Share

teror?

Author: Pena_sihir
last update Last Updated: 2025-05-05 11:00:26

Renjana merapatkan jaketnya, menahan dingin dan amarah sekaligus. Ia menatap punggung Sagara yang menjauh dengan sorot tajam, penuh tekad. Lalu ia menunduk, mengatur napas, dan melangkah pelan menjauh dari kerumunan. Tapi tidak benar-benar pergi.

Ia bersembunyi kembali, kali ini lebih jauh dan hati-hati. Suasana di depan masih tegang. Kamera di tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena takut — melainkan karena dorongan kuat untuk menyelesaikan tugasnya.

Ia mengambil beberapa foto dari kejauhan. Memastikan tidak ada cahaya flash, tidak ada suara mencurigakan. Merekam secuil demi secuil bukti yang bisa ia gunakan untuk artikelnya nanti.

Jam menunjukkan pukul 23.47 ketika mobil-mobil itu satu per satu pergi. Sagara adalah yang terakhir naik ke dalam kendaraannya. Sekali pun ia tak menoleh ke belakang.

Saat lokasi benar-benar sepi, Renjana berdiri dari persembunyian dan berjalan cepat ke area tempat mereka tadi berdiri. Ia menemukan puntung rokok, selembar kertas kontrak yang tampaknya tercecer, dan bekas-bekas ban mobil di tanah basah. Semuanya ia foto, catat, dan ia kantongi lembaran kertas itu dalam mapnya.

**

Kembali ke kantor hampir pukul dua pagi, Renjana mengedit hasil foto dan mengetik cepat beberapa catatan awal. Matanya sudah nyaris terpejam, tapi semangatnya masih menyala.

Tiba-tiba, layar komputernya berkedip. Ada notifikasi masuk dari email internal:

[RE: LAPORAN INVESTIGASI MALAM]

“Lain kali, jangan bermain api di wilayah yang bukan milikmu, Renjana. Hati-hati. Tidak semua kebenaran aman untuk diungkap.”

Renjana membeku.

Tidak ada nama pengirim. Hanya tulisan itu.

Napasnya tercekat. Matanya melirik ke sekitar kantor yang sudah kosong. Hanya suara AC dan detik jam di dinding yang terdengar.

Tapi ia tidak menghapus email itu.

Ia menyalin seluruh isi email ke catatan pribadinya, menyimpannya dalam file terenkripsi. Lalu ia kembali mengetik, lebih cepat dari sebelumnya. Ia tahu satu hal pasti malam ini:

Apa yang sedang ia hadapi… jauh lebih besar dari sekadar gosip kantor atau komentar sinis seorang Sagara.

Dan ia tidak akan mundur.

**

Pagi harinya, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Renjana sudah berada di kantor redaksi. Lingkaran gelap di bawah matanya tak bisa disembunyikan, tapi semangat di wajahnya justru lebih hidup dari hari-hari biasanya.

Ia duduk di pojokan ruang kerja, membuka laptop, dan mulai menyusun artikel yang bisa mengubah karier — atau menghancurkan hidupnya. Setiap kalimat ditulis dengan presisi, penuh pertimbangan, menghindari tuduhan langsung tapi cukup menusuk untuk membangkitkan pertanyaan publik.

Namun baru beberapa paragraf selesai, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor tidak dikenal:

“Berhenti. Kau diawasi.”

Renjana mencengkeram ponselnya. Kedua matanya menatap layar tanpa berkedip, kemudian dengan cepat ia menonaktifkan sinyal, mencabut baterai cadangan kecil yang terpasang di ponsel — langkah yang sudah dipelajarinya dari seorang narasumber lama di bidang whistleblower.

Ia tahu, ini bukan sekadar ancaman.

Ini adalah peringatan.

Dan tetap saja, ia tidak berhenti. Artikel terus berjalan. Ia menyisipkan foto-foto dari lokasi, lalu mulai menelusuri identitas beberapa pria yang ada di foto. Salah satu wajah tidak asing — pria itu pernah muncul di banyak media, berdiri di panggung-panggung besar dengan setelan mahal dan senyum penuh kepercayaan diri: Sagara Adiwangsa, CEO dari perusahaan konglomerasi Adiwangsa Corp.

Renjana menatap fotonya lama-lama. Ia menggulir ke artikel lama tentang Sagara — pencapaian, sumbangan besar, investasi ke sektor energi, dan peran pentingnya dalam pembangunan proyek infrastruktur nasional. Tapi ada satu kesamaan dalam setiap pemberitaan itu: terlalu rapi. Terlalu bersih.

