Suro Joyo tidak menyangka warna pakaian yang dia kenakan merupakan pertanda maut akan datang menjemput. Warna merah yang dia maknakan sebagai lambang keberanian, kini berubah menjadi warna yang menandakan kematian. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan keinginan.
“Huahaha hahaha..., aku akan menjadi penguasa baru di dunia persilatan!” terdengar gelak tawa dan ungkapan kegembiraan dari Badas Wikatra. “Bermula dari tanah perdikan yang kecil bernama Perdikan Tirtawisa. Meluas dengan bertambahnya wilayah Kerajaan Wanabisala. Dan sekarang..., Kerajaan Krendobumi telah berada dalam genggaman kekuasaanku. Tak lama lagi seluruh kerajaan di wilayah sekitar Krendobumi akan kubuat bertekuk lutut. Pada gilirannya nanti, seluruh kerajaan di alam semesta akan berada dalam rengkuhanku, huahaha hahaha...!”
Sayup-sayup Suro Joyo masih mampu mendengar gelegar suara Badas Wikatra. Perkataan Badas yang menunjukkan kegembiraan dan kemenangan membuat perasaan Suro Joyo makin menderita. Betapa tidak menderita pendekar muda usia itu. Kerajaannya diduduki orang lain, ayah-bunda dan pengikutnya dibantai, dan dirinya sekarang berada di ujung maut. Semua yang terjadi itu dilakukan oleh satu orang yang sangat rakus, sangat jahat, dan memiliki watak iblis laknat!
Semula Suro Joyo ingin membasmi makhluk berwujud manusia, tapi berwatak iblis tersebut. Apa daya kenyataan berkata lain. Bukan Suro Joyo yang menghajar Badas ampai babak belur, tapi malah sebaliknya, Suro Joyo mengalami luka parah. Bahkan Suro Joyo tak berdaya sama sekali ketika serangan Badas yang bertubi-tubi mencecarnya!
“Hati-hati kalau bertemu Badas Wikatra!” terngiang pesan Ki Panjong di Gunung Sumbing. “Dia pendekar jahat yang punya kehebatan tak tertandingi.”
Tidak salah peringatan yang diucapkan Ki Panjong. Tidak salah juga Suro Joyo ketika bertarung melawan Badas. Suro Joyo selalu waspada ketika menghadapi Badas dalam pertarungan sengit. Namun ilmu silat dan kesaktian yang dimiliki Suro Joyo jauh di bawah kemampuan Badas. Maka tidak heran kalau Badas bisa mengalahkan Suro Joyo dengan mudah.
Dalam keadaan kritis, Suro Joyo kembali teringat kenangan indah penuh kebahagiaan bersama Agung Paramarta dan Niken sari. Dia juga teringat saat-saat dirinya mengembara mencari obat untuk menyembuhkan kelumpuhan Niken Sari. Suro Joyo juga teringat saat-saat genting bertempur melawan Jati Kawangwang dan anak buahnya untuk merebut tahta Krendobumi.
Pelan-pelan kesadaran Suro Joyo menghilang. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, dia merasakan ada sosok yang menahannya, sehingga tidak jatuh menghantam dasar Lembah Siungbowong yang penuh batu-batu lancip setajam ujung pedang.
Tanpa sepengetahuan Badas Wikatra, terlihat sosok berpakaian serba hitam menyambar tubuh Suro Joyo dengan kecepatan seperti kilat di langit mendung. Kecepatan sosok pendekar yang berpakaian gelap itu sulit diikuti pandangan mata. Tahu-tahu tubuh Suro Joyo telah lenyap ditelan rerimbunan pepohonan di dasar lembah.
Beberapa waktu kemudian Suro Joyo kembali menemukan kesadarannya di sebuah ruangan yang luas. Sebuah pendapa padepokan yang sunyi. Terlihat ada dua orang yang duduk di dekat tempat pembaringan Suro Joyo yang terbuat dari anyaman bambu.
