Suro Joyo berjalan dengan langkah tenang penuh kehati-hatian menelusuri kelebatan Hutan Jiwangkara. Setiap langkahnya penuh kewaspadaan, matanya menyapu sekeliling, mencermati setiap gerak di balik semak belukar. Tujuh hari tujuh malam adalah waktu yang panjang di tengah hutan yang angker.
Manusia yang masuk hutan harus siap berhadapan dengan ancaman binatang buas dan siluman jahat. Berbagai macam binatang buas siap memangsa manusia. Para siluman yang terkenal sangat jahat dan keji mampu mengubah darah dan bangkai binatang menjadi makhluk buas yang mengerikan. Makhluk jadi-jadian yang berasal dari darah atau pun bangkai itu sangat buas, akan menelan manusia dengan sekali kunyahan!
Gambaran tentang ancaman yang harus dihadapi, terus membayangi benak Suro Joyo. Takut? Tentu ada rasa takut juga. Setiap manusia pasti punya rasa takut. Apalagi ketika berada di sebuah tempat yang baru, suatu hutan belantara alias rimba raya yang memiliki aura menyeramkan dan mematikan bagi manusia yang lemah jiwa dan raganya.
“Sebenarnya apa tujuan Ki Tambung menguji calon muridnya berada di hutan ini?” gumam Suro Joyo sambil terus melangkahkan kaki. “Apakah pengujian ini bisa membuat calon muridnya memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan sebelumnya?”
Walaupun tidak mendapatkan jawaban pasti atas pertanyaan tersebut, Suro Joyo tetap semangat menelusuri Hutan Jiwangkara. Tekatnya makin kuat untuk segera bisa berguru kepada Ki Tambung. Selesai berguru dan mendapatkan ilmu yang mumpuni, barulah Suro Joyo akan menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta Krendobumi dari tangan Badas Wikatra. Sosok pendekar dari golongan hitam, kejam, memiliki sifat menindas, dan tega melakukan apa saja demi menggapai kekuasaan.
Berkaitan dengan kekuasaan yang diperoleh dengan mengabaikan moral, Suro Joyo teringat pada hutan, rimba, atau biasa disebut alas. Ketika memasuki hutan rimba, atau rimba raya, Suro Joyo teringat hukum tak tertulis tapi ada dalam dunia persilatan. Namanya hukum rimba.
“Hukum rimba itu hukum yang tidak ada aturannya,” kata Suro Joyo dalam hati. “Hukum yang tidak ada aturannya sama saja tidak ada sama sekali. Jadi pada hakikatnya, hukum rimba itu hukum yang tanpa hukuman. Orang bebas melakukan apa saja karena tidak akan mendapatkan sanksi apa pun ketika melanggar hukum. Orang bebas melakukan apa saja di hutan belantara yang karena tidak akan mendapatkan sanksi hukum, di hutan belantara orang bebas membunuh, membantai, menganiaya, atau segala bentuk kejahatan. Semua orang bebas melakukan tindakan apa pun karena tidak bakalan kena hukuman.”
Badas Wikatra menerapkan hukum rimba. Dia merasa paling kuat, paling punya kesaktian dibandingkan pendekar lain di jagat raya. Maka Badas berani melakukan tindakan jahat, serakah, dan semau sendiri untuk merebut tahta Krendobumi. Pendekar paling menjijikkan dalam menerapkan prinsip hidupnya itu menggunakan segala cara, termasuk tipu daya untuk mendapatkan tahta. Dia berani melakukan apa saja untuk mencapai tujuan kotornya.
Waktu terus melaju. Laju waktu terasa lambat bagi Suro Joyo. Ada rasa jenuh karena kemana pun dia melangkah selalu bertatapan dengan pohon tua yang besar, umur ratusan tahun. Kadang berpapasan dengan berbagai binatang yang belum pernah dia temui di luar hutan. Para binatang itu menyingkir saat bertemu Suro Joyo. Mereka takut dijadikan mangsa. Padahal Suro Joyo tidak mungkin membunuh mereka, baik menggunakan senjata atau pun tangan kosong.