Terlalu sempurna untuk jadi kenyataan.

**

Malam kembali datang. Renjana duduk di kafe kecil dekat apartemennya, mengenakan hoodie dan masker, menatap layar laptop. Ia menunggu seseorang.

Seseorang yang pernah menjadi sumbernya. Yang pernah bekerja di salah satu anak perusahaan Adiwangsa Corp. Dan yang sekarang hidup seperti bayangan, sembunyi dari kejaran mereka yang berkuasa.

Laki-laki itu datang, mengenakan topi lusuh dan jaket tebal. Ia duduk tanpa bicara banyak, langsung menyodorkan flashdisk kecil.

"Isi ini cukup buat buka mata banyak orang," bisiknya, "Tapi kalau kamu publikasikan... pastikan kamu siap kehilangan segalanya."

Renjana menggenggam flashdisk itu, hatinya berdegup keras. "Aku sudah kehilangan cukup banyak."

Pria itu menatapnya sejenak. "Sagara... bukan sekadar pengusaha sukses. Dia dalang. Banyak kontrak fiktif, mark-up proyek, dan... pembungkaman. Nama-nama besar di pemerintahan pun tunduk padanya."

Renjana mengatupkan rahangnya. Ini lebih dalam dari yang ia duga.

"Dan satu lagi..." pria itu menunduk, suaranya hampir tak terdengar, "...Aku curiga pembunuhan jurnalis senior dua tahun lalu, itu... juga terkait. Namanya Arta. Temanmu, kan?"

Darah Renjana seolah berhenti mengalir.

Arta. Mentor pertamanya. Yang katanya kecelakaan tunggal. Yang ditemukan di dasar jurang dengan mobil hangus. Kasus yang tak pernah selesai.

"Apa kau punya bukti?"

Pria itu berdiri, bersiap pergi.

"Semua ada di situ. Tapi satu peringatan terakhir, Nja... jangan percaya siapa pun. Bahkan mereka yang kelihatan bersih, kadang tangan mereka paling kotor."

Renjana menggenggam erat flashdisk itu.

Malam itu, ia pulang dengan dada sesak — bukan karena takut, tapi karena satu kenyataan baru:

Arta tidak mati karena nasib buruk. Ia dibunuh karena tahu terlalu banyak.

Dan sekarang... Renjana ada di posisi yang sama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 1 ~ konferensi pers

    Langit abu-abu menaungi kota pagi itu. Gerimis tipis membasahi jalanan saat Renjana Ayudya turun dari bus, menenteng tas berisi buku catatan dan perekam suara. Ditangannya, kartu pers tergenggam erat — tanda resminya sebagai jurnalis muda Sentra Media. Hari ini, ia mendapat tugas pertamanya: menghadiri konferensi pers di Hotel Grand Marvell. Sebuah langkah kecil, tapi bagi Renjana, ini berarti dunia. Setibanya di kantor, Pak Arman, pemimpin redaksi, sudah menunggunya di meja. Tanpa banyak basa-basi, pria itu menyerahkan map berisi rundown acara. "Fokus ke isu utama. Dengarkan baik-baik. Jangan ragu bertanya,"katanya sambil menatap Renjana dengan serius. Renjana mengangguk cepat. "Siap, Pak." Beberapa menit kemudian, ia kembali keluar, melawan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya. Di dalam perjalanan menuju hotel, pikirannya sibuk membayangkan berbagai kemungkinan: siapa saja yang akan hadir, apa yang harus ia tanyakan, bagaimana nanti ia menulis berita pertama

    Last Updated : 2025-03-02
  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 2 ~ undangan khusus

    Konferensi pers tentang pertemuan para pengusaha besar dan juga memperlihatkan inovasi yang mereka buat akhirnya selesai. Para jurnalis berhamburan keluar dari ruangan, sibuk mengejar deadline, mengetik cepat di ponsel atau menelepon kantor. Suasana ramai, namun bagi Renjana, dunia seolah menyempit. Ia berjalan perlahan, menuruni anak tangga kecil menuju lorong hotel. Pundaknya terasa pegal, pikirannya penuh. Tapi setidaknya — tugas utamanya hari ini sudah ia selesaikan. Atau begitulah pikirnya, sebelum sebuah sosok menghalangi jalannya. Sagara. Bersandar santai di dinding lorong, lengan terlipat di dada, seperti sengaja menunggu. Renjana berusaha bersikap biasa saja, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba melangkah melewati pria itu tanpa memulai percakapan, tapi suara Sagara menahan langkahnya. "Masih sama seperti dulu," gumamnya. Suaranya berat, rendah, namun penuh sindiran yang menusuk. "Berusaha keras kelihatan hebat, padahal cuma anak bawang." l

    Last Updated : 2025-03-02
  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 3~rumah?

