“Hati-hati kalau mau bangun!” Bigar memperingatkan. “Kondisimu masih lemah. Kata Ki Tambung, butuh tiga hari lagi untuk pemulihan.”
Suro Joyo kembali berbaring karena merasa kepalanya pening ketika tubuhnya digunakan untuk bangun.
“Tentang sebutan legenda beku, bisa diartikan bebas sesuka hati,” ucap Bigar. “Yang jelas, nama Ki Tambung sebagai Pendekar Penakluk Naga Merah terkenal di seluruh penjuru jagat, tapi tidak banyak orang yang mengenal Ki Tambung secara pribadi. Sifat diam yang melekat pada beliau membuat orang lain kesulitan untuk mendekatinya. Orang-orang merasa sulit untuk mengenal Ki Tambung secara mendalam.”
“Sebentar, Paman ..., saya ingat pengakuan Ki Panjong,” sela Suro Joyo. “Ki Panjong mengaku pernah berguru pada Ki Tambung untuk menguasai beberapa jurus silat yang termasuk langka. Hanya Ki Tambung yang memiliki jurus-jurus itu. Salah satu jurus yang didapat dari Ki Tambung, Jurus Cicak Merayap Batu. Dengan jurus itu, Ki Panjong bisa merayapi tebing setinggi apa pun dengan cepat, tanpa pernah takut jatuh ke dasar jurang.”
Bigar kaget mendengar penuturan Suro Joyo. Ternyata banyak orang yang diam-diam mendapatkan ilmu, jurus atau pun kesaktian dari Ki Tambung.
“Itu yang kumaksud legenda beku,” ucap Bigar. “Ki Tambung melegenda secara diam-diam seperti air yang beku. Beda dengan pendekar legendaris lainnya yang dikenal banyak orang. Ki Tambung tidak begitu dikenal di kalangan pendekar, tapi kemampuannya dalam dunia persilatan dia tularkan secara diam-diam kepada para pendekar lain. Saat ini giliranmu, Suro. Kamu beruntung akan mendapatkan seluruh ilmu, kesaktian, dan ajian yang dimiliki Ki Tambung.”
Suro Joyo terlihat kaget, sekaligus senang.
“Kamu jangan merasa gembira dulu, Suro!” Bigar mengingatkan. “Untuk menerima ilmu dari Ki Tambung, ada satu syarat yang mesti kamu penuhi.”
“Syarat apa, Paman?”
“Sebaiknya kamu sekarang kembali istirahat! Besok Ki Tambung yang akan menjelaskan.”
Suro Joyo mengikuti kata Bigar. Dia kembali memejamkan mata setelah Bigar meninggalkan ruang padepokan.
Pagi hari berikutnya, Suro Joyo bangun tidur dalam keadaan segar bugar. Dia merasa heran atas perubahan yang begitu cepat pada dirinya. Kemarin masih lemas, sekarang sudah segar seperti biasanya.
Usai membersihkan diri di sendang yang ada air terjun kecil di dekat padepokan, Suro Joyo makan pagi bersama Ki Tambung dan Bigar. Usai makan pagi, Suro Joyo dibawa pendekar kawakan itu ke area yang biasa digunakan Tambung dan Bigar untuk meningkatkan ilmu silat dan kemampuan tarung jarak dekat satu lawan satu.
Mereka duduk di bebatuan yang tertata rapi di pinggir area.
“Kamu akan mewarisi seluruh ilmu yang kumiliki, Suro,” Ki Tambung mulai mengatakan keperluannya. “Hal ini sesuai janjiku yang pernah kuucapkan kepada mendiang dua gurumu, Ki Maeso Item dan Nyi Trinil Manis.”
Wajah Suro Joyo menegang.
“Maaf kalau berita ini mengejutkanmu, Suro,” ucap Ki Tambung lirih, bernada sedih. “Ini kenyataan yang mesti kita terima. Kita tidak perlu terlalu bersedih dan menangis menghiba sudra. Perilaku menghiba seperti itu tiada guna.”
“Bagaimana kejadiannya, Ki Tambung?” tanya Suro Joyo penasaran.
Ki Tambung menoleh kepada Bigar.