Membunuh binatang apa pun di Hutan Jiwangkara, sama saja mengundang petaka. Suro Joyo belum pernah mengetahui jenis makhluk apa yang menjelmadari bangkai atau darah binatang. Namun menurut cerita yang pernah beredar, binatang jejadian itu memiliki besar yang berlipat-lipat, buas, dan memiliki daya rusak luar biasa. Daripada menempuh risiko yang tidak kecil, lebih baik menghindari risiko itu.
Sampai sore hari, tidak ada sesuatu yang dikhawatirkan. Suro Joyo istirahat di bawah pohon besar beralaskan akar yang menjalar di tanah datar. Di dekat pohon ada danau yang airnya sangat bening. Di ujung danau kecil itu ada pancuran yang memancarkan air murni dari sumbernya.
Di sekitar pohon besar tempatnya beristirahat, Suro Joyo melihat beberapa pohon buah-buahan yang sebagiannya sudah matang. Ada buah mangga, asam, dan jambu biji. Dari susunannya, sepertinya ada yang menanam buah itu secara sengaja di sekitar sini.
”Aneh ..., kalau ini ada yang menanam secara sengaja, siapa dia?” gumam Suro Joyo dalam keheranannya. “Ah, tidak mungkin! Mana ada manusia yang bisa hidup lama di sini? Apalagi sempat menanam buah-buahan secara rapi di sekitar sini?”
Belum hilang rasa kagetnya, Suro Joyo melihat ke samping kanan. Di dekat pohon ada berbagai tanaman umbi-umbian, talas, ketela pohon, dan ketela rambat. Juga ada aneka tanaman sayur tumbuh di belakang Suro Joyo. Mulai bayam, kacang panjang, dan berbagai tanaman sayur lain ada di sekitar Suro Joyo bagian belakang. Semua tanaman itu liar, tapi berbuah lebat.
“Ini pasti ada yang menanam, atau mungkin sesekali merawatnya,” kata Suro Joyo lirih. “Siapa dia? Silumankah? Ataukah mungkin ada kera atau sebangsa kera yang mampu berpikir setara dengan manusia, lalu menanam ini semua?”
Suro Joyo hanya bisa menebak-nebak, tidak mampu memastikan. Tidak ada yang bisa diajak bicara untuk menanyakan. Tidak ada orang yang bisa dimintai penjelasan tentang keunikan yang ditemukan di sekitar pohon besar ini.
Tiba-tiba Suro Joyo kepikiran untuk memanjat pohon yang digunakan untuk berteduh sampai puncak. Dengan ilmu memanjat tebing yang pernah diajarkan Maeso Item, Suro Joyo mampu merayapi pohon besar sampai puncak dalam waktu sekejapan mata.
“Wow..., ternyata ini pohon yang tertinggi di Hutan Jiwangkara,” gumam Suro Joyo. “Ditilik dari dahan dan daun yang kuinjak, ini sepertinya sering dijamah sosok makhluk yang berdiri di sini untuk melihat pemandangan sekitar hutan. Lagi-lagi sosok makhluk itu mengundang tanda tanya besar. Makhluk itu manusia, binatang, ataukah siluman?”
Suro Joyo masih memeras otak untuk mencari jawaban atas pertanyaannya. Dia terus berpikir sambil mengamati alam raya dari puncak dahan pohon tertinggi. Dia edarkan pandangan ke segala penjuru mata angin.
Sampai malam, ketika sudah siap-siap tidur di atas dahan bagian tengah pohon, Suro Joyo belum bisa mendapatkan jawaban yang paling tepat. Atau setidaknya mendapatkan jawaban yang paling masuk akal.
“Kalau yang menanam buah, sayuran, dan umbi-umbian di bawah sana tadi siluman, rasanya tidak masuk akal,” gumam Suro Joyo. “Mereka tidak mungkin memakan makanan yang biasa dimakan manusia.”
Namun Suro Joyo juga tidak yakin yang menanam itu binatang semacam kera. “Karena kera tidak akan mampu menanam dengan susunan serapi itu. Selain itu, jejak-jejaknya akan terlihat.”
