"Aku enggak pulang lagi ya malam ini, sayang. Urusanku belum selesai."
Perempuan cantik berkemeja satin itu tersenyum maklum saat mendengarkan ucapan suaminya melalui sambungan telepon. Ia memutarkan kursinya lalu beranjak duduk di sofa."Iya, enggak apa-apa, Mas. Semoga pembukaan cabang barunya lancar, ya?" jawabnya kemudian."Hmm, makasih. Aku tutup dulu, ya. Love you.""Eum, love you more."Syaila memandangi ponselnya beberapa saat setelah panggilan dari suaminya itu berakhir."Najis bucin!" Suara wanita lain menyahut. Itu Nadira, sekretaris sekaligus sahabat Syaila.Wanita dengan tahi lalat di hidungnya itu nampak muak mendengar percakapan antara Syaila dan suaminya tadi. Tidak, ia tidak iri melihat sahabatnya itu nampak mesra dengan Azka—suami Syaila. Nadira hanya merasa sahabatnya itu terlalu percaya kepada Azka."Apa sih! Lo tuh, sinis mulu kalo gue lagi sama Azka. Buruan nikah, biar enggak jadi jones! Jomblo ngenes," gurau Syaila santai diakhiri kekehan.Nadira memasang wajah sinis. Matanya mendelik persis tokoh antagonis di sinetron yang sering ia lihat di televisi. "Gue tuh bukan enggak laku. Cuma gue enggak percaya sama yang namanya cowok. Semuanya sama aja!""Azka beda. Mau apa lo?" tantang Syaila dengan wajah menyebalkan.Bola mata Nadira memutar malas. "Gini, ya bu bos Syaila. Lo tuh jangan percaya-percaya banget sama cowok. Azka enggak pulang tiga hari menurut lo dia kemana? Lo bisa jamin dia enggak macem-macem di luar sana?"Syaila membenarkan posisi duduknya. Menatap sahabatnya lekat, dengan serius. "Dalam suatu hubungan itu harus ada yang namanya kepercayaan, Nad. Gak perlu khawatir dia ngapain aja. Kalau dia tahu batasan, dia akan menjaga kepercayaan yang gue kasih sama dia.""Kalau enggak?" tanya Nadira. Perempuan itu berdehem. "Lo nyadar enggak sih, sama sikap suami lo yang seolah seenaknya sama lo? Yang katanya nganterin sekretaris nya pulang lah, nemenin sekretaris barunya ke rumah sakit buat jenguk ibunya. Lo pikir itu wajar? Terus lo oke-oke saja dia nginep lagi di sana?""Gue percaya Azka. Memangnya enggak boleh berbuat baik sama bawahan?" tanya Syaila balik. Ia menanggapi ucapan Nadira dengan santai sampai sekretaris nya itu dibuat gemas sendiri."Astaga! Lo kayaknya bukan bucin lagi sama Azka. Tapi udah di titik cinta mati." Nadira geleng-geleng kepala.Syaila bukan tipe istri yang selalu menaruh curiga kepada suaminya sendiri. Karena menurutnya, itu hanya akan membuang-buang waktu."Azka kan lagi pembukaan cabang baru. Mungkin kalau bolak balik agak repot. Gue enggak apa-apa, kok. Ini kan buat masa depan gue, anak gue, sama Azka juga," tutur Syaila dengan nada rendah."Halah! Lo sekali-sekali marah dong, Sya sama Azka. Jangan iya-iya aja. Emang dasarnya bucin si jadi begini."Tidak menghiraukan Nadira, Syaila memilih meraih remot televisi dan mengayalakannya. Ia memilih channel yang menampilkan Berita."Azka Prabakesa. Pengusaha muda itu kembali melebarkan sayapnya. Pria berusia 31 tahun itu kini membuka cabang perusahaannya yang ke tiga"Keluarga Azka memang tidak pernah luput dari media. Semenjak Syaila menikah dengan Azka pun, perempuan itu harus membiasakan diri hidup diikuti kamera. Entah, publik seolah lebih penasaran mengapa putra tunggal dari keluarga Prabakesa itu bisa sesukses itu. Terlebih, Azka memiliki wajah yang rupawan, sehingga orang-orang senang menyorot apapun yang Azka lakukan."Tuh liat, suami gue tuh kerja. Lo mah buruk sangka terus. Gue curiga lo sebenernya suka deh sama suami gue," selidik Syaila yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari Nadira."Dih! Kalo iya juga dari dulu gue rebut suami lo. Dah ah mending gue balik!" Nadira mengambil map yang tadi ia berikan untuk Syaila tanda tangani. Lantas ia membalikkan tubuhnya membuat Syaila bereaksi heran."Apa?" kening Syaila mengernyit."Kepercayaan itu sama halnya kaya hati, Sya. Lo enggak boleh kasih ke sembarang orang. Lo belum tahu sih rasanya dibohongin sama orang yang bahkan sangat kita percaya. Sakit ... Sampe rasanya gue enggak mau lagi percaya sama manusia. Kalo bisa, gue mending hidup sama gorila."Mendengar nada bicara Nadira yang seperti sebuah lelucon, Syaila terkekeh. Ia sempat melirik televisi yang menampilkan wajah suaminya dan sekretaris baru Azka. Tapi detik berikutnya, ia mematikan televisi itu."Lo enggak salah. Kepercayaan memang enggak bisa kita kasih ke sembarang orang. Tapi gini, manusia enggak bisa tahu isi hati orang lain kan? Gue, bahkan lo juga mungkin enggak tau harus kasih kepercayaan itu ke siapa. Sementara kita cuma punya kapasitas buat nilai orang dari apa yang kita lihat, denger, atau rasain.""Tapi gue liat lo cuma pake hati." Nadira meraih knop pintu di hadapannya. Melanjutkan, "Pake logika juga, Sya. Biar lo enggak sakit hati dikemudian hari." Sekretaris dari Syaila itu berlalu begitu saja selepas mengucapkan itu.Helaan napas panjang terdengar dari mulut Syaila. Ia berdiri menghadap jendela, memandang begitu sibuk nya jalan ibu kota sore itu. Tapi meski begitu, pikirannya masih kalah sibuk menerka.Ia tahu Nadira memiliki sebuah trauma terhadap laki-laki karena ayahnya. Bersyukur dia dan ibunya bisa survive kembali.Jika dipikir kembali, Nadira bukan tipe orang yang suka menuduh atau berbicara omong kosong. Syaila jadi menerka-nerka apakah Nadira mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui sehingga dia sering kali mengingatkannya untuk tidak terlalu percaya Azka?"Sebenernya lo, tuh mau ngasih tahu tentang apa sih, Nad?" gumam Syaila.Sebuah notifikasi dari ponselnya membuat lamunan Syaila harus terpaksa ia sudahi. "Oh, Azka," lirih Syaila.Pesan dari Azka yang memberitahu kembali jika lelaki itu lusa baru bisa pulang.Itu tidak masalah bagi Syaila. Yang jadi masalahnya sekarang, bersamaan nya ia akan membalas pesan dari Azka, Nadira juga mengirimnya sebuah pesan yang mampu membuat keningnya mengernyit.[Lo kalau mau tahu kelakuan suami lo kaya apa, sekarang ke Jakarta pusat ke hotel still sleep. Itu hotel punya bokap gue, mintain kunci back up nya sama resepsionis. Sorry gue enggak bisa nemenin.]Jika boleh memilih, Syaila tidak mau tahu apa-apa. Ia lebih takut kecewa dengan seseorang yang ia anggap baik. Tapi pesan yang Nadira kirim untuk ke dua kalinya membuat Syaila begitu penasaran. Sebenarnya Nadira ingin menunjukan apa padanya?[Lo harus tahu, Sya. Gue harap lo susulin suami lo. Gue gak mau temen gue dibodohin sama cowok kaya Azka. Lo enggak usah takut, gue selalu ada di belakang lo.]Untuk memastikan dan memenuhi rasa penasarannya, Syaila lantas merapikan perlengkapan pulangnya. Meraih tas dan jasnya lalu segera keluar dari ruangan yang sudah sepenuhnya gelap itu.Ia berjalan sedikit terburu-buru sehingga ujung sepatu haknya menimbulkan suara yang cukup nyaring di telingaal. Beberapa karyawan nya yang lembur saling adu pandang. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa bosnya itu terlihat sangat buru-buru. Pun biasanya Syaila akan menyapa dengan senyum lebar atau sebuah gurauan, tapi sore ini ia tidak melakukannya."Gue harus ke sana nyusulin Azka. Gue buktiin kalau omongan Nadira itu salah." Syaila tidak berhenti meyakinkan dirinya sendiri.Hatinya terlalu gundah. Ia memikirkan banyak hal kemungkinan. Ia tidak siap untuk kemungkinan terburuk nya. Doa yang ia terus lapalkan adalah, semoga Azka tidak diantara kemungkinan-kemungkinan buruk itu.Ketika mobilnya keluar dari parkiran, langit sudah sepenuhnya gelap. Kakinya menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, sebab dua jam harus ia lewati untuk menuju hotel yang Nadira katakan tadi."Gue yakin Azka bisa jaga kepercayaan gue. Iya, gue yakin," ulang Syaila. "Please jangan macet. Gue mohon .... "Beruntung sore menjelang malam jalanan lenggang. Sehingga mobil hitam yang ia kendarai dengan lancar menghantarakan keresahannya.Sampainya di tempat tujuan, detak jantung Syaila kembali berpacu, ketika ia mendapati mobil Azka ternyata ada di sana."Bukan! Bukan! Mobil yang sama seperti itu ada banyak. Iya, itu pasti bukan punya Azka." Syaila berusaha menepis pikiran buruk dalam kepalanya.Keresahan hatinya semakin membuncah, tapi pikirannya masih bisa berpikir positif. Kemudian ia keluar dari mobil menuju meja resepsionis. Butuh waktu beberapa menit untuk Syaila mendapatkan kunci back up yang Nadira maksud. Karena resepsionis itu sempat tidak percaya dengan dirinya. Beruntung Nadira meneleponnya, jadi Syaila dapat mendapatkan kunci itu.Melewati puluhan pintu kamar hotel, pintu nomor 350 akhirnya ia temukan. Kemudian setelah ia mengumpulkan keberaniannya. Syaila membuka pintu itu dengan hati-hati.Kakinya tiba-tiba merasa lemas setelah melihat apa yang suaminya tengah lakukan dengan perempuan lain. "Azka?" ucapnya gemetar.Awalnya Syaila cukup dewasa menyikapi sikap suaminya yang kerap kali terpergok sedang makan atau jalan-jalan dengan beberapa kariyawan di kantor, bahkan terakhir kali ia melihat Azka dinner bersama sekretaris barunya. Syaila tahu merasa tertarik kepada lawan jenis adalah hal yang lumrah, terlebih Azka sudah menjadi suaminya selama 13 tahun. Perempuan berusia 30 tahun itu tidak akan terlalu mempersalahkan bagaimana laki-laki yang ia cintai lebih suka di luar dibanding bersama dirinya dan anaknya di rumah.Karena menurut Syaila, rasa bosan dalam suatu hubungan itu hal biasa. Itu adalah fase yang setiap pasangan akan merasakannya.Tapi Syaila tidak menyadari, langit pun bisa berubah warna tanpa meminta persetujuan siapapun. Apalagi Azka yang notabene nya seorang manusia memiliki sifat tidak pernah puas.Mendapati suaminya tengah bermalam di sebuah hotel. Tidak lain dan tidak bukan dengan sekeretaris barunya. Ucapan-ucapan Nadira yang kerap kali ia sanggah malah ia saksikan sendiri kebena
