POV Nasha
Tarik nafas hembuskan...Tarik lagi... Hembuskan ...Diusia kehamilan yang mulai menginjak 8 bulan ini, aku mudah merasa lelah. Maklumlah kan bawa dua. Ukuran perut sudah melebar kemana-mana. Seina sendiri sedang cuti. Usia anaknya hampir 2 bulan, anaknya cowok.Sekarang aku diantar oleh Ayah kalau berangkat kadang sama Mas Rayyan. Gak boleh naik motor lagi pokoknya. Iya sih bahaya soalnya. Mas Rayyan sangat overprotektif pada kami. Sempet merasa gak enak karena di awal-awal kehamilan sudah bikin dia nelangsa sekaligus merana. Hahaha.Ya mau gimana lagi bawaan anak. Hehehe. Alhamdulilah masuk trimester kedua sudah mulai berkurang kadar sebelnya, urusan biologis Mas Rayyan pun tersalurkan. Gak mau yah aku jadi istri durhaka. Hihihi."Masih ada pasien gak Sus?" tanyaku."Sudah gak ada Dok. Ih... Sebentar lagi ya Dok. Gak nyangka aja udah 8 bulan," ucap Suster Mira sambil mengelus perutku."Iya ini Sus.""Cowok apa cewek, Dok?"POV RayyanAku merebahkan tubuhku lelah sekali. Aktivitasku benar-benar padat, Margono, Wiradadi dan Unsoed. Aku bahkan jarang menemani Nasha. Padahal kandungannya hampir memasuki 36 Minggu. Kata Prita untuk sementara ini tak ada masalah dengan si kembar. Nasha bisa melahirkan normal, dan setelah berunding dengan keluarga besar dan bagaimana kesiapan Nasha kami memutuskan Nasha melahirkan normal."Capek Mas?" istriku datang sambil membawakan kopi. Aku harus lembur memeriksa hasil ujian para mahasiswaku. Sehingga aku butuh kopi."Iya capek. Maafin Mas ya? Mas jarang ada waktu untuk kalian. Semester ini kontrak dengan Unsoed habis sedangkan dengan Wiradadi masih setahun lagi. Mas mau fokus di Margono saja," ucapku."Gak papa Mas, insya Allah capeknya Mas jadi ibadah dan pahala bagi Mas. Kalau Mas memudahkan urusan semua orang. Nanti jadi jalan buat kelancaran kelahiran si kembar.""Amin." Aku merebahkan kepalaku pada paha istriku. Sesekali mengecup perutnya da
POV Nasha"Leo?" aku yang baru saja selesai praktek kaget melihat kehadiran Leo."Kamu sibuk gak Na?"Aku menggeleng."Bisa kita ke rumah Jeni.""Kenapa dengan Jeni, Le?""Kata ibunya dia sudah tiga hari mengurung diri di kamar.""Apa? Ya udah aku chat suami sama Ayahku dulu."Setelah mendapat ijin dari Mas Rayyan dan menghubungi Ayah kalau aku pergi dengan Leo, kami pun segera menuju rumah Jeni.Kami disambut Tante Joana. Oh iya, keluarga Jeni itu mualaf dan berdarah Tionghoa."Masuk dulu yuk. Wah gimana kabar si kembar di dalam?" tanya Tante Joana sambil mengusap perutku."Alhamdulillah sehat Tante."Kami pun masuk dan duduk di ruang tengah. Tante menceritakan keadaan Jeni sebelum mengurung diri di kamarnya. Katanya Jeni jadi seperti ini setelah seminggu yang lalu bertemu dr. Wijaya di klinik. Dari Tante Joana kami tahu bahwa Jeni akan bertunangan dengan dr. Wijaya bulan depan. Awalnya keduanya setuju. Namun, Jeni tiba-ti
Tiga hari lamanya Mas Rayyan tak sadarkan diri. Aku menginap di rumah kenalan Papah, rumahnya dekat dengan Orthopedi. Percuma aku bersikukuh menunggu Mas Rayyan di rumah sakit. Karena seluruh keluarga pasti menolaknya. Terlebih lagi ada si kembar dalam perutku. Aku tak boleh egois. Jadi aku hanya menunggunya ketika pagi hingga sore hari.Seperti hari ini, dengan setia aku menemaninya di ruang ICU. Aku menggenggam tangan kanannya. Sesekali mengecup mesra."Lihatlah Mas, bahkan si kembar tahu kalau aku sedang bersama Ayahnya. Bangunlah Mas, aku merindukanmu, jahili aku seperti biasanya, cubit pipiku, peluk diriku, tolong jangan tinggalkan aku," ucapku lirih disamping telinganya. Air mata terus menetes di pipiku, kuusap lembut kepalanya, kucium mesra pipinya."Kenapa kamu diam Mas? Bahkan sedikit suara atau gerakan saja kamu akan terbangun. Kenapa sekarang tidak? Hiks... Hiks..." sekali lagi kuelus kepalanya dan kucium mesra keningnya.Tak bosan aku bersuara.