“Singkatnya, suatu hari Badas Wikatra menyamar sebagai dirimu, lalu mencegat kedua gurumu sepulang dari sini,” kata Bigar. “Karena yang mencegat sosok manusia yang menyamar sebagai dirimu, kedua gurumu merasa gembira. Mereka berdua memelukmu dengan erat. Pada saat itulah Badas secara licik membunuh kedua gurumu.”
“Jangan dendam, tak perlu terbakar kemarahan!” bijak ucap Ki Tambung. “Kemarahan yang membakar hatimu saat melawan Badas, membuatmu mudah sekali dikalahkan begundal iblis itu. Yang lalu telah berlalu, tak perlu disesali. Sekarang kita songsong masa depan dengan nalar sehat dan semangat tinggi. Kamu akan kuberi seluruh ilmuku yang kudapat dari Ki Taksaparama, Si Naga Merah dari Selatan. Kemudian, setelah semua ilmuku terserap dalam jiwa dan ragamu, ada satu warisan dari mendiang kedua gurumu.”
“Apa, Ki?” Suro Joyo terlihat bersemangat.
“Mantra Sakti Pemanggil Tombak Bowong,” ucap Ki Tambung tegas. “Jujur saja, aku tidak berani membuka mantra yang tertulis dalam segulung kulit rusa. Mantra sakti itu kusimpan di tempat yang sangat aman. Tak seorang pun bisa mengambil mantra itu selain diriku. Nanti kuberikan setelah kamu selesai menempa ilmu di Padepokan Carang Giring.”
Suro Joyo meresapi setiap kata yang diucapkan Ki Tambung. Tak disangka, kedua gurunya punya senjata tersembunyi yang hanya bisa dipanggil dengan mantra.
“Kamu akan kuberi ilmu yang kudapat dari Ki Taksaparama dengan syarat,” lanjut Ki Tambung, “lulus uji berani. Keberanianmu akan diuji di dalam Hutan Jiwangkara.”
“Hutan Jiwangkara itu di mana letaknya, Ki?”
“Sebelah barat Padepokan Carang Giring. Besok kujelaskan setelah sampai di tepi hutan itu.”
Keesokan hari selanjutnya, Ki Tambung dan Bigar membawa Suro Joyo ke arah barat. Mereka pagi-pagi berangkat melewati jalan perbukitan yang berbatu cadas, beronak duri, dan berbagai tanaman tua di kanan-kiri jalan setapak.
Sinar mentari pagi yang hangat menimbulkan semangat juang dalam diri Suro Joyo. Ada beban di pundak yang mesti diemban sebagai baktinya kepada kedua orang tua, kedua guru, dan para pengikut setia ayahandanya. Serta tak kalah pentingnya, Suro Joyo juga memiliki tugas sangat berat untuk mengembalikan kejayaan Krendobumi pada masa Raja Agung Paramarta.
“Hutan Jiwangkara terkenal wingit, mistis, penuh kekuatan magis, dan banyak bahaya tersembunyi di dalamnya,” penjelasan Ki Tambung ketika mereka bertiga telah sampai tepi hutan yang dituju. “Hutan ini pernah dijadikan uji berani banyak pendekar. Ki Panjong, Ki Maeso Item, Nyi Trinil Manis, aku, dan banyak pendekar lain pernah diuji di sini.”
Ki Tambung menatap Suro Joyo. “Kamu segera masuk Hutan Jiwangkara sekarang! Kamu harus bisa bertahan hidup di dalam sana selama tujuh hari tujuh malam. Kalau bisa selamat, setelah melewati masa itu, berarti punya potensi menjadi pendekar yang lebih hebat di masa depan!”
“Maaf, Ki...,” kata Suro Joyo, “apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam Hutan Jiwangkara?”
“Di dalam hutan sana ada binatang buas, misalnya ular, harimau, buaya, singa, dan masih banyak lagi. Kalau binatang itu menggangu, kamu boleh mengusir. Kalau mereka menyerang, kamu boleh melawan atau menghindar. Bahkan boleh menghajar mereka. Tapi ada satu pantangannya, kamu dilarang membunuh binatang di dalam Hutan Jiwangkara.”
“Mengapa, Ki?”
