Leana termenung dengan air mata yang sudah mengering. Perempuan itu memejamkan mata ketika merasakan kepalanya berdenyut sakit, setelah ibunya mengutarakan tujuannya. Leana hanya sanggup mengiyakan. Padahal tabungannya sudah habis untuk membayar hutang ibunya dan biaya sekolah Arsen.
"Di mana aku bisa dapat uang sebanyak itu?" bisiknya pelan. Leana mengambil ponselnya di atas nakas. Setelah dua hari lamanya, akhirnya benda pipih itu kembali ke tangannya. "Ya Tuhan!" Leana menutup mulutnya kala melihat puluhan pesan dari rekan kerjanya, dan yang paling mencolok adalah pesan dari, Sagara──kepala divisinya──dikirim lima jam yang lalu.[ Leana, saya tunggu feedback dari kamu. Jika kamu tidak kunjung masuk kerja, dan menjelaskan semuanya. Maka saya tidak bisa membantu lagi.][ Kemungkinan besar kamu akan dipecat.]Ke esokan harinya, Leana bergegas menuju kantor tempat dia bekerja. Perempuan itu sangat ketakutan sekarang, dia ceroboh dan bodoh. Jika sampai dipecat, mungkin ibunya akan murka kepadanya. Di mana lagi bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan untuk ukuran lulusan sekolah menengah atas seperti dirinya?"Astaga!"Leana meringis ketika melihat sang atasan memegang dadanya, Sagara mungkin terkejut karena melihatnya pagi-pagi seperti ini sudah ada di depan pintu ruangannya. "Kamu ini, untung saja saya tidak ada riwayat penyakit jantung!" Leana hanya bisa menunduk sembari meminta maaf." Jadi, bisa kamu jelaskan alasan kamu tidak masuk kerja?""Sa−saya ada urusan mendadak, Pak. Mohon maaf karena saya ijin tanpa mem—""Itu bukan ijin, tapi meliburkan diri!" potong Sagara cepat, membuat Leana seketika bungkam. "Ya sudah, lanjutkan."Leana berdehem sejenak. "Siap, Pak. Saya salah, tidak seharusnya saya ij—maksud saya meliburkan diri. Jika boleh, potong gaji saya saja, Pak. Asalkan jangan pecat saya.""Kamu mengatur saya?""Tidak, Pak. Saya tidak mungkin berani mengatur, Bapak.""Ya sudah, saya ajukan SP 3 saja, ya?""Jangan!" teriak Leana tanpa sadar."Kamu tidak terima? Memang, ya. Pusing sekali mempunyai tim modelan kamu ini!"Leana mengatur nafas sembari memejamkan mata pelan, jangan sampai dia terpancing emosi karena kepala divisinya yang bermulut pedas dan tak dapat disaring."Pak, saya mohon. Untuk kedepannya saya berjanji tidak akan melakukan hal seperti ini lagi," pinta Leana dengan nada memelas, tak peduli seperti apa tanggapan Sagara terhadapnya. Yang jelas Leana benar-bener membutuhkan pekerjaan ini."Susah sekali melihat orang memohon-mohon. Ya sudah, jika begitu saya ajukan SP 1 saja, dan tidak ada bantahan!"Leana tersenyum lebar, kedua lesung pipinya semakin terlihat jelas. Membuatnya begitu manis dan imut secara bersamaan."Terima kasih banyak, Pak! Terima kasih!""Hm, balik ke meja kamu sana. Jangan terlalu lama di sini, nanti ada gosip miring. Saya ini tampan dan mapan, bukan tidak mungkin kamu memanfaatkannya."Sangat percaya diri, bukan? Leana menahan mual dibalik senyum manisnya. Lantas dia pun bergegas pamit menuju ruangannya."Lele! Ya ampun! Aku pikir kamu kenapa-napa, pesan aku sudah dua hari tidak dibalas!"Leana langsung menoleh ke sumber suara, di ambang pintu ada Cila. Sahabatnya sejak sekolah menengah pertama, dan sekarang menjadi rekan satu divisnya."Cila!" Leana langsung memeluk perempuan jangkung itu. "Maafin aku, ya. Ada urusan mendadak yang tidak bisa aku ceritakan sekarang.""Santai, kayak sama siapa saja." Cila terkekeh, lalu melepas pelukannya. "Omong-omong kamu Habis disemprot sama Pak Sagalak, ya?" Sagalak, panggilan spesial mereka untuk Sagara. Leana terkekeh pelan, lalu berbisik pada Cila."Untung saja Pak Sagara lagi mode baik, coba kalau tidak?" Mereka pun terbahak setelahnya.Tawa perempuan itu mereda saaat ponselnya bergetar. "Sebentar, ada pesan masuk." Dia merogoh saku celananya. Air muka Leana yang tadinya berseri-seri seketika menjadi muram kala membaca pesan singkat itu.