Share

Menunggu Waktu

Tabungan yang dimiliki Damay, memang tidak banyak. Akan tetapi, tidak bisa juga dibilang sedikit jika ia bisa berhemat, ketika tinggal di ibukota tanpa pekerjaan seperti sekarang. Damay bisa menekan biaya makan sehari-harinya. Hitung-hitung, sekalian diet untuk menurunkan bobot badan yang terasa semakin berat.

Damay membeli nasi, di warung terdekat dan membaginya menjadi dua kali makan. Untuk sarapan, dan ketika sore menjelang. Sementara untuk lauk, Damay bersyukur karena ada dapur umum yang bisa dipakai bersama di lantai satu, hingga ia bisa memakainya untuk menggoreng telur, atau membuat mi instan jika terpaksa.

Sudah seminggu berjalan sejak Damay bertemu Bumi. Sejak itu pula, Damay sama sekali belum mendapatkan pekerjaan. Ternyata, lulusan SMA seperti dirinya tidak mudah mencari pekerjaan di ibukota, meskipun hanya sebagai seorang pelayan, atau office girl, seperti yang pernah dikatakan Airin.

Damay pun sudah berusaha berbaur dan mengakrabkan diri, dengan teman-teman kos yang cenderung bersikap apatis. Sangat jauh berbeda dengan daerah asal Damay sebelumnya. Namun, masih ada beberapa yang bisa diajak bertegur sapa. Bagi Damay, itu saja sudah cukup agar dirinya tidak merasa sendirian di ibukota.

“Pagi, Kak,” sapa Damay pada penghuni kos di lantai satu yang tengah mengeluarkan motornya. “Tumben pagi-pagi gini sudah turun kerja.”

“Berangkat kerja, May, bukan turun kerja,” ralat sang wanita yang sudah mengetahui asal usul Damay. “Kalau turun itu, dari atas ke bawah.”

Damay yang hendak keluar untuk membeli nasi seperti biasa, langsung terkekeh geli. Yang ia perhatikan selama seminggu berada di kos, memang ada beberapa perbedaan bahasa yang harus segera Damay serap dan pelajari.

“Maaf, Kak, udah bawaan orok.”

“Iyelaah …” ujar Senna, wanita yang sudah menaiki motor maticnya yang menyala. “Tapi jangan keterusan, entar lo malah jadi bahan bullyan.”

Damay mengangguk paham, dan bersyukur bisa memiliki tetangga seperti Senna. Meskipun terkesan cuek dan blak-blakan, wanita itu masih bisa diajak bicara sebagai teman.

“Hati-hati di jalan, Kak.”

“Yoi,” jawab Senna lalu menjalankan motornya dengan pelan, mengiringi Damay yang juga hendak keluar. “Belom dapet kerjaan, lo, May?”

Damay menggeleng sambil membukakan pintu pagar untuk Senna. “Belum. Tapi sudah masukin lamaran, cuma nggak tahu kapan dipanggil.”

Senna berhenti sebentar di luar pagar. Menunggu Damay menutup kembali pintu pagar kosan mereka. “Lo, kalau freelance mau nggak? Jadi kerjanya, pas ada event doang. Kalau mau, entar gue bilang ke temen, kantor dia lagi nyari tambahan orang soalnya. Lumayanlah, May, buat batu loncatan daripada, lo, nganggur.”

“Emang bisa lulusan SMA?” tanya Damay ragu.

“Bisa!” seru Senna meyakinkan. “Kan, