Share

Bab 5

Author: Ricny
last update Last Updated: 2023-01-30 20:21:06

"Bu, bagaimana kalau Elia lihat Mas Nata dulu?" Aku meminta izin.

Calon ibu mertua mengangguk. Sedikit ragu, namun kupaksakan kaki melangkah ke sana.

Aku hanya berani berjalan sampai di bibir pintu, dari sana aku sudah dapat mendengar dan melihat sendiri Mas Nata sedang memarahi bahkan nyaris sedang memaki-maki anak lelakinya itu habis-habisan.

Aku menarik napas berat, entah mengapa Mas Nata harus melakukan hal itu? Padahal semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Apakah ini perangai calon suamiku yang sebenarnya? Hatiku jadi makin ciut dan takut, pasalnya aku tidak pernah membayangkan akan punya seorang suami dengan watak yang keras seperti itu.

Aku mengusap dadaku, segumpal daging di dalamnya tengah berdetak hebat tak beraturan.

"Avin!!"

Aku terperanjat mendengar Mas Nata berteriak sambil melayangkan tangan kanannya ke atas, sejurus dengan itu kakiku refleks berlari ke arahnya dan menahan tangan itu agar tidak mendarat di pipi Alvin.

"Apa-apaan ini, Mas? Tidak perlu seperti ini pada anak-anak," ucapku menatapnya tajam.

Brakk. Kukembalikan tangan Mas Nata ke tempatnya.

"Sudah diam! Kau tak perlu ikut campur," sentaknya membuatku lagi-lagi terperanjat hebat.

"Tapi, Mas-"

"Diam," potongnya. Mendadak mulutku bungkam.

Dan Alvin kulihat juga tengah menghujaniku dengan sorot yang menusuk, kerling kecil serupa kelereng itu seperti ingin menerkamku andai ia bisa.

"Semua ini gara-gara kamu!" semburnya kemudian.

Aku terhenyak bebas, rasa sakit ke ulu hati lagi-lagi menusuk begitu saja.

"Alvin!" Mas Nata kembali mengangkat tangannya.

"Mas sudah cukup!" teriakku kencang.

"Biarkan saja, anak kurang ajar, tidak tahu sopan santun," pekiknya, emosi Mas Nata semakin meluap-luap.

Plakk.

Tamparan itu akhirnya benar-benar mendarat di pipi Alvin, terdengar keras sampai spontan aku membekap mulutku dengan tangan kananku.

"Mama ... Papa jahat," ringis Alvin sambil memegangi pipinya yang memerah. Anak itu menangis dan segera menelungkupkan diri ke atas kasur.

Aku kembali menghela napas panjang.

"Mas, aku perlu bicara sama kamu."

Aku menarik tangan Mas Nata keluar dari kamar Alvin dan membawanya ke balkon.

"Mas, kamu tidak perlu seperti itu sama anak-anak, itu namanya kamu sudah melakukan kekerasan terhadap mereka, bukan hanya fisiknya saja yang kamu sakiti tapi juga mentalnya akan hancur, Mas," tegasku.

Entah dari mana aku tahu semua itu, meski aku belum melahirkan seorang anak naluriku tiba-tiba saja berkata demikian.

Aku setuju jika Alvin sedikit kurang sopan padaku tapi aku sangat memakluminya dan aku benar-benar tidak suka dengan perlakuan Mas Nata pada anak-anaknya itu.

"Kamu belum tahu bagaimana anak-anakku, cara mendidik mereka itu memang harus keras agar mereka mau tunduk dan patuh padaku," tampiknya, Mas Nata kemudian memalingkan pandangannya pada jalanan yang masih ramai lalu lalang kendaraan.

"Tidak selalu begitu, Mas. Kalau anak-anak selalu dididik dengan cara yang keras, kasihan mereka, bagaimana kalau mereka ternyata tidak sanggup menerimanya, setiap anak lahir berbeda-beda, bagaimana bisa kamu sama ratakan cara mendidik mereka?"

Aku bicara amat pelan, aku harap pria di sampingku ini akan tersentuh hatinya dan memahami semua maksudku. Tapi ternyata aku salah, Mas Nata malah berbalik menghardik alih-alih menerima omonganku.

"Kau tidak usah banyak mengatur, aku membawamu kesini agar kau bisa menjadi ibu yang baik buat mereka, tapi kau tidak bisa mengatur bagaimana cara aku mendidik mereka. Ingat, pernikahan ini bukan didasari karena aku mencintaimu melainkan karena aku dan ibuku membutuhkanmu untuk anak-anakku, jadi tolong urus mereka saja, bukan aku," pekiknya.

Mas Nata lalu pergi ke kamarnya tanpa memberi aku waktu untuk bicara lagi.

Aku menarik napas panjang, ya Allah bagaimana bisa aku akan menikah dengan lelaki yang hanya membutuhkan tenagaku saja?