“Dalam Hutan Jiwangkara ada banyak siluman jahat yang mampu mengubah darah binatang yang kamu bunuh menjadi binatang raksasa. Bentuk makhluk jadi-jadian menyerupai binatang yang kamu bunuh tadi. Makhluk raksasa itu sangat ganas dan tidak mudah dimusnahkan karena telah menjadi makhluk setengah iblis.”
Suro Joyo bergidik bulu kuduknya membayangkan betapa seramnya makhluk raksasa yang kerasukan siluman bengis. Dia ingat-ingat benar perkataan ini.
“Sekarang..., masuklah Hutan Jiwangkara!” perintah Ki Tambung. “Tujuh hari lagi, kamu keluar dari hutan dan kembali ke sini!”
“Siap melaksanakan perintah, Ki!” Suro Joyo menunduk hormat. Lalu bergegas membalikkan badan.
Suro Joyo masuk Hutan Jiwangkara, siap menantang bahaya!
***
Ada sosok pendekar tinggi besar, berpakaian serba hitam, mengenakan topeng harimau, mendekati Suro Joyo dan Westi Ningtyas. Suro Joyo dan Westi Ningtyas tidak mengurangi kewaspadaan, meskipun sosok berpakaian serba hitam itu terlihat tenang. Pendekar Bertopeng Harimau memandangi dua pendekar yang seperti dua sejaoli itu.“Huahahahaha..., rupanya kalian berkasih-kasihan ya?” ejak Pendekar Bertopeng Harimau. “Maaf kalau mengganggu.”Pendekar Bertopeng Harimau menjura. “Sekali lagi aku minta maaf kepada kalian berdua. Sebenarnya aku tak bermaksud suasana syahdu dua orang yang sedang memadu cinta. Tidak ada maksud sedikit pun dariku untuk mengusik kalian.”Westi Ningtyas tersipu. Dia sangat malu dikatakan sedang memadu kasih dengan Suro Joyo. Padahal tidak demikian kenyataannya. Pada saat bersamaan, Suro Joyo terlihat kikuk juga.“Dasar mulut sumur, asal mangap saja!” gerutu Suro Joyo dalam hati. ”Orang lagi bersungguh-sungguh membicarakan tentang nasib rakyat Krendobumi yang menderita ak
Dulu Westi Ningtyas pernah membayangkan dirinya bisa mendapatkan cinta Suro Joyo. Lalu dirinya mengebara bersama orang yang dicinta. Westi Ningtyas tertarik pada Suro Joyo bukan karena dirinya putra raja, atau pewaris tahta Kerajaan Krendobumi. Pendekar perempuan yang berparas jelita itu tertarik pada Suro Joyo karena perilakunya yang baik. Tentu saja, juga karena ketampanannya.Ya..., Westi Ningtyas, dan kebanyakan gadis, atau pendekar perempuan tidak bisa memungkiri bahwa Suro Joyo tampan. Para gadis itu tidak ingkar hati bahwa mereka tertarik pada Suro Joyo karena paras tampan yang dimiliki.“Tapi itu dulu..., ya..., aku dulu memang tertarik pada Suro Joyo,” batin Westi Ningtyas. “Sekarang..., aku tahu diri. Aku tidak mungkin terlalu berharap pada Suro Joyo. Dia sekarang menjadi simbol pemimpin besar yang akan merebut kembali tahta miliknya yang diambil secara lisik oleh Badas Wikatra.”Selama beberapa saat Westi Ningtyas terdiam. Berdiam diri. Padahal Suro Joyo menunggu jawaban da
Suro Joyo memperkokoh kuda-kudanya sambil terus menangkisi setiap pukulan lawan. Pandangannya menajam, melihat setiap pergerakan lawan. Lawannya yang seorang perempuan, tapi memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang mumpuni. Jurus yang digunakan pendekar bercadar ungu bukan hanya untuk menjajaki, tetapi melumpuhkan. Bahkan kalau Suro Joyo tidak hati-hati, bisa lebih celaka lagi.Tiba-tiba penyerang yang bercadar ungu itu melompat tinggi ke udara dalam keadaan tubuh berputar sesar. Putaran tubuhnya menimbulkan pusaran angin beliung yang menggoyahkan keseimbangan Suro Joyo.Tiba-tiba kedua kaki pendekar bercadar bergerak sangat cepat menendang ke arah Suro Joyo kecepatan luar biasa. Suro Joyo harus mundur beberapa langkah untuk menghindari serangan dengan cara bersalto ke belakang beberapa kali.Namun penyerang itu tidak menyerah begitu saja. Dia terus mengejar. Maka Suro Joyo terpaksa menangkis dengan kedua tangan sekaligus. Dia hantamkan pukulan jarak jauh untuk mendorong si pe