Orang yang duduk di sebelah kanan Suro Joyo seorang laki-laki tua seumuran dengang Ki Panjong dan Maeso Item. Seluruh rambutnya memutih. Wajahnya menggambarkan ketenagnan jiwanya. Pada waktu muda, sosok ini pastilah pemuda yang tampan. Ketampanan masih terlihat meskipun umurnya telah mencapai di atas tujup puluh tahun.
Sedangkan orang yang berada di sebelah kiri Suro Joyo laki-laki seumuran paman pendekar muda itu. Wajahnya menggambarkan keteduhan. Ada kumis melintang, tapi tidak mengesankan kekakuan wataknya. Bentuk wajah orang ini mirip orang yang seumuran Ki Panjong.
“Kamu sudah seminggu berada di Padepokan Carang Giring,” kata laki-laki tua sambil memandangi wajah Suro Joyo yang masih pucat. “Aku Tambung Bumandala. Ini yang mengelola Padepokan Carang Giring, namanya Bigar Wadana.”
“Maaf...,” kata Suro Joyo lirih, nadanya lemah, “seingat saya Ki Tambung Bumandala itu nama pendekar yang punya julukan Pendekar Bisu....”
Tambung tersenyum, Bigar menahan tawa.
“Pendekar Bisu itu hanya julukan, Suro,” ucap Tambung tenang. “Suro Joyo dulu pernah punya julukan Suro Sinting. Apa itu berarti Suro Joyo benar-benar sinting, edan, gila, atau tidak waras? Tidak kan? Namanya julukan, belum tentu sama persis dengan kenyataannya. Para pendekar di dunia persilatan menjuluki Tambung Bumandala sebagai Pendekar Bisu bukan berarti aku ini benar-benar gagu, bisu, atau lidahnya tidak bisa digunakan untuk berbicara. Tapi..., aku memang malas berbicara kalau tidak penting, atau benar-benar penting. Ini aku nyerocos ngomongnya karena ada hal penting yang perlu kujelaskan padamu. Aku bisa bicara, bukan bisu dalam arti yang sebenarnya.”
Suro Joyo mencoba tersenyum. Namun senyum yang terlihat merupakan senyum hambar. Senyum yang keluar dari tubuh lemas, ingin tidur terus, dan sulit digerakkan.
“Kekuatanmu habis diserap oleh Badas Wikatra,” lanjut Ki Tambung. “Dia memang licik sejak lahir. Semua kelicikan digunakan untuk mengalahkan lawan. Diam-diam dia menggunakan mantra sakti ketika bertarung melawan siapa pun. Mantra itu bisa dia manfaatkan untuk menyerap tenaga dalam lawan. Memang pada saat itu tidak terasa, tapi lama-lama lawan akan merasa limbung, sehingga mudah diserang dan dikalahkan.”
Ki Tambung menoleh kepada Bigar. “Bigar..., kamu lanjutkan obrolanku dengan Suro! Aku mau istirahat sebentar.”
“Iya, Ki,” Bigar menunduk hormat pada Ki Tambung.
Ki Tambung meninggalkan padepokan. Berjalan ke arah selatan.
“Ke mana beliau pergi” Suro Joyo merasa heran melihat perilaku Ki Tambung.
“Biasa...,” jawab Bigar tenang. “Beliau memperdalam beberapa jurus silat andalan dari guru beliau, Ki Taksaparama.”
Suro Joyo mengernyitkan kening. Dia mengingat-ingat nama yang baru saja diucapkan Bigar.
“Ki Taksaparama ...,” gumam Suro Joyo. “Sepertinya saya pernah mendengar nama itu, Paman ....”
Bigar tersenyum senang. “Ternyata ingatanmu tidak rusak akibat pertarungan maut melawan Badas. Ki Taksaparama sangat terkenal di dunia persilatan. Meskipun sudah tiada, tapi namanya masih diingat banyak orang. Baik yang hidup sezaman, maupun yang hidup pada zaman berikutnya.”