“Kemungkinan terakhir yang menanam itu manusia,” kata Suro Joyo lirih. “Kalau yang menanam itu manusia, maka dia pasti manusia pilihan. Dia pasti bukan orang sembarangan. Dia pasti seorang pendekar hebat pilih tanding. Untuk mengerjakan penanaman itu membutuhkan waktu. Dia berarti manusia hebat yang mampu bertahan di sini dalam waktu lama.”
Sampai tertidur pulas pun, Suro Joyo belum menemukan satu jawaban yang memuaskan. Semalaman Pendekar Rajah Cakra Geni itu tidur nyenyak sekali. Kelelahan tubuh dan pikiran beberapa hari sebelumnya membuat dia bisa tidur tanpa gangguan mimpi atau pun suara-suara binatang hutan yang menyeramkan.
Pagi hari terbangun ketika sinar matahari menerpa tubuhnya. Dia siap-siap turun ke bawah sana untuk makan umbi dan buah yang kemarin dia petik, disimpan dalam buntalan kain.
Naun niat Suro Joyo untuk menapakkan kaki di tanah tertunda. Di bawah sana sudah ada belasan serigala bertubuh besar yang menatap Suro Joyo dengan sorot mata tajam. Gerombolan binatang buas itu siap memangsa manusia yang berani menapakkan kaki di bawah pohon besar!
***
Giliran Suro Joyo yang kaget mendapat pertanyaan dari Tambung. Selama hidup baru pertama kali mendengar nama Braja Pakering. Suro Joyo menjadi semakin kaget karena nama itu dijadikan bahan pertanyaan. Suro Joyo bingung untuk menjawab.“Maaf, Ki,” kata Suro Joyo terbata-bata, “saya tidak tahu apa yang Ki Tambung maksud. Saya mendengar nama Ki Braja Pakering dari Ki Tambung.”“O…, begitu. Kamu ketemu Ki Pandansekti kan?”“Iya, pagi ini. Baru saja. Pokoknya belum lama tadi.”“Ki Pandansekti lebih dikenal sebagai Manusia Lumut.”“Benar, Ki. Memang wujud badannya seperti warna hijau lumut.”“Apa beliau tidak menyebutkan nama Braja Pakering?”“Tidak, Ki.”“Rupanya daya ingat beliau sudah rusak parah. Masa nama sendiri sampai tidak ingat?”“Apa Ki Tambung kenal Ki Pandansekti?”“Ki Pandansekti itu nama aslinya Braja Pakering. Beliau kakak seperguruanku di Padepokan Langit Panglon. Di padepokan itu kami pernah belajar banyak ilmu, termasuk Ajian Lontarmaruta. Bedanya, beliau berhasil menguasa
“Sekarang Kisanak membuka mata kembali!” ucap Pandansekti kepada Suro Joyo.Pendekar muda berwajah tampan rupawan itu masih setengah sadar akibat terkena semacam sengatan serangga di ujung kepala. Dia membuka kedua mata pelan-pelan. Bisa mata terbuka, wajah Suro Joyo memucat pasi! Dia sekarang bisa melihat berbagai macam makhluk halus di sekelilingnya!“Tenang, Kisanak, tenang…,” Pandansekti berupaya meredam rasa panik yang diperlihatkan Suro Joyo. “Mereka sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang hidup berdampingan dengan kita, tetapi beda alam. Mereka tidak akan mengganggu kita kalau kita tidak mengganggu keberadaan mereka.”“Mengapa mereka menampakkan diri pada kita, Ki?” Suro Joyo merasa terusik. “Apakah mereka ada niat jahat pada kita.”“Kisanak…, bukan mereka yang menampakkan diri kepada kita, tapi kita berdua punya kemampuan untuk melihat alam gaib!”“Maksud Ki Pandansekti, saya bisa melihat alam gaib? Mampu mengetahui dunia lelembut?”“Betul, Kisanak. Tapi jangan khawatir! Ada cara
