanya pelan.

Sang ibu mengangkat lima jari dengan kasar di depan wajahnya.

"Lima juta!" bentaknya, "Dan harus besok!"

Renjana membelalakkan mata.

Gajinya bahkan belum turun. Tabungannya sudah menipis untuk membayar cicilan laptop, ongkos kerja, dan kebutuhan hidupnya sendiri.

"Aku...aku nggak punya uang sebanyak itu sekarang, Bu..." Suaranya nyaris berbisik.

Suara tamparan meja menggema di seluruh ruang tamu.

"Kamu ini anak apa sih?!" teriak ibunya marah. "Nggak berguna sama sekali! Cuma bisa ngabisin tempat dan makanan!"

Renjana mengepalkan tangannya kuat-kuat di balik punggung. Berusaha keras menahan air mata yang mendesak keluar.

"Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi, kerja kayak orang stress, kalau akhirnya nggak bisa nolong keluarga sendiri, hah?!"

Setiap kata itu menusuk jantung Renjana seperti belati panas. Ia ingin menjelaskan. Ingin mengatakan bahwa hidupnya juga berat. Bahwa ia berjuang sendirian di luar sana. Tapi ia tahu — itu semua sia-sia. Ibunya tidak pernah mau mendengarkan.

"Aku kasih waktu sampai besok sore," ujar ibunya tajam. "Kalau kamu nggak kasih uangnya, keluar dari rumah ini! Pergi sana!"

Renjana membeku. Tubuhnya terasa berat, seolah beban seribu kilo menghantam pundaknya.

Ibunya berbalik pergi tanpa sedikit pun menoleh, meninggalkannya sendirian di ruang tamu yang terasa begitu dingin.

Seperti dunia ini telah menutup semua pintunya untuk Renjana.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   teror?

    Renjana merapatkan jaketnya, menahan dingin dan amarah sekaligus. Ia menatap punggung Sagara yang menjauh dengan sorot tajam, penuh tekad. Lalu ia menunduk, mengatur napas, dan melangkah pelan menjauh dari kerumunan. Tapi tidak benar-benar pergi.Ia bersembunyi kembali, kali ini lebih jauh dan hati-hati. Suasana di depan masih tegang. Kamera di tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena takut — melainkan karena dorongan kuat untuk menyelesaikan tugasnya.Ia mengambil beberapa foto dari kejauhan. Memastikan tidak ada cahaya flash, tidak ada suara mencurigakan. Merekam secuil demi secuil bukti yang bisa ia gunakan untuk artikelnya nanti.Jam menunjukkan pukul 23.47 ketika mobil-mobil itu satu per satu pergi. Sagara adalah yang terakhir naik ke dalam kendaraannya. Sekali pun ia tak menoleh ke belakang.Saat lokasi benar-benar sepi, Renjana berdiri dari persembunyian dan berjalan cepat ke area tempat mereka tadi berdiri. Ia menemukan puntung rokok, selembar kertas kontrak yang tampakn

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 4 ~ Selalu Bertemu

    Pagi itu, mata Renjana masih sembab saat ia tiba di kantor. Namun seperti biasa, ia menarik napas panjang dan memaksa dirinya tersenyum tipis. Tidak ada yang boleh tahu betapa hancurnya dirinya semalam. Sesampainya di meja kerjanya, ia langsung menyalakan laptop dan mulai mencari-cari pekerjaan tambahan. Matanya berkabut, pikirannya berisik — namun ia tahu, ia tidak boleh diam. Saat itu, mata Renjana terpaku pada papan pengumuman internal. Ada pengumuman kecil: "Dibutuhkan relawan untuk liputan tambahan malam ini. Bonus lembur diberikan." Tanpa pikir panjang, Renjana berdiri dari kursinya dan langsung berjalan cepat ke ruangan atasannya. Tok. Tok. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Renjana membuka pintu perlahan. Pak Adi, atasannya, sedang sibuk meneliti beberapa berkas. "Ada apa, Renjana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan. "Saya mau ambil tugas lembur malam ini, Pak," ucap Renjana cepat. Pak Adi akhirnya mendongak. Wajahnya tampak ragu. "Ini tuga

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 3~rumah?

    Malam sudah larut ketika Renjana akhirnya tiba di depan rumah. Rumah itu kecil, cat temboknya mulai pudar, beberapa bagian pagar berkarat. Lampu teras redup, nyaris mati. Tapi di sinilah tempat yang disebutnya “rumah” — meski tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya.Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tak sampai satu menit, daun pintu dibuka kasar dari dalam. Sosok seorang wanita berusia setengah baya berdiri di ambang pintu, mengenakan daster lusuh, dengan wajah masam. Ibunya.Mata sang ibu langsung menyipit begitu melihat Renjana. Tanpa sapaan, tanpa senyum."Kamu pulang juga akhirnya," gumamnya ketus. "Kira-kira mau tidur di jalan, ya?"Renjana menunduk sedikit, menahan perih yang menguar dari nada suara itu. Ia masuk pelan, membiarkan ibunya berlalu ke dalam tanpa menunggunya.Bau masakan gosong tercium samar dari dapur. Rumah itu berantakan — piring kotor menumpuk di wastafel, baju berserakan di kursi ruang tamu. Renjana terbiasa dengan pemandangan in

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 2 ~ undangan khusus

    Konferensi pers tentang pertemuan para pengusaha besar dan juga memperlihatkan inovasi yang mereka buat akhirnya selesai. Para jurnalis berhamburan keluar dari ruangan, sibuk mengejar deadline, mengetik cepat di ponsel atau menelepon kantor. Suasana ramai, namun bagi Renjana, dunia seolah menyempit. Ia berjalan perlahan, menuruni anak tangga kecil menuju lorong hotel. Pundaknya terasa pegal, pikirannya penuh. Tapi setidaknya — tugas utamanya hari ini sudah ia selesaikan. Atau begitulah pikirnya, sebelum sebuah sosok menghalangi jalannya. Sagara. Bersandar santai di dinding lorong, lengan terlipat di dada, seperti sengaja menunggu. Renjana berusaha bersikap biasa saja, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba melangkah melewati pria itu tanpa memulai percakapan, tapi suara Sagara menahan langkahnya. "Masih sama seperti dulu," gumamnya. Suaranya berat, rendah, namun penuh sindiran yang menusuk. "Berusaha keras kelihatan hebat, padahal cuma anak bawang." l

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 1 ~ konferensi pers

    Langit abu-abu menaungi kota pagi itu. Gerimis tipis membasahi jalanan saat Renjana Ayudya turun dari bus, menenteng tas berisi buku catatan dan perekam suara. Ditangannya, kartu pers tergenggam erat — tanda resminya sebagai jurnalis muda Sentra Media. Hari ini, ia mendapat tugas pertamanya: menghadiri konferensi pers di Hotel Grand Marvell. Sebuah langkah kecil, tapi bagi Renjana, ini berarti dunia. Setibanya di kantor, Pak Arman, pemimpin redaksi, sudah menunggunya di meja. Tanpa banyak basa-basi, pria itu menyerahkan map berisi rundown acara. "Fokus ke isu utama. Dengarkan baik-baik. Jangan ragu bertanya,"katanya sambil menatap Renjana dengan serius. Renjana mengangguk cepat. "Siap, Pak." Beberapa menit kemudian, ia kembali keluar, melawan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya. Di dalam perjalanan menuju hotel, pikirannya sibuk membayangkan berbagai kemungkinan: siapa saja yang akan hadir, apa yang harus ia tanyakan, bagaimana nanti ia menulis berita pertama

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status