-

Setelah berdiam sebentar di balkon, aku segera turun untuk beristirahat. Meski sebenarnya mata ini belum mengantuk tapi karena semua orang tampak sudah masuk ke kamar masing-masing, mau tak mau aku juga harus masuk dan beristirahat.

Di kamar pikiranku gelisah, membayangkan kembali rentetan kejadian sejak tadi sore aku datang ke rumah ini, begitu banyak hal yang aku lewati meski baru beberapa jam saja aku di sini.

Sekarang aku malah sedikit ragu apakah aku mampu menjadi anggota keluarga ini? Apa aku bisa hidup bersama seorang pria tempramen dan dingin seperti mas Nata? Aku sedikit menggigit bibirku.

Tring.

Ponselku dering, sebuah panggilan masuk dari ibu.

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumsalam, Lia bagaimana semuanya? Apa baik-baik saja? Kamu belum menelpon Ibu sejak tadi siang berangkat ke sana," cecar Ibu.

"Baik Bu. Hanya saja ...."

Aku sengaja tak melanjutkan ucapanku, entah mengapa tiba-tiba rasanya aku jadi tak bersemangat saat mengingat sikap Mas Nata.

"Kenapa? Calon Ibu mertuamu baik 'kan?"

"Baik Bu. Hanya saja anak-anak Mas Nata seperti belum siap menerima Lia," jawabku lesu.

"Oh itu sih wajar, Ibu pikir kenapa. Tidak apa-apa Nak, semuanya juga butuh waktu, kamu yakini saja bahwa dirimu itu bisa, lakukan yang terbaik dengan niat yang baik, Insya Allah semuanya akan berjalan lancar atas Ridho Allah," ujar Ibu di jauh sana, beliau tak putus asa terus memberiku semangat.

"Inget loh, Nak. Usiamu hampir kepala 3, jangan sampai kali ini gagal lagi, Ibu akan sedih kalau kali ini kamu gagal lagi."

Nyesss, seketika hati terasa ngilu, lagi-lagi ibu bicara seperti itu. Sekarang kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Bisa atau tidak aku harus tetap mencoba dan memaksa diriku agar tetap di sini dan melanjutkan pernikahan bersama Mas Nata.

"Ya sudah, kamu istirahat gih, nanti waktunya sahur kamu bangun lebih awal, siapin makan sahur untuk calon keluargamu, assalamuakaikum," tutup beliau, diakhiri ucapan salam.

"Iya Bu, wa'alaikumsalam."

Aku mematikan ponsel, untung saja tadi ibu mengingatkanku soal makan sahur, saking peningnya kepalaku ini aku hampir lupa kalau sekarang adalah bulan Ramadhan.

***

Alarm di ponselku berbunyi di jam 2 pagi.

Aku segera bangkit mengambil air wudhu, sebelum bertempur di dapur aku melaksanakan sholat tahajud dulu.

Aku tahu setiap pertemuan bukanlah sebuah kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Allah, hari ini mungkin aku masih merasa ragu pada diriku sendiri karena Mas Nata dan anak-anaknya terlihat belum menerimaku, tapi aku bisa meminta semuanya pada Allah, bukankah Allah yang maha membolak balikan hati manusia? siapa yang tahu esok mungkin berbeda.

Yang jelas aku yakin semua yang terjadi pada hidupku ini adalah murni karena rencana Allah yang ingin mengajarkanku banyak hal agar aku bisa mengambil banyaknya pelajaran dari persitiwa demi peristiwa yang Ia berikan padaku.

Aku bersujud lebih lama di saat sujud terakhirku, aku tak meminta banyak, aku hanya pasrahkan urusan dunia ini pada-Nya. Apapun ya Allah berikan padaku maka itulah yang terbaik.

"Ya Allah, aku pasrahkan semuanya, semua urusan dunia ini, aku tidak ingin tersesat dalam mengarunginya dan tolong kuatkanlah bahu," ucapku dalam hati.

Hanya butuh waktu 20 menit, aku sudah selesai shalat. Aku segera menuju dapur untuk menyiapkan makan sahur. Kulihat dapur masih sepi, bibik rupanya belum bangun di jam ini. Sebenarnya tanganku masih sakit bahkan sekarang sudah terlihat bengkak di bagian yang tadi terkilir, tapi tidak apa-apa, aku rasa aku masih bisa kalau hanya untuk sekedar memasak.

"Nyonya, sudah bangun? Aduh maaf Nyah, saya malah keduluan." Bibik segera mengambil tugasnya, tampaknya beliau merasa tak enak hati karena aku sudah berada di dapur lebih awal.

"Tidak apa-apa Bik. Saya juga baru ke sini."