“Ya, saya ingat, Paman! Ki Taksaparama Pendekar Naga Merah dari Selatan. Tapi..., berdasarkan cerita yang beredar di kalangan persilatan, Ki Taksaparama tidak mau mengajarjan ilmunya kepada siapa pun. Sejak murid satu-satunya berubah menjadi tokoh golongan hitam, Ki Taksaparama tidak mau menerima murid lagi.”
“Tapi prinsip Ki Taksaparama runtuh karena ketulusan Ki Tambung,” Bigar menjelaskan. “Ki Taksaparama tahu bahwa Ki Tambung bukan manusia ambisius, bukan juga manusia jahat yang menyalahgunakan ilmunya untuk memenuhi nafsu duniawinya. Maka dengan senang hati Ki Taksaparama memberikan seluruh ilmu dan kesaktian yang dimiliki kepada Ki Tambung. Sejak saat itu, Ki Taksaparama menghilang dari dunia persilatan. Tidak ada yang tahu kabar tentang beliau. Ada yang mengatakan bahwa beliau bertapa di suatu tempat. Namun ada juga yang mengabarkan kalau Ki Taksaparama telah tiada.”
Suro Joyo mengangguk-angguk senang mendengar perkataan Bigar yang mencerahkan.
“Lepas dari soal benar atau tidaknya kabar Ki Taksaparama telah tiada, ada satu kenyataan yang diakui di dunia persilatan,” lanjut Bigar. “Ki Taksaparama pendekar legendaris yang tidak mau mengajarkan kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan lagi. Kemampuannya dalam bertarung, sulit ditandingi oleh para pendekar lain. Hal itu bertolak belakang dengan Ki Tambung. Ki Tambung selain mendapat julukan Pendekar Bisu, juga sering disebut legenda beku.”
“Legenda beku itu maksudnya apa, paman?” tanya Suro Joyo sambil berusaha bangun dari tidur.
***
“Hati-hati kalau mau bangun!” Bigar memperingatkan. “Kondisimu masih lemah. Kata Ki Tambung, butuh tiga hari lagi untuk pemulihan.”Suro Joyo kembali berbaring karena merasa kepalanya pening ketika tubuhnya digunakan untuk bangun.“Tentang sebutan legenda beku, bisa diartikan bebas sesuka hati,” ucap Bigar. “Yang jelas, nama Ki Tambung sebagai Pendekar Penakluk Naga Merah terkenal di seluruh penjuru jagat, tapi tidak banyak orang yang mengenal Ki Tambung secara pribadi. Sifat diam yang melekat pada beliau membuat orang lain kesulitan untuk mendekatinya. Orang-orang merasa sulit untuk mengenal Ki Tambung secara mendalam.”“Sebentar, Paman ..., saya ingat pengakuan Ki Panjong,” sela Suro Joyo. “Ki Panjong mengaku pernah berguru pada Ki Tambung untuk menguasai beberapa jurus silat yang termasuk langka. Hanya Ki Tambung yang memiliki jurus-jurus itu. Salah satu jurus yang didapat dari Ki Tambung, Jurus Cicak Merayap Batu. Dengan jurus itu, Ki Panjong bisa merayapi tebing setinggi apa pun
Suro Joyo tidak menyangka warna pakaian yang dia kenakan merupakan pertanda maut akan datang menjemput. Warna merah yang dia maknakan sebagai lambang keberanian, kini berubah menjadi warna yang menandakan kematian. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan keinginan.“Huahaha hahaha..., aku akan menjadi penguasa baru di dunia persilatan!” terdengar gelak tawa dan ungkapan kegembiraan dari Badas Wikatra. “Bermula dari tanah perdikan yang kecil bernama Perdikan Tirtawisa. Meluas dengan bertambahnya wilayah Kerajaan Wanabisala. Dan sekarang..., Kerajaan Krendobumi telah berada dalam genggaman kekuasaanku. Tak lama lagi seluruh kerajaan di wilayah sekitar Krendobumi akan kubuat bertekuk lutut. Pada gilirannya nanti, seluruh kerajaan di alam semesta akan berada dalam rengkuhanku, huahaha hahaha...!”Sayup-sayup Suro Joyo masih mampu mendengar gelegar suara Badas Wikatra. Perkataan Badas yang menunjukkan kegembiraan dan kemenangan membuat perasaan Suro Joyo makin menderita. Betapa tida