“Maaf..., Kisanak siapa ya?” tanya Suro Joyo sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.“Aku Pandansekti, tinggal di tengah danau,” jawab suara yang tadi menyahut perkataan Suro Joyo.Antara percaya dan tidak percaya, Suro Joyo menajamkan pandangan mata ke tengah danau.“Mana mungkin ada manusia yang bisa hidup di bawah air?” tanya Suro Joyo dalam hati. “Manusia tidak bisa bernapas ketika berada di dalam air. Kalau ada sosok yang mengaku tinggal di tengah danau, dalam arti di dalam danau, rasanya tidak mungkin. Tidak masuk akal.”Kata hati Suro Joyo bertolak belakang dengan kenyataan yang terpampang di depan mata. Dari tengah danau muncul sosok laki-laki tua yang sudah kakek-kakek. Semua tubuhnya berwarna hijau seperti warna lumut. Semula yang muncul kepala, pundak, badan, dan kaki scrutuh. Lalu laki-laki tua itu berjalan di atas air mendekati Suro Joyo.Kakek tua yang menyebut dirinya Pandansekti itu menunduk hormat, yang langsung dibalas oleh Suro Joyo.“Selamat datang di Huta
Ada hawa dingin sedingin salju menyambar wajah Suro Joyo. Secara naluriah pendekar muda berwajah tampan itu menyadari ada bahaya yang mengancam jiwa. Hawa dingin itu khas menebar dari sosok makhluk halus. Riris Mustika!Sejak menyadari bahwa Riris Mustika bukan manusia, Suro Joyo langsung waspada. Waspada penuh, sepenuh-penuhnya. Bagaimana pun juga, Hutan Jiwangkara bukan hutan sembarangan. Apa saja bisa terjadi di luar nalar manusia. Sosok cantik menawan yang mewujud sosok Riris Mustika, ternyata siluman.Dia siluman jahat atau baik, tidak dipikir Suro Joyo. Yang penting, dia langusng siaga kalau ada sesuatu yang tak terduga menimpanya. Begitu ada hawa dingin menerpa, Suro Joyo buru-buru menjauh. Saat itu, ternyata Riris Mustika siap menggunakan ujung kuku-kuku tajam jari-jari tangan kanan untuk menusuk jantung Suro Joyo!Tusukan itu hanya mengena tempat kosong. Suro Joyo langsung jaga jarak dengan kuda-kuda kokohnya un
“Kisanak Suro Joyo..., aku memang bukan Riris Manik,” ucap perempuan berparas cantik yang berpakaian mewah layaknya putri kerajaan itu.Suro Joyo semakin dibuat kaget karena gumamannya yang lirih ternyata didengar perempuan berparas memikat itu. Dalam benaknya, Suro Joyo merasa heran sekaligus curiga. Jangan-jangan, perempuan yang masih tersenyum itu bukan manusia sembarangan.“Kalau begitu..., Putri ini siapa?” tanya Suro Joyo untuk menghilangkan rasa penasarannya.“Aku Riris Mustika,” jawab perempuan muda yang berwajah jelita itu. “Berasal dari Kerajaan Mayangdupa.”“Kerajaan Mayangdupa...?”“Iya, Kisanak.”“Baru sekarang aku mendengar nama kerajaan itu. Di mana letaknya?”“Letaknya jauh sekali dari hutan ini. Ke arah barat daya sana.”Suro Joyo berpikir keras untuk mengingat-ingat Kerajaan Mayangdupa. Namun semakin berpikir,
“Ini serigala jenis apa ya?” kata Suro Joyo agak keras untuk menggertak segerombol binatang pemakan daging yang menggeram-geram di bawah sana, berjarak sepuluh tombak. “Mengapa besarnya hampir sebesar kerbau? Apa makanan yang ada di hutan ini membuat bentuk tubuhnya menjadi lebih besar dari asal-usulnya? Warna bulunya juga hitam lebam, berbeda dari serigala pada umumnya.”Suro Joyo memperhatikan pergerakan binatang-binatang itu yang berputar-putar mengitari pohon sambil menggeram penuh nafsu memangsa calon korban. Di antara mereka ada yang menggonggong ke arah Suro Joyo seolah-olah menggertak agar mentalnya jatuh. Ketika calon korban jatuh mental, mudah sekali untuk diterkam. Dijadikan mangsa, dijadikan satapan pagi!Lidah-lidah mereka yang menjulur meneteskan liur menggambarkan nafsu makannya sangat tinggi. Pagi-pagi seperti sekarang, makhluk hidup apa pun butuh makanan untuk disantap. Sur