Sang penjaga kos yang akan dihuni oleh Damay, langsung pergi setelah memberi beberapa penjelasan singkat. Meninggalkan Damay, dan Bumi yang masih berdiri di tengah ruang yang berukuran tiga kali tiga meter tersebut.
“Aku cuma bisa dapat kosan ini, lumayan layak walau kamar mandinya ada di luar,” terang Bumi lalu membuka jendela nako yang berada di samping pintu. Ia menatap ke lantai satu, yang berisi parkiran motor dari penghuni kos setempat. Bumi jadi berpikir, apa Damay juga butuh kendaraan bermotor untuk memudahkan mobilisasi gadis itu.
“Nggak masalah, Kak,” balas Damay lalu duduk di tepi kasur busa yang berukuran single. Ada sebuah meja kecil, yang berada di samping tempat tidur. Serta lemari pakaian yang berada sejajar dengan jendela nako. “Saya tinggal cari kerja aja habis ini. Terus, untuk uang kos, nanti saya ganti kalau sudah punya gaji.”
“Nggak perlu diganti,” jawab Bumi cepat, lalu berbalik dengan mengeluarkan dompet dari saku celana bahannya. Bumi mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu, sembari berjalan menuju meja kecil yang ada di samping tempat tidur. “Kalau kurang, kamu bisa telpon aku,” ujarnya sembari meletakkan lembaran kertas itu di atas meja.
“Ambil kembali uang Kak Bumi.” Damay berujar tegas, dan beranjak untuk mengambil uang yang baru saja diletakkan Bumi. Damay mengulurkan tangan, untuk menyerahkan uang tersebut pada pria itu. “Kalau saya bilang, saya bakal ganti uang kos ini, itu artinya saya bakal ganti. Dan untuk uang ini, tolong ambil kembali karena saya nggak mau punya utang lebih banyak lagi.”
“Jangan sombong jadi orang,” balas Bumi masih mendiamkan tangan Damay yang mengambang di udara. “Apa kamu nggak ngerti, kamu sekarang lagi ada di mana? Kamu lagi di Jakarta! Hidup di sini keras, May! Jangan samakan dengan hidup kamu di Kalimantan.”
“Anak tunggal yang hidup dengan orang tua berpangkat seperti Kak Bumi, tahu apa dengan kerasnya hidup.” Dengan wajah datar, Damay melipat dua tumpukan uang yang ada di tangannya, lalu mengikis jarak dengan Bumi. Lantas, Damay memasukkan uang tersebut ke dalam saku seragam kantor yang membalut tubuh Bumi saat ini, tanpa memberi ekspresi apapun.
Bumi berdecih kaget dengan keberanian Damay yang tidak pernah gadis itu tunjukkan sebelumnya. Apa itu artinya, gadis itu selama ini hanya memasang topeng di depannya. Berpura-pura lugu dan polos, untuk mengambil sedikit simpatinya.
“Ah! Akhirnya, ketahuan aslinya, kan? Ternyata, lo, nggak sepolos dan selugu yang gue kira.” Percuma berbicara sopan, jika Damay ternyata mulai menunjukkan taringnya.
“Saya nggak peduli dengan pandangan Kak Bumi, sama saya,” balas Damay kembali menjaga jaraknya dengan Bumi. “Tapi satu yang pasti, kalau saya sangat berterima kasih dengan pertolongan Kakak, dan saya nggak mau berutang apapun dengan Kak Bumi, juga keluarganya.”
Giliran Bumi yang menghabiskan jarak dengan Damay, karena merasa telah dipandang sebelah mata. Bumi mengarahkan telunjuknya pada pundak Damay, lalu mendorongnya sedikit keras.
“Lo itu bukan orang sini, May. Jadi lo belum tahu, bagaimana kejamnya ibukota dengan segala isinya,” tutur Bumi berujar sembari mengatupkan geliginya karena kesal. “Dan jangan pernah hubungi GUE, kalau nantinya ELO, terlibat masalah di sini. Dan, jangan sekali-kali hubungi gue, atau keluarga gue, buat mengiba kalau lo dapat musibah. Karena GUE, nggak bakal ngelakuin apapun buat ELO!"
Damay meneguk ludah, tapi tetap mengangkat tinggi dagunya agar Bumi tidak meremehkannya. Damay sangat mengerti kalau dirinya berasal dari daerah, tapi ia tidak akan membiarkan Bumi dan keluarganya memandang dengan remeh.
“Saya, nggak punya nomor hape Kak Bumi, jadi, jangan khawatir. Saya nggak akan pernah menghubungi Kakak, meskipun saya dalam kesulitan.”
“Oke! Fine!” hardik Bumi hingga membuat Damay tersentak mundur. “Jangan sampai, ludah yang sudah lo buang, nantinya lo jilat sendiri! Dan kita lihat, sejauh mana, lo, bisa bertahan di sini sendirian!”
Damay hanya diam memandang Bumi yang terlihat berang untuk beberapa saat. Kalau pria itu memang tidak menyukainya dan begitu membencinya, mengapa Bumi tidak langsung menjatuhkan talak ketika Damay memintanya.