Tepat satu minggu, Mas Rayyan masih belum sadarkan diri. Aku rutin mengunjunginya setiap hari dan menemaninya sampai sore. Tiga hari ini aku sudah mulai merasakan kencang-kencang pada pinggang dan perutku. Aku tahu ini kontraksi palsu. Aku rajin berjalan-jalan selama menunggui Mas Rayyan.Hari ini aku ditemani Mamah dan Rania.Raisa tadi pagi menengok kakaknya sebentar, bagaimanapun dia juga punya anak kecil yang masih butuh dijaga. Jadi tak bisa ikut menjaga kakaknya."Gimana Na? Masih suka kenceng-kenceng gak?""Masih Mah.""Kontraksinya sehari berapa kali?""Cuma pas malem sama pas pagi aja Mah.""Owh, Keluar lendir atau flek gak Sayang.""Enggak Mah.""Mamah jadi inget, waktu lahirin Rayyan gampang banget. Waktu itu Mas Surya lagi di Jakarta. Mamah cuma sama pembantu. Waktu itu Mamah panik banget tapi berusaha tenang. Alhamdulillah pembukaannya cepet," kenang Mama.Namun, mata Ibu mertuaku berkaca-kaca."Di
Aku tengah berbaring miring ke arah kiri menikmati rasa sakit akibat pembukaan jalan lahir. Sudah lima jam aku menahan sakit yang luar biasa. Ibu dengan setia menemaniku. Saat air ketubanku pecah, Mamah langsung membawaku menuju Margono bersama Rania. Papah Surya yang akhirnya menjaga Mas Rayyan bersama Michael, suami Raisa."Istighfar sayang." Ibu terus menyemangatiku."Iya Bu.""Ibu usap-usap ya?""Iya Bu."Ibu terus mengusap-usap punggungku. Terasa nyaman sekali, sedikit mengurangi rasa sakit yang kurasakan. Kulihat wajah ibuku yang terlihat khawatir namun berusaha tegar dihadapanku.Dokter Prita kebetulan sedang bertugas sehingga aku langsung bisa ditangani olehnya."Mbak cek dulu ya Na?""Iya Mbak." Mbak Prita langsung mengecek sudah masuk bukaan berapa."Sudah jalan tiga, Na. Tahan ya. Biasanya cepet kalau sudah begini.""Iya Mbak.""Aku ngecek pasien yang lain dulu ya Na," ucapnya.Aku hanya bisa mengangguk, te
POV RayyanBrakkk... Blummm... Brakkk."Nasha..."Aku membuka mataku, aku masih di dalam mobil. Posisi mobilku terbalik ke kanan. Area bahu kananku sakit, sepertinya ada yang patah mungkin tulang selangka. Rembesan darah keluar dari area kepala bagian kananku. Mungkin karena terkena serpihan kaca. Nafasku agak tersendat. Beberapa orang berusaha membalik mobilku, aku mendengar mereka bersuara walau samar. Nasha... Hanya nama istriku yang kuingat. Ya Allah kalau aku boleh meminta, beri aku kesempatan untuk bersamanya sampai aku tua.Aku merasakan tubuhku ditarik oleh beberapa orang."Mas, Mas bisa dengar gak?""Mas, astaghfirullah Masnya terluka.""Hati-hati.""Pelan-pelan nariknya.""Kamu coba pegang yang sana!"Aku hanya bisa mendengar percakapan mereka tanpa mampu menjawab. Mereka bergotong royong mencoba mengeluarkanku dan berhasil. Beberapa orang mengangkatku dan membawaku menuju mobil bak terbuka yang entah mereka dapat dar
POV NashaDua hari aku dirawat di rumah sakit. Setelah dicek keadaanku dan si kembar kami akhirnya pulang menuju rumah kedua orangtuaku. Sebelumnya kami mampir sebentar ke Orthopedi dengan mengajukan ijin menemui suamiku. Untung nama Mas Rayyan kategori dikenal oleh rekan sesama dokternya dan pihak rumah sakit pun mengijinkan.Tangis bahagia Mas Rayyan tak dapat dibendung, karena belum bisa bergerak leluasa si kembar hanya bisa ditaruh dalam dekapan sang Ayah bergantian. Begitupun denganku yang memeluknya mesra sebagai tanda kerinduan.*****Malam nanti acara akikah dan pemberian nama kedua putraku. Usia si kembar sudah seminggu. Keadaan Mas Rayyan sedikit membaik. Tangan kirinya sudah leluasa digerakkan sedangkan bahu kanannya harus menggunakan shoulder support.Mas Rayyan berubah menjadi bayi tua manja. Sebentar-sebentar meminta Rania meneleponku. Aku yang tengah sibuk mengurusi si kembar kadang tidak mengangkat teleponnya. Dan dia jadi marah-marah."
17 Tahun Kemudian"Mah, mana sepatu Royyan?""Mah, lihat buku Reihan gak?""Mah, kucirin rambut Fiqa.""Dek. Kamu lihat dasi warna biru punyanya Mas gak?""Nyam... Nyam... Nyam... Agi... Agi... Nak... Nak."Aku menghembuskan nafasku. Teriakan empat orang terkasihku sudah menggema rupanya. Inilah drama pagiku setiap hari. Padahal setiap malam aku sudah memastikan semua keperluan mereka tanpa sedikitpun yang terlupa. Tetapi pada prakteknya selalu begini."Roy, sepatu kamu di teras depan dekat pot bunga, kamu kemarin lupa asal naruh disana," teriakku."Rei, buku kamu ada di nakas dekat televisi, kamu tadi malam bawa kesana sambil nonton TV.""Mas, dasi Mas Rayyan ada di laci nomer dua.""Fiqa sini Nduk, ambil sisir, gelang karet sama jepitannya.""Oke Mah," seru semuanya kompak.Aku pun melanjutkan menyuapi Fina yang masih berusia tiga tahun. Anak keempatku yang kehadirannya tidak kusadari. Aku pikir aku gak baka