Share

Bu, Aku Menantu Atau Babu?
Bu, Aku Menantu Atau Babu?
Author: Yani Artan

Lelah

"May, bumbu yang sudah kamu racik, haluskan pake cobek aja. Jangan diblender." ucap mertuaku.

"Tapi ini banyak sekali, Bu. Pasti akan menghabiskan waktu yang lama jika aku menguleknya," jawabku.

Ibu mertua melirikku tajam, aku yakin dia tak setuju dengan ucapanku.

"Kalau blendernya keseringan dipakai nanti cepat rusak. Apa susahnya, sih tinggal ulek aja protes. Makanya cepetan kerjain, jangan dilihat aja kapan selesainya kalau begitu," ketusnya.

"Iya, Bu." Aku menjawab pasrah.

Aku menarik nafas panjang, kembali kuletakkan blender ke tempat semula. Membantah perintah ibu mertua sama halnya cari masalah.

Kuusap keringat yang membasahi wajahku dengan punggung tangan. Lelah rasanya tubuh ini, sedari tadi belum sempat mengistirahatkan diri.

Terdengar gema takbir di mana-mana karena besok adalah hari lebaran, dimana semua umat islam merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.

Luruh air mata ini setiap kali mendengar suara takbir yang menggetarkan hati. Dalam hati aku berdoa, semoga esok akan ada pelangi yang muncul dalam hidupku.

Kutatap racikan bumbu yang belum dihaluskan itu, rasanya berat sekali jika harus menguleknya. Apalagi tangan rasanya sudah kebas.

Kubagi sabagian bumbu itu dan menghaluskannya sedikit demi sedikit agar lebih mudah. Belum juga dapat separuh, terdengar suara Mbak Diana, kakak iparku.

Suamiku mempunyai 3 saudara lainnya. Mas Haris kakak pertama, lalu Mbak Diana anak ke-2, dan suamiku anak ke-3. Sementara yang terakhir Dikna. Mas Haris tinggal bersama istrinya di kampumg sebelah, dan Dikna pun sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah ibu mertua. Sedangkan Mbak Diana sampai sekarang masih belum menikah.

Aku dengar Mbak Diana sudah mempunyai calon tapi aku tak tahu dan tak pernah diperkenalkan dengannya.

"May ... Maya!" teriaknya.

Aku segera berlari menghampirinya, dia tak akan berhenti berteriak jika aku tak lekas menemuinya.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Gorden dan taplak meja yang aku beri kemarin udah kamu cuci?" tanya kakak iparku.

"Sudah, Mbak." jawabku.

"Yaudah nanti segera ganti gorden dan taplak yang lama dengan yang baru itu ya," perintah Mbak Maya.

Aku mengangguk menuruti perintahnya. Setelah itu aku hendak kembali ke dapur.

"Eh, mau ke mana kamu?" tanya Mbak Maya mencegahku.

"Mau ke dapur lagi, Mbak. Nyiapin bumbu rendang dan soto buat besok pagi," jawabku.

"Oh, yaudah ... eits tunggu dulu! Buatin aku es teh ya, haus nih baru pulang ngemall," ucapnya enteng.

"Iya, Mbak," jawabku.

Lalu dia kembali fokus dengan barang belanjaannya. Aku lihat Mbak Diana belanja banyak sekali. Dia memang hobi belanja pakaian dan kosmetik jadi penampilannya selalu modis. Mungkin juga sudah menjadi tuntutan pekerjaannya sebagai salah satu staf di perusahaan bonafit.

Aku berjalan perlahan, entah kenapa kaki ini sudah terasa berat melangkah. Mungkin memang aku harus segera beristirahat.

Aku segera membuatkan pesanan Mbak Diana dan mengantarkan kepadanya. Aku letakkan segelas es teh di depan meja, kulihat Mbak Diana sedang memainkan ponselnya.

Sedangkan Ibu duduk bersamanya menonton sinetron drama ikan terbang.

"May, kalau bumbunya sudah selesai lekas kamu tumis dan masukkan ke daging yang udah direbus tadi. Setelah itu jangan lupa goreng kerupuknya juga," perintah ibu mertua lagi.

Aku mengangguk menanggapi ucapan ibu mertua. Setelah itu aku hendak kembali ke dapur saat Mbak Diana mencegahku lagi.

"Maya, kue keringnya udah kamu masukin ke toples?" tanya Mbak Diana.

"Belum sempat, Mbak. Aku masih sibuk dari tadi belum berhenti sama sekali," jawabku mulai lelah.

"Alasan aja! Makanya jangan lelet, apa -apa itu kudu cepet biar lekas kelar! Besok itu banyak tamu dari teman dan sodara yang berkumpul, jangan sampai karena kerjaanmu gak beres akhirnya gak bisa menjamu mereka dengan baik," omel Mbak Diana.

"Tapi kerjaanku emang banyak banget, Mbak. Gak ada yang bantuin aku, dari pagi sampai malam begini aku belum berhenti," ucapku dengan mata berkaca-kaca.

"Eh, malah curhat! Aku gak nanya ya, jangan banyak mengeluh! Harusnya kamu itu bersyukur menjadi bagian dari keluarga ini, tinggal di rumah yang besar dan nyaman timbang di rumah reot orangtuamu itu!" Mbak Diana berdiri dengan berkacak pinggang.

"Tapi, Mbak—" Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, ibu sudah memotongnya.

"Tapi apa lagi? Seorang menantu itu memang harus berbakti pada keluarga suami, apalagi kamu masih numpang di sini jadi harus tahu diri!" imbuh mertuaku.

Kutelan ludah dengan susah payah, pahit sekali hidupku. Di rumah orangtua sendiri udah seperti anak tiri dan di sini aku dijadikan upik abu oleh keluarga suami.

Entahlah, sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini. Hatiku mulai lelah, tubuhku mulai lemah. Untuk melawan pun aku tak berani. Tak ada keluarga atau pun seseorang yang mau menerimaku lagi.

Kamu kuat, Maya! Kamu pasti bisa!" bisik hati kecilku menyemangati diri sendiri.

Ada keyakinan dalam diri ini, suatu saat pasti aku bisa merasakan manisnya hidup. Bukankah tak selamanya langit itu gelap, pasti akan ada mentari yang akan menerangi bumi.

"Maya, kamu ngapain aja dari tadi nguprek di dapur?" Mas Galih, suamiku datang menghampiriku.

"Kamu lihat aku lagi sibuk, 'kan, Mas? Tolong bantuin kerjaanku, Mas biar cepat kelar." Aku memohon pada Mas Galih karena tubuhku sudah sangat payah.

"Apa?! Aku gak salah denger kan ya, masak iya laki-laki ikutan nguprek di dapur, yang benar aja kamu!" Mas Galih menatapku sengit.

Bodoh sekali aku, kenapa mesti minta bantuan padanya padahal aku tahu dia sama saja dengan keluarganya.

Lebih baik aku fokus dan segera menyelesaikan pekerjaanku, percuma jika berharap pada mereka, sampai mulut berbusa pun tak akan ada yang mendengarkanku.

Kuselesaikan pekerjaanku dengan cepat, tak kupedulikan lagi rasa lelah dan sakit di tubuh ini. Setelah semua bumbu aku haluskan segera aku tumis dan masukkan dalam rebusan daging.

Selagi menunggu masakanku matang, aku siapkan wajan dan kuhidupkan kompor untuk menggoreng kerupuk.

Selesai sudah semua pekerjaan tepat di jam sebelas malam. Setelah semua peralatan masak kubersihkan, aku berniat segera masuk ke kamar untuk beristirahat. Sudah terbayang kasur empuk yang siap menungguku.

"May, bajuku yang buat besok pagi sudah kamu setrika, kan?" tanya Mbak Diana.

Kepalanya menyembul dari balik pintu kamarnya.

"Sudah, Mbak. Baju yang seragam itu, 'kan?" tanyaku memastikan.

"Oh, ya udah," sahutnya lalu kembali menutup pintu kamarnya.

Keluarga suamiku memang akan memakai baju seragam untuk lebaran besok. Untuk yang perempuan gamis dengan atasan brukat dan bawahan sifon, untuk lelaki batik dengan warna senada.

Setelah mematikan semua lampu ruang tamu dan ruang tengah, aku bergegas menuju kamarku.

Kulihat Mas Galih sudah tidur dengan tengkurap. Perlahan aku naik ke atas ranjang, tak ingin membuatnya terbangun karena jika ada aku di sisinya maka selalu saja dia akan banyak permintaan.

"Huft" lega rasanya, sekarang aku bisa tidur dan beristirahat tanpa ada gangguan.

Baru juga terpejam mata ini, pundakku sudah digoyang oleh Mas Galih.

"May, pijitin kakiku sebentar, dong. Capek banget ini, aku gak bisa tidur nyenyak kalau belum kamu pijitin," ucap suamiku .

"Mas, aku capek banget. Besok aja ya," sungutku.

Sungguh rasanya tenagaku sudah habis, mata juga rasanya perih karena kurang tidur.

"Maya, kamu bisa gak nurutin permintaan suami. Dari tadi kamu sok sibuk dengan dirimu sendiri, gak ada pedulinya sama suami." Mas Galih berkata dengan nada sedikit tinggi.

"Mas, apa maksudmu bicara seperti itu? Aku bukan sibuk sendiri tapi kakak dan ibumu yang menyuruhku ini itu tanpa membantu sama sekali," aku berkata dengan rasa sakit di hati.

"Jangan malah nyalahin keluargaku kamu, Mbak Diana wajar gak bisa ngerjain pekerjaan rumah, sehari-harinya dia itu wanita pekerja gak kayak kamu pengangguran!" Mas Galih berbicara meremehkan aku.

"Mas, kalau bisa memilih aku lebih suka kerja di luar dapat gaji dan dihargai daripada di rumah seperti upik abu tapi seakan pekerjaanku selalu tak dianggap," jawabku.

"Halah, ijazah SMP aja kepikiran mau kerja, paling mentok juga jadi b*bu." Mas Galih meremehkan aku.

"Apa pun pekerjaannya asal halal tak masalah, Mas," sahutku.

B*GH!

"Bantah terus kamu ya!" Mas Galih berkata seraya mel*mparkan bantal ke arahku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enggar Ponang M
babunya kucing oyen
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status