[ Mama saya akan ke rumah sore ini, saya tidak mau tahu. Kamu harus sampai di rumah sebelum Mama saya datang. ][Bersikap baiklah, jangan terlihat norak dan memalukan. ]Setelah jam kerjanya selesai, Leana dengan cepat bergegas pulang ke kediaman Elvano. Leana memesan ojek online, karena tidak mungkin dia menggunakan taxi—yang pastinya akan sangat boros. Leana terengah karena berlari dari pagar rumah menuju pintu utama. "Apa memang rumah orang kaya rata-rata luas seperti ini?" gumamnya dengan nafas memburu."Bu Leana, kenapa berlari sampai keringatan? Apakah ada yang berbuat jahat kepada, Ibu?" Mbok Sumi langsung menghampiri Leana dengan tergesa-gesa. Takut jika sang majikan kenapa-napa."Tidak, Mbok." Leana berujar kikuk, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. "Apakah Mama mertua saya sudah datang, Mbok?" Mbok Sumi menggeleng singkat. "Kata Pak Elvano sehabis magrib, sekalian ikut makan malam bersama." Leana seakan ingin menjatuhkan rahangnya, apakah Elvano mengerjainya? "Kalau Mas Elvano sudah pulang tidak?" "Pak Elvano baru saja pulang, mungkin lagi di ruang tengah bersama Mbak Zelina." Leana tertegun, tapi dia dengan cepat mengenyahkan pikira
"Bagaimana ini! Kalau sampai dia nelpon lagi, habislah aku!" Rosita terus mondar-mandir dengan gelisah, wanita itu menggeram dalam hati. Dia akui bahwa dirinya ceroboh meminjam uang pada tiga rentenir sekaligus. Sedangkan suaminya hanya tahu jika dia berhutang pada bu Mega saja, Rosita sangat ketakutan sekarang. Membayangkan kemurkaan sang suami, membuat tubuhnya menggigil seketika."Leana! Ya, anak itu pasti bisa diandalkan dalam sistuasi seperti ini!" Rosita bergegas mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan singkat kepda Leana.[ Leana, sebenarnya hutang Ibu bukan seratus juta, tetapi lima ratus juta. ][ Kalau bisa bantu secepatnya, kamu tidak mau, 'kan jika Ibu sama Ayah dituntut gara-gara tidak bisa melunasi hutang. ]Di sisi lain, Leana mematut kembali penampilannya. Dia terlihat gugup sekarang, pasalanya orang tua Elvano bukanlah orang sembarangan. Walaupun yang berkunjung kali ini hanya mama mertuanya, tetapi Leana terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjad
Leana makan dalam keheningan, dia begitu kasihan pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, Elvano yang cuek dan dingin terlihat acuh tak acuh. Sementara Zelina serta mama mertuanya terus saja bercanda ria. "Vano, mau nambah ikan tidak? Kamu 'kan suka sekali ikan kuah kuning." Zelina bertanya pelan, sedangkan Elvano menggeleng singkat. "Sayangnya Tante ini memang perhatian sekali, andai kamu yang jadi menantu Tante, pasti—" "Ma, bisa kita makan dengan tenang?" sela Elvano lembut, dia menatap mamanya dalam.Leana yang mendengar itu hanya mengerjap pelan, prasaannya semakin tak menentu kala mama mertunya mendelik sinis ke arahnya. "Tentu," balas wanita paruh baya itu, lain halnya dengan Zelina yang langsung memasang raut sedih. "Maaf, Vano. Apa kamu terganggu dengan kehadiranku?" "Tentu tidak, Sayang. Vano memang seperti itu, kamu tahu sendiri dia tidak bisa dengan suasana bising. Santai saja oke, kamu sahabatan dari kecil sama Vano. Mana mungkin dia terganggu oleh kehadiranmu, kecuali
"Sabar! Saya juga sedang mengusahakannya!""Wanita ini! Brani-braninya kamu menaikkan Volume bicaramu pada saya!" Rosita diam tak berkutik, dia lepas kendali karena rentenir itu mengancam akan ke rumahnya. "Maaf, tetapi saya mohon. Jangan datang ke rumah. Di sana ada suami dan anak saya." Wanita itu mendengkus sinis. "Bukankah kamu punya anak yang terkenal? Siapa namanya ... Sasmita, ya? Bagaimana jika dia saja sebagai penebus hutang kamu? Atau adiknya yang manis itu juga bisa, pasti dia bisa menjadi aset yang berharga untuk saya." "Jangan! Tolong jangan! Saya berjanji akan melunasinya secepatnya. Sugguh! Saya tidak berbohong kali ini." Rosita memohon, tubuhnya bergetar ketakutan. Bisa mati dia jika anak-anaknya terlibat, tak terbayangkan kemurkaan yang didapat dari sang suami. "Ya sudah, saya kasih waktu satu minggu, lebih dari itu—anak gadismu yang akan jadi jaminannya." Sedangkan di tempat lain, Leana duduk termenung dengan pandangan kosong ke depan. Setelah mama mertuanya sert