Secara naluri, Suro Joyo sejati merasa muak dan mual melihat sosok Badas Wikatra yang mewujud sebagai dirinya. Wajah asli Badas terbungkus ketampanan wajah Suro Joyo. Selain itu, dengan meminjam wajah Suro Joyo, Badas berhasil menipu daya seluruh rakyat Krendobumi saat malam pengangkatan Suro Joyo jadi-jadian menjadi raja di Krendobumi.Sebagian besar rakyat Krendobumi memang mudah ditipu dengan tampilan wajah bersih dari seseorang yang punya kepentingan untuk meraih kekuasaan. Badas punya ambisi menjadi raja di Krendobumi. Maka dia menggunakan ajian malih rupa untuk mengubah tampilan wajah dan fisiknya menjadi Suro Joyo. Suro Joyo, pewaris tunggal yang sah tahta Krendobumi tentu saja dielu-elukan seluruh rakyat Krendobumi. Ketika Badas menyamar sebagai Suro Joyo, mendapat perlakuan istimewa dari orang tua Suro Joyo, semua punggawa, dan seluruh rakyat Krendobumi.Kesempatan emas itu dimanfaatkan Badas untuk menggapai ambisi secara mudah dan cepat. Tanpa melalui peperangan. Cukup denga
Ada kekacauan dalam pikiran Suro Joyo ketika Badas mengucapkan diri putra mahkota Krendobumi itu tiba waktunya menysul kedua orang tua. Apa maksud di balik perkataan Badas? Itu yang yang mengganggu pikiran Suro Joyo.Namun Suro Joyo tidak ada kesempatan untuk memiliki makna perkataan Badas. Kini maut ada di depan mata. Dua gumpalan merah membara berbentuk cakra siap menghancurkan Suro Joyo!Hanya satu tindakan yang bisa dilakukan Suro Joyo, menangkis ajian lawan dengan ajian yang sama. Cepat tangan kanan Suro Joyo menyorong ke depan dengan telapak terbuka. Dari telapak tangan Suro Joyo meluar sinar merah membara berbentuk cakra. Sinar merah itu menyongsong sinar serupa berjumlah dua buah dari Badas.Terjadi benturan keras disertai suara ledakan membahana memenuhi alam sekitarnya. Akibat benturan, ada pukulan balik ke masing-masing penyerang. Pukulan balik kembali ke pihak Badas dan Suro Joyo. Badas terlihat berdiri tegar ketika hantaman balik menerpa. Sedangkan Suro Joyo terlempar ke
Setelah berhasil menyelesaikan kewajibannya di Kerajaan Pulungpitu, Suro Joyo ingin melanjutkan pengembaraannya. Mengembara ke segala penjuru jagat raya untuk menebarkan kebaikan. Namun dia tiba-tiba merasa rindu orang tuanya. Dia berencana kembali ke tempat asalnya, Istana Kerajaan Krendobumi.Suro Joyo putra mahkota Kerajaan Krendobumi yang dipimpin Agung Paramarta. Beberapa tahun silam Agung Paramarta ingin menyerahkan tahta kepada Suro Joyo. Waktu itu Suro Joyo menolak secara halus dengan alasan ingin mengembara terlebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman hidup. Itu hanya alasan. Padahal Suro Joyo memang tidak berminat menjadi raja. Dia lebih memilih mengembara sebagai jalan hidup untuk melakukan kebaikan terhadap seluruh alam semesta.Orang-orang di dunia persilatan menganggap Suro Joyo pendekar yang aneh. Mengapa dia menolak menjadi penguasa? Mengapa Suro Joyo tidak mau menjadi raja? Jawabannya hanya Suro Joyo yang tahu. Yang jelas, dia pernah berkali-kali mengatakan kepada par