Sarenggolo melemparkan pisau bergeriginya ke arah anak buah Dirgayuda berkepala botak. Pisau melesat sangat cepat melebihi kecepatan angin badai. Ujung pisau bergerigi menusuk tengkuk, tembus sampai leher bagian depan. Sarenggolo menggunakan tenaga dalam untuk menarik pisaunya dari jarak jauh. Pisau bergerigi yang semua menancap di leher anak buah Dirgayuda, kini melesat kembali ke dalam genggaman tangan kanan Sarenggolo.Anak buah Dirgayuda ambruk ke bumi sambil memegangi lehernya. Dia berkelejotan menahan sakit. Tak lama kemudian tak bergerak sama sekali.Kematian anggota Pasukan Pemburu yang kepalanya plontos itu membuah Dirgayuda dan anak buah lainnya semakin panik. Mereka berlarian ke segala penjuru untuk menghindari Sarenggolo. Mereka berlarian ke berbagai penjuru mata angin.“Hahahahaha..., kalian mau lari kemana?” teriak Sarenggolo dengan pongahnya. “Mau lari ke lobang semut pun, Pisau Netrakethi ini tak bisa tinggal diam! Pisau ini pasti akan menemukan kalian!” Sarenggolo me
“Kamu mau membunuh kami?” tanya Dirgayuda dengan nada tegar, meskipun nyalinya ciut. Dia takut mati dengan cara yang mengenaskan seperti yang dialami Somblah dan teman-temannya.“Kalau tidak ada yang mau menyebutkan nama pimpinan kalian, terpaksa kulakukan jalan kekerasan,” ucap Suro Joyo tenang. “Rupanya aku harus menjadi algojo kejam untuk orang-orang macam kalian.”Seorang anak buah yang berkepala botak mendekati Dirgayuda sambil berkata lirih, “Sebaiknya kita berterus terang saja, Raden. Si Pendekar Sinting ini akan tega menghabisi kita kalau keinginannya tidak dipenuhi.”Dirgayuda memandang anak buahnya dengan sorot mata penuh kemarahan, “Kamu takut mati?”“Bukan begitu, Raden. Kalau mati, tidak masalah. Tapi kalau mati dengan cara nista seperti Somblah, aku tidak mau.”“Kalau tidak mau, ya sudah, kamu kabur sana!”Anak buah Dirgayuda terdiam. Kabur, meninggalkan Pasukan Pemburu sama saja mencari jalan kematian. Ketika dirinya kabur, maka entah kapan, dan di mana, akan ada seoran
Suro Joyo terlihat tenang menghadapi lawan yang sorot matanya memperlihatkan nafsunya untuk membunuh lawan. Pendekar Kembara Semesta itu memusatkan perhatiannya pada pedang yang berada dalam genggaman lawan. Tentang nafsu Somblah untuk menghabisi orang yang dimusuhi, tidak ambil peduli.“Dilihat dari nafsunya yang sangat besar untuk membunuhku menunjukkan sifat sombongnya,” kata Suro Joyo dalam hati. “Dia seolah-olah akan berhasil menghabisi musuhnya dalam waktu yang tidak lama lagi. Ini kelemahannya. Sekaligus kelengahannya.”Sebelum Somblah mengayunkan pedangnya, tiba-tiba Suro Joyo bergerak sangat cepat. Dia seperti terbang. Ini ajian yang dia peroleh dari Manusia Lumut. Sebuah ajian yang sangat langka. Hanya beberapa gelintir manusia yang memilikinya.Tubuh Suro Joyo melesat bagaikan kilat menuju angkasa. Ketika sampai ketinggian, tiba-tiba tubuh pendekar yang punya julukan Suro Sinting itu melenyap! Tubuh rampingnya seolah-olah ditelan awan biru. Ditelan kegelapan gulita.Dirgayu