Leana terpaku, netra beningnya mentap Elvano dengan tatapan tak terbaca. Dia butuh diyakinkan beribu kali jika Elvano mengtakan hal yang mustahil seperti itu."Bisa Mas ulangi sekali lagi?""Saya tidak pernah mengulang perkataan yang sama." Leana mengatupkan bibir, lalu kembali membukanya secara perlahan. "Bagaimana jika saya menolak?"Raut Elvano yang awalnya meremehkan menjadi dingin seketika. Pria itu bahkan menatap Leana tajam. "Itu berarti kamu tidak akan pernah mendapatkan apa yang kamu mau." Leana terdiam, dia menatap Elvano dengan pandangan lurus. "Saya menolak, karena saya ingin melakukan semuanya atas dasar cinta, sedangkan kita? Tak lebih dari dua orang asing yang terjebak dalam ikatan sebuah pernikahan." Bukankah Leana begitu lancang? Dan darimana keberanian itu berasal?Ego Elvano terluka, apakah dia baru saja ditolak mentah-mentah? Wajah Elvano mengeras, dia menatap dingin perempuan di hadapannya. "Saya tidak tahu jika kamu adalah perempuan berprinsip, tapi tidak apa-a
"Ibu tidak mau tahu, Leana! Mana bisa Ibu menunggu satu bulan lebih, bukankah suami kamu kaya raya? Mintalah padanya." "Ibu, tolong jangan seperti ini. Ak-aku sama sekali tidak enak meminta kepada Mas Elvano." Leana mengigit bibir bawah gugup, mana mungkin dia meminta lagi pada Elvano. Sedangkan syarat dari pria itu dia tolak mentah-mentah."Lantas bagaimana? Kamu mau mereka mengusir Ibu dan Ayah serta adikmu?"Suara Rostia terdengar menuntut dari seberang sana, wanita itu memang sangat pemaksa jika menginginkan sesuatu.Sementara Leana membeku di tempatnya, perempuan itu menelan ludah susah payah. Pekerjaannya masih menumpuk, tetapi semuanya teralihkan karena telepon dari sang ibu. Untung jarak mejanya dari rekan kerjanya yang lain cukup renggang. Jadi, tak ada yang mendengar pembicaraanya. "Kamu dengar Ibu, tidak?!"Rosita kembali berseru, menyadarkan Leana dari lamunannya."Bu—" "Tolong, Ibu meminta untuk kali ini saja." "Ba-baik, akan aku usahakan." Pada akhirnya Leana mengiya
Leana tak berani keluar dari dalam selimutnya, dia akan menunggu Elvano berangkat kerja terlebih dahulu. Setelah pembahasan mereka semalam, semuanya terjadi begitu saja. Leana memegang dadanya sedari tadi, jantungnya tak berhenti bergemuruh hebat dari semalam."Saya berangakat kerja dulu, cepatlah mandi dan bersiap-siap. Bukankah kamu masuk kerja hari ini?" Terdengar suara serak dan dalam dari Elvano, membuat jantung Leana semakin bertalu-talu."Ba−baik, Mas ...," cicitnya dengan suara yang terendam dari dalam selimut.Setelah tak mendengar balasan apapun, Leana mencoba menurunkan selimutnya dengan perlahan. Tenggorokan perempuan itu tercekat karena wajah dengan pahataan menawan itu terpampang jelas di hadapannya. "Ma−mas Elvano ...." Leana tercekat. Secara perlahan memundurkan wajahnya, memberi jarak. "Malu?" bisik pria itu dengan raut tak terbaca. Leana mengangguk kikuk. "Mandilah, setelah itu sarapan." Wajah Leana semakin memerah, Elvano yang melihat itu menaikkan sudut bibirnya.
"Brani-braninya kamu menyiksa putri saya! Membuat tekad saya sudah bulat untuk berpisah saja dari kamu!" Bagus datang dengan kilatan murka, pria paruh baya itu begitu marah melihat keadaan sang putri. "Lea, mana yang sakit, Sayang." Leana terisak sembari memeluk ayahnya begitu kencang. Sedangkan Rosita semakin berang karena Leana semuanya menjadi kacau."Selalu saja, dari dulu kamu mengutamakan Leana dalam segala hal. Bahkan lebih dari istrimu sendiri!" teriak Rosita dengan air mata yang berderai."Bahkan kamu ingin cerai gara-gara aku mukul anak kesayanganmu ini! Tidakkah kamu pikir jika Sasmita dan Arsen akan terluka jika melihat perceraian kedua orang tuanya?" "Kalau berpisah lebih baik, aku mendukung keputusan, Ayah. Dan tidakkah Ibu juga berpikir jika selama ini yang Ibu utamakan hanya, Sasmita? Bahkan disaat kak Lea sudah mengorbankan segalanya, Ibu tetap bersikap ketus padanya." Arsen menelan ludah susah payah, menatap ibunya kecewa."Dulu aku sering melihat kak Lea menangis ten