    Malam sudah larut ketika Renjana akhirnya tiba di depan rumah. Rumah itu kecil, cat temboknya mulai pudar, beberapa bagian pagar berkarat. Lampu teras redup, nyaris mati. Tapi di sinilah tempat yang disebutnya “rumah” — meski tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya.Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tak sampai satu menit, daun pintu dibuka kasar dari dalam. Sosok seorang wanita berusia setengah baya berdiri di ambang pintu, mengenakan daster lusuh, dengan wajah masam. Ibunya.Mata sang ibu langsung menyipit begitu melihat Renjana. Tanpa sapaan, tanpa senyum."Kamu pulang juga akhirnya," gumamnya ketus. "Kira-kira mau tidur di jalan, ya?"Renjana menunduk sedikit, menahan perih yang menguar dari nada suara itu. Ia masuk pelan, membiarkan ibunya berlalu ke dalam tanpa menunggunya.Bau masakan gosong tercium samar dari dapur. Rumah itu berantakan — piring kotor menumpuk di wastafel, baju berserakan di kursi ruang tamu. Renjana terbiasa dengan pemandangan in

    Last Updated : 2025-03-05
  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 4 ~ Selalu Bertemu

    Pagi itu, mata Renjana masih sembab saat ia tiba di kantor. Namun seperti biasa, ia menarik napas panjang dan memaksa dirinya tersenyum tipis. Tidak ada yang boleh tahu betapa hancurnya dirinya semalam. Sesampainya di meja kerjanya, ia langsung menyalakan laptop dan mulai mencari-cari pekerjaan tambahan. Matanya berkabut, pikirannya berisik — namun ia tahu, ia tidak boleh diam. Saat itu, mata Renjana terpaku pada papan pengumuman internal. Ada pengumuman kecil: "Dibutuhkan relawan untuk liputan tambahan malam ini. Bonus lembur diberikan." Tanpa pikir panjang, Renjana berdiri dari kursinya dan langsung berjalan cepat ke ruangan atasannya. Tok. Tok. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Renjana membuka pintu perlahan. Pak Adi, atasannya, sedang sibuk meneliti beberapa berkas. "Ada apa, Renjana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan. "Saya mau ambil tugas lembur malam ini, Pak," ucap Renjana cepat. Pak Adi akhirnya mendongak. Wajahnya tampak ragu. "Ini tuga

    Last Updated : 2025-03-05

Latest chapter

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   teror?

    Renjana merapatkan jaketnya, menahan dingin dan amarah sekaligus. Ia menatap punggung Sagara yang menjauh dengan sorot tajam, penuh tekad. Lalu ia menunduk, mengatur napas, dan melangkah pelan menjauh dari kerumunan. Tapi tidak benar-benar pergi.Ia bersembunyi kembali, kali ini lebih jauh dan hati-hati. Suasana di depan masih tegang. Kamera di tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena takut — melainkan karena dorongan kuat untuk menyelesaikan tugasnya.Ia mengambil beberapa foto dari kejauhan. Memastikan tidak ada cahaya flash, tidak ada suara mencurigakan. Merekam secuil demi secuil bukti yang bisa ia gunakan untuk artikelnya nanti.Jam menunjukkan pukul 23.47 ketika mobil-mobil itu satu per satu pergi. Sagara adalah yang terakhir naik ke dalam kendaraannya. Sekali pun ia tak menoleh ke belakang.Saat lokasi benar-benar sepi, Renjana berdiri dari persembunyian dan berjalan cepat ke area tempat mereka tadi berdiri. Ia menemukan puntung rokok, selembar kertas kontrak yang tampakn