“Kak Bumi sudah bisa pergi.” Daripada harus berdebat lebih lama, Damay lebih suka pria itu meninggalkannya seorang diri. “Makasih juga atas bantuanya. Semoga, rencana pernikahannya dengan Kak Tari dilancarkan sampai hari H.”
Tabungan yang dimiliki Damay, memang tidak banyak. Akan tetapi, tidak bisa juga dibilang sedikit jika ia bisa berhemat, ketika tinggal di ibukota tanpa pekerjaan seperti sekarang. Damay bisa menekan biaya makan sehari-harinya. Hitung-hitung, sekalian diet untuk menurunkan bobot badan yang terasa semakin berat.Damay membeli nasi, di warung terdekat dan membaginya menjadi dua kali makan. Untuk sarapan, dan ketika sore menjelang. Sementara untuk lauk, Damay bersyukur karena ada dapur umum yang bisa dipakai bersama di lantai satu, hingga ia bisa memakainya untuk menggoreng telur, atau membuat mi instan jika terpaksa.Sudah seminggu berjalan sejak Damay bertemu Bumi. Sejak itu pula, Damay sama sekali belum mendapatkan pekerjaan. Ternyata, lulusan SMA seperti dirinya tidak mudah mencari pekerjaan di ibukota, meskipun hanya sebagai seorang pelayan, atau office girl, seperti yang pernah dikatakan Airin.Damay pun sudah berusaha berbaur dan mengakrabkan diri, dengan teman-teman kos yang cende
Napas Bumi terbuang lega, tugas terakhirnya dalam event pemerintah jelang pernikahannya akhirnya selesai. Setelah ini, Bumi akan kembali menjalani rutinitas kantor seperti biasa, sebelum cutinya tiba.Di sela ramah tamah, dan sesi foto di akhir acara debat calon gubernur, Bumi kembali terusik dengan siluet seorang gadis. Bukan sekali ini Bumi melihat siluet tersebut berjalan cepat di sisi ruang, dan tenggelam di ruang setelahnya. Namun, ketika acara debat belum dimulai pun, Bumi juga sempat melihat sosok tersebut berjalan cepat melewati lorong hotel.Bumi sempat mengira, hal tersebut hanyalah halusinasi. Akan tetapi, jika sampai beberapa kali melihat, pun saat acara sedang berjalan, Bumi yakin itu semua adalah nyata. Sampai akhirnya, Bumi memutuskan untuk meninggalkan kerumunan pendukung para pasangan calon, untuk menuntaskan rasa penasarannya.Bumi berjalan tergesa, menuju titik di mana ia melihat sosok tersebut. Terus masuk ke bagian hotel yang paling dalam. Menyusuri sebuah lorong,
“Tapi nggak begini juga!” Damay tersentak karena Bumi tiba-tiba menghardiknya. Ingin menjauh, tapi lengan Damay masih berada di cengkraman pria itu. Damay jadi bingung sendiri, apa salahnya kali ini sampai Bumi langsung menghardiknya. “Nggak … begini gimana maksudnya, Kak?” tanya Damay tetap memandang Bumi, kendati jantungnya sudah melaju kencang karena dihardik pria itu. “Dengar, May.” Bumi mengatur napas, agar tidak larut dalam emosi. “Sudah berapa kali lo ketemu Gilang?” “Baru … dua kali sama hari ini.” “Baru dua kali ketemu, tapi, lo sudah mau diantar malam-malam begini sama dia?” Semakin lama, nada bicara Bumi semakin meninggi. “Ini Jakarta, May! Bukan Kalimantan—” “Samarinda,” ralat Damay. “Kalau Kalimantan itu luas jangkauan—” “Jangan pernah potong omongan gue.” Bumi menghela kasar sambil menarik lengan Damay, agar gadis itu semakin dekat. “Ini, Jakarta! Di luar sana, banyak penjahat kelamin yang pura-pura baik dan punya niat terselubung di belakangnya. Pergaulan di sini
Bumi menutup laptop, setelah rapat umum antar divisi selesai. Namun, bokongnya masih enggan beranjak, karena ada beberapa obrolan ringan yang masih hendak ia bicarakan dengan rekan kerjanya. Bertukar pikiran dengan santai, untuk membahas beberapa pekerjaan. “Jadi cuti kapan, Mi?” tanya Baskoro, sang pemimpin redaksi yang hendak beranjak dari ruang rapat. “Dua minggu lagi, Bang.” Baskoro terdiam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. Selang beberapa detik kemudian, ia pun mengangguk. “Oke, jangan lupa limpahin job desk ke yang lain, dan jangan matikan hape kalau lagi bulan madu. Siapa tahu kami butuh kamu, sewaktu-waktu.” Baskoro lantas terkekeh, dan disambut oleh beberapa rekan kerja yang masih ada di ruang rapat. Dengan cepat ia melangkah keluar dari ruang tersebut, tanpa mau menunggu respons dari Bumi. Namun, belum sampai lima detik Baskoro melewati pintu, ia langsung mundur teratur. Memutar tubuh 90 derajat dan melihat beberapa karyawan Jurnal Ibukota yang kembali bercengkrama. “Y