"Ya tetap tidak bisa, Nyonya. Lagipula Nyonya ini kenapa harus bangun jam segini? Semuanya 'kan sudah ada yang atur, masakpun sudah menjadi kewajiban saya, kenapa Nyonya harus repot-repot?"

"Siapa yang repot? Saya memang terbiasa kok, Bik."

Tak lama saat kita sedang asik memasak kudengar suara pintu rumah terbuka, aku pikir siapa yang masuk ke dalam rumah malam-malam ternyata Ayyara.

Anak itu tampak baru pulang entah habis dari mana. Aku memandangi gadis itu lamat-lamat, pikiranku tiba-tiba saja teringat akan hal buruk. Anak gadis pulang menjelang pagi begini apa tidak apa-apa? Mas Nata apa tidak melarangnya? Habis dari mana dia?

"Dari mana, Yar?" tanyaku kemudian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 103

    Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 102

    "Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 101

    Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 100

    Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 99

    "Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 98

    "Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 97

    "Ya terserah bagaimana baiknya saja, Mas." Aku membalas lesu."Ya sudah, biar cepat kelar, aku tutup dulu teleponnya ya.""Ya, Mas."Tut.Lesu lagi, ah tahu bakal begini kemarin saja aku ikut pulang.Tok tok tok."Masuk.""Nak, sarapan dulu, itu nasinya sampe udah dingin gitu loh.""Ya Bu, Elia nanti ke meja.""Loh tidak sekarang? Sudah siang loh."Aku menggeleng lesu. Ibu masuk lalu duduk di dekatku."Kenapa toh, Nak? Seperti sedang sedih, tumben, oh apa ada tetangga yang ngomong macem-macem lagi?""Tidak Bu, Elia hanya sedang malas."Lanjut aku cerita pada ibu soal asisten barunya Mas Nata, ibu ketawa-ketawa saja saat mendengar ceritaku, entah kenapa, apa iya aku terlalu berlebihan."Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja sekarang Nak, tidak perlu nunggu dijemput, Nata sedang sibuk bantu pindahan 'kan? Kamu kasih dia kejutan.""Hah? Apa perlu begitu, Bu?""Ya daripada di sini kamu tidak tenang lebih baik kamu pulang 'kan?"Benar juga apa kata ibu, ah tapi ...."Sudah, ayo Ibu antark

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 96

    "Ya Nyonya, Hana, asisten baru Tuan Nata, sudah 3 hari dia kerja di sini, dia yang urus semua keperluan Tuan Nata dan Nyonya besar, memangnya Tuan Nata tidak cerita?" Bibik bertanya di akhir kalimatnya.Ah aku jadi bingung sendiri, sebagai istri kenapa aku tidak diberitahu soal ini? Memang saat di rumah ibuku kami menyarankan agar Mas Nata mencari pekerja baru untuk membantunya, tapi aku tak menyangka Mas Nata tidak cerita soal ini padaku.Tidak tidak tidak, pikiranku jangan ngaco pelace, mungkin saja Mas Nata hanya lupa mengabari, aku tidak boleh suudzon dulu."Oh ya sudah kalau begitu, makasih ya, Bik.""Ya Nyonya, selamat malam.""Ya, Bibik juga selamat istirahat ya."Tut. Ponsel kumatikan. Aku kembali gusar sampai semalaman tak bisa tidur karena penasaran, kira-kira apa alasan Mas Nata sebenarnya tidak menceritakan soal asisten barunya itu? Ah aku jadi mikir kemana-mana, nama asistennya Hana, itu artinya dia wanita, apa wanita itu cantik? Bagaimana kalau benar cantik? Apa jangan-

  • Bukan Ibu Tiri Negeri Dongeng   Bab 95

    Aku mematung. Ya memang benar, kepercayaan Mas Nata padaku adalah hal yang terpenting, tapi saat orang-orang di sekeliling jadi sering menghakimi begini, lama-lama aku jadi tidak tenang juga, aku benar-benar terganggu dan jadi sedih berkepanjangan akhirnya."Sudah jangan sedih lagi, sekarang kamu istirahat saja," ucap Mas Nata lagi.Aku mengangguk.Baru saja aku akan menarik selimut yang diberikan Mas Nata, suara kegaduhan terdengar di luar."Berani-beraninya kalian ngegibahin anak saya ya, mulut kalian itu emang perlu sekali dilakban rupanya!" teriak Ibu."Eh Bu Wening kok marah? Padahal memang begitu kenyataannya 'kan?""Kenyataan apa? Kalian saja yang gampang terhasut sama perempuan tua itu, si Safitri jelantah minyak!""Ya terus kalau semua itu gak bener kenapa sampe harus dihukum arak itu si Lia? Lagian gak mungkin juga Bu Safitri maen fitnah kalau gak begitu kenyataannya, masa dia tega sih sama si Aslan anaknya sendiri.""Bener tuh, emang dasar Bu Wening mah beda aja sama Bu Safi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status