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 4 ~ Selalu Bertemu

    Pagi itu, mata Renjana masih sembab saat ia tiba di kantor. Namun seperti biasa, ia menarik napas panjang dan memaksa dirinya tersenyum tipis. Tidak ada yang boleh tahu betapa hancurnya dirinya semalam. Sesampainya di meja kerjanya, ia langsung menyalakan laptop dan mulai mencari-cari pekerjaan tambahan. Matanya berkabut, pikirannya berisik — namun ia tahu, ia tidak boleh diam. Saat itu, mata Renjana terpaku pada papan pengumuman internal. Ada pengumuman kecil: "Dibutuhkan relawan untuk liputan tambahan malam ini. Bonus lembur diberikan." Tanpa pikir panjang, Renjana berdiri dari kursinya dan langsung berjalan cepat ke ruangan atasannya. Tok. Tok. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Renjana membuka pintu perlahan. Pak Adi, atasannya, sedang sibuk meneliti beberapa berkas. "Ada apa, Renjana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan. "Saya mau ambil tugas lembur malam ini, Pak," ucap Renjana cepat. Pak Adi akhirnya mendongak. Wajahnya tampak ragu. "Ini tuga

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 3~rumah?

    Malam sudah larut ketika Renjana akhirnya tiba di depan rumah. Rumah itu kecil, cat temboknya mulai pudar, beberapa bagian pagar berkarat. Lampu teras redup, nyaris mati. Tapi di sinilah tempat yang disebutnya “rumah” — meski tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya.Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tak sampai satu menit, daun pintu dibuka kasar dari dalam. Sosok seorang wanita berusia setengah baya berdiri di ambang pintu, mengenakan daster lusuh, dengan wajah masam. Ibunya.Mata sang ibu langsung menyipit begitu melihat Renjana. Tanpa sapaan, tanpa senyum."Kamu pulang juga akhirnya," gumamnya ketus. "Kira-kira mau tidur di jalan, ya?"Renjana menunduk sedikit, menahan perih yang menguar dari nada suara itu. Ia masuk pelan, membiarkan ibunya berlalu ke dalam tanpa menunggunya.Bau masakan gosong tercium samar dari dapur. Rumah itu berantakan — piring kotor menumpuk di wastafel, baju berserakan di kursi ruang tamu. Renjana terbiasa dengan pemandangan in

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 2 ~ undangan khusus

    Konferensi pers tentang pertemuan para pengusaha besar dan juga memperlihatkan inovasi yang mereka buat akhirnya selesai. Para jurnalis berhamburan keluar dari ruangan, sibuk mengejar deadline, mengetik cepat di ponsel atau menelepon kantor. Suasana ramai, namun bagi Renjana, dunia seolah menyempit. Ia berjalan perlahan, menuruni anak tangga kecil menuju lorong hotel. Pundaknya terasa pegal, pikirannya penuh. Tapi setidaknya — tugas utamanya hari ini sudah ia selesaikan. Atau begitulah pikirnya, sebelum sebuah sosok menghalangi jalannya. Sagara. Bersandar santai di dinding lorong, lengan terlipat di dada, seperti sengaja menunggu. Renjana berusaha bersikap biasa saja, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba melangkah melewati pria itu tanpa memulai percakapan, tapi suara Sagara menahan langkahnya. "Masih sama seperti dulu," gumamnya. Suaranya berat, rendah, namun penuh sindiran yang menusuk. "Berusaha keras kelihatan hebat, padahal cuma anak bawang." l

  • Breaking News: Aku Jatuh Cinta   Bab 1 ~ konferensi pers

    Langit abu-abu menaungi kota pagi itu. Gerimis tipis membasahi jalanan saat Renjana Ayudya turun dari bus, menenteng tas berisi buku catatan dan perekam suara. Ditangannya, kartu pers tergenggam erat — tanda resminya sebagai jurnalis muda Sentra Media. Hari ini, ia mendapat tugas pertamanya: menghadiri konferensi pers di Hotel Grand Marvell. Sebuah langkah kecil, tapi bagi Renjana, ini berarti dunia. Setibanya di kantor, Pak Arman, pemimpin redaksi, sudah menunggunya di meja. Tanpa banyak basa-basi, pria itu menyerahkan map berisi rundown acara. "Fokus ke isu utama. Dengarkan baik-baik. Jangan ragu bertanya,"katanya sambil menatap Renjana dengan serius. Renjana mengangguk cepat. "Siap, Pak." Beberapa menit kemudian, ia kembali keluar, melawan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya. Di dalam perjalanan menuju hotel, pikirannya sibuk membayangkan berbagai kemungkinan: siapa saja yang akan hadir, apa yang harus ia tanyakan, bagaimana nanti ia menulis berita pertama

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status