Pagi itu, Damay sama sekali tidak berminat untuk sarapan. Mengingat rentetan kalimat Bumi tadi malam saja, sudah membuatnya kenyang. Damay bahkan belum mengambil honor atas pekerjaan yang telah ia lakukan kemarin. Untuk itu, Damay hanya bisa pasrah untuk sementara waktu. Menunggu Bumi, yang berjanji akan membawakannya sebuah ponsel baru nanti siang. Akan tetapi, Damay tentunya tidak bodoh. Setelah Bumi memberikannya sebuah ponsel, Damay tinggal bertanya kepada Senna, agar bisa menghubungi seorang teman yang sudah mempekerjakannya kemarin. Setelah itu, Damay tinggal meminta gaji, sekaligus, bertemu Gilang jika memang ada kesempatan. Damay bangkit dengan cepat dari tidurnya, ketika mendengar suara pintu kamar kosnya diketuk. Dengan cepat pula ia membukanya dan langsung mematung saat itu juga. “Lo, yang keluar, atau, gue yang masuk ke dalam.” “Ohh.” Damay yang masih bingung itu, langsung menghela dengan tawa garing. “Kak Gilang … di sini? Tahu … kosan saya dari mana?” “Irma.” “Ohh
Bumi mengumpat dengan mengeratkan cengkramannya pada setir mobil. Hampir dua jam ia menunggu di depan kos Damay, akhirnya gadis itu datang juga. Bumi sempat masuk dan mengetuk pintu kamar kos Damay sebelumnya, tapi gadis itu ternyata belum pulang. Sehingga Bumi memutuskan untuk menunggu di luar kos, dengan memarkir mobilnya sedikit jauh.Namun, yang membuat Bumi semakin geram kali ini ialah, Damay keluar dari mobil Gilang. Bahkan, Gilang sempat masuk ke dalam kosan tersebut dan baru keluar sekitar setengah jam kemudian.Apa yang mereka lakukan selama setengah jam, di dalam sana sebenarnya?Bumi kembali mengumpat keras dan kini memukul setir mobilnya, Harusnya Bumi mencarikan kos khusus putri untuk Damay, jadi pria seperti Gilang tidak bisa masuk seenaknya ke dalam sana.Begitu mobil Gilang pergi dan menghilang dari pandangan Bumi, ia langsung keluar dari mobil dan membanting keras pintunya. Seharian ini, Bumi sudah menahan emosi karena sempat melihat dua orang itu lalu lalang di lanta
Bumi yang baru memarkirkan roda empatnya di parkiran depan gedung Jurnal, melihat Damay keluar dari mobil Gilang. Apa itu berarti, pagi ini Gilang menjemput Damay ke kosan gadis itu? Bumi lalu berdecih, ketika melihat sebuah drama dengan tawa yang terus dilontarkan kedua orang itu sambil berjalan menuju pintu lobi. Semalam, setelah Bumi dan Damay selesai berdebat. Atau dengan kata lain Damay telah mengusirnya lagi, ia meletakkan ponsel baru yang sudah dijanjikan sebelumnya di ranjang gadis itu. Entah dipakai atau tidak, Bumi juga belum memastikannya. Namun, ia sudah mendapatkan kos putri dan Damay harus pindah hari ini juga ke tempat tersebut. Bumi tidak ingin, Gilang terus-terusan mengantar jemput Damay seperti sekarang. Akan tetapi … kenapa? Bukankah Bumi sudah memiliki Tari yang sebentar lagi akan dinikahinya? Semakin dipikirkan, Bumi semakin tidak bisa menemukan jawabannya. Belakangan ini, otaknya justru dipenuhi dengan Damay yang tidak mau mengindahkan semua permintaannya. Mu
Bumi tertawa miris, ketika mengingat Baskoro mentertawakan permasalahannya dengan Damay pagi tadi. Pria paruh baya itu tidak bisa membayangkan, kalau yang dikhawatirkan oleh Bumi benar-benar terjadi. Lantas, Baskoro hanya menyarankan untuk berkomunikasi lebih baik lagi dengan Damay, juga keluarga gadis itu.Menjelaskan semua masalah yang terjadi dengan kepala dingin, dan selesaikan baik-baik. Baskoro meyakinkan, kalau Bumi hanya overthinking karena sebentar lagi akan menikah dengan Tari. Apalagi, Damay juga sudah berkali-kali meminta cerai dari Bumi, dan menjamin semua akan baik-baik saja. Karena pada dasarnya, Bumi memang terlalu berlebihan dalam menanggapi kisah yang telah didengarnya.Selama Bumi bersikap baik dan tidak melanggar norma yang ada, semua kesalahpahaman pasti bisa terselesaikan.Lamunan Bumi lantas terpecah saat ponsel yang berada di meja kerjanya bergetar. Tari menelepon, dan untuk itu Bumi dengan cepat mengangkatnya.“Halo,” sapa Bumi masih dengan pikiran yang berca