Karena waktu terus berjalan. Syaila tidak mau membuang-buang waktunya hanya untuk menyesali kebodohannya selama ini. Sebab waktu yang sudah terbuang tidak bisa di ulang, tapi Syaila bisa memperbaikinya dimulai dari hari ini. Untuk sedikit melegakan perasaan sesak nya, Syaila sedikit membuka kaca mobilnya. Menghirup udara dengan dalam. Lalu menghembuskannya perlahan.Cuaca menjelang siang sangat bagus. Ia baru menyadarinya, kota ini begitu indah jika manusia-manusianya teratur. Memilih jalan sesuai aturannya.Trotoar dipenuhi pejalan kaki bukan motor, juga bukan mobil yang terparkir sembarangan atau sesederhana, para pengendara bersedia menunggu sedikit lebih lama meski lampu merah sudah berganti menjadi hijau karena ada seorang kakek tua masih berjalan di zebra cross dengan langkah tertatih.Sebenarnya hidup memang tidak serumit yang orang-orang bicarakan. Cukup menjadi manusia yang tahu aturan dan berjalan di jalan nya masing-masing. Tapi terkadang harapan yang mereka ciptakanlah yan
Sekali lagi, rupanya semesta tidak berpihak padanya. Syaila diam beberapa saat untuk meredakan rasa sesaknya. Di tempatnya berdiri ia menatap sang ayah dengan tatapan nanar."Aku ... Aku enggak pernah kepikiran sebelumnya kalau aku akan dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit ini," katanya. Air matanya masih senantiasa menetes, sampai beberapa kalimatnya terdengar tidak jelas karena bibirnya bergetar tidak sanggup untuk berkata."Tapi kalau ayah memang maunya kaya gitu, aku akan pergi dari sini. Tenang saja, aku enggak akan balik lagi. Ayah bisa hidup tenang dengan bisnis ayah. Dan, tolong jaga mama. Jaga kesehatan kalian juga.""Nak ...," lirih Yunita. Wanita itu turut meneteskan air mata."Enggak, Ma. Lia enggak mau jadi perempuan yang tunduk sama suami yang salah. Azka bahkan enggak nyamperin aku buat minta maaf. Sudah jelas, perbuatannya enggak pernah ia sesali. Dan kenapa aku harus nahan orang yang bahkan enggak mau hidup sama aku lagi? Ayah atau mungkin mama belum percaya sa
Siang ini Syaila mempunyai janji untuk bertemu dengan pengacara yang akan mendampingi sidang perceraiannya nanti.Di sebuah kafe yang lumayan terkenal di ibu kota, wanita cantik dengan paras mengintimidasi itu sekarang duduk. Ia sudah menghabiskan setengah gelas kopi yang ia pesan, namun orang yang ia tunggu tidak kunjung datang. "Nadira jadi enggak, sih! Bawa pengacara kenalannya itu," decak Syaila. Matanya mengedar ke setiap sudut kafe berharap sang sahabat muncul membawa pengacara yang Nadira bicarakan tempo hari.Beberapa saat setelahnya, ketika Syaila sibuk dengan ponselnya berusaha menghubungi Nadira, sahabatnya itu muncul dengan senyum lebar nampak merasa bersalah."Sorry, tadi gue sama Pak Ferdi mampir buat sarapan dulu hehe."Lantas mereka duduk. Walaupun ekspresi Syaila masih tidak mengenakan. Karena kesal sudah lama menunggu."Sya, kenalin ini Pak Ferdi pengacara yang waktu itu gue ceritain," buka Nadira.Laki-laki dengan stelan formal itu tersenyum ramah. "Saya Ferdi Ghan
Selepas pulang dari kafe Syaila dikejutkan dengan semua barang-barangnya yang sudah berserakan di teras depan rumahnya, pun dengan Geino yang sedang memangku tas ransel. Buru-buru ia menghampiri sang putra dengan napas tersenggal."Ada apa ini? Kenapa semuanya di luar?" tanya Syaila pada Geino.Anak itu tidak bereaksi apapun, wajahnya masih datar seperti biasanya. "Geino! Jawab mama," sentak Syaila."Tadi ada banyak orang datang. Terus mereka bilang kita harus segera pergi dari sini karena ini rumah kakek," jelas Geino.Mendengar itu Syaila menunduk dalam. Menatap beberapa bajunya yang sudah kotor di lantai. Dadanya tiba-tiba sesak, ia tidak menyangka sang ayah yang selama ini ia hormati tega melakukan ini padanya. "Kita ke rumah papa aja, Ma. Aku juga mau ketemu papa," usul Geino ditengah keheningan.Dengan amarah yang meluap Syaila menoleh. "Enggak! Mama enggak sudi pulang ke rumah papa kamu. Kita ke rumah Mba Nadira saja. Bereskan semua barang-barang kamu."Geino sampai tersentak
Sore itu, suasana teras rumah Nadira berubah menegang karena kedatangan Azka yang tidak diduga. "Kamu jangan larang aku ketemu sama Geino, dia anak aku juga," ucap Azka. Bicaranya memang setenang itu, namun Syaila tahu, laki-laki itu sedang menekannya sekarang."Mending lo pergi aja dari sini. Lo ngerti kan kenapa Syaila bersikap kaya gini sama lo? Gue disini memang ngebela Syaila, tapi terlepas dari itu, coba intopeksi diri dulu dan balik kalau otak lo udah bener." Nadira ikut bersuara. Mulutnya tidak tahan lagi melihat ekspresi tidak bersalah Azka. Ia bahkan berpikir untuk meninju rahang suami sahabatnya itu—ah, akan menjadi mantan suami—dengan pengalaman juara dua taekwondo tingkat nasional dulu. Namun akal sehatnya masih berjalan. Ia bisa dituntut untuk hal itu.Diantara suara adu mulut yang tidak berhenti, suara dari belakang pungung Syaila mampu membuat perdebatan antar orang dewasa itu tertahan. Nadanya yang datar juga dingin. "Kenapa ribut-ribut? Bisakah kalian bertengkar den
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Syaila diam beberapa saat. Namun saat ia tidak sengaja saling adu pandang dengan Maya, yang rupanya turut hadir menyaksikan persidangan ia langsung menjawab tanpa berpikir lebih panjang."Saya yakin! Saya juga menolak untuk mediasi. Sebab saya pikir, diantara kami tidak perlu ada lagi yang harus diperbaiki."Semua orang yang ada di sana bereaksi terkejut, termasuk Ferdi yang duduk mendampingi nya langsung menoleh."Bukan hanya perihal tentang ketidak cocokkan lagi. Masalahnya ada pada dia." Syaila menoleh ke arah Azka. "Saya tidak mau hidup bersama orang yang telah mengkhianati pernikahannya sendiri."Suasana persidangan mendadak menegang. Wajah Azka merah padam. Bahkan keluarga Azka tidak terima dengan pernyataan yang Syaila lontarkan barusan. Mereka saling berbisik jika Syaila hanya berbicara omong kosong mencari pembelaan.Tiga hakim saling berbisik, tidak kalah menegangkan saat menunggu putusannya. "Baik jika begitu, sepertinya upaya mediasi ti
Pukul sembilan pagi, Syaila sudah duduk menghadap hakim untuk mengetahui putusan terakhir atas perceraiannya. Tidak seperti Minggu sebelumnya, hari ini Azka tidak hadir dalam persidangan hanya diwakilkan oleh pengacaranya. Itu tidak masalah bagi Syaila, justru jika pihak terkait tidak hadir akan memudahkan jalannya persidangan. "Demikian sidang pembacaan putusan hari ini, tujuh Desember 2022. Sidang saya tutup." Hakim ketua mengetuk palu tiga kali.Hari ini Syaila resmi menjadi janda. Ia bukan lagi istri dari Azka Prabakesa, laki-laki yang selama ini ia cintai. Putusan sidang perceraiannya membuat dada Syaila sedikit lenggang. Ia menghirup udara dalam dalam seraya terpejam. "Gue harus percaya sama diri gue sendiri," ucapnya.Di depan gedung pengadilan itu, Syaila tersenyum simpul. Ia menatap tulisan yang diukir besar di atas gedung. Ia harap setelah ini ia tidak akan kembali lagi kemari."Saya sudah mengajukan untuk harta gono-gini. Siapkan dan sertakan dukumen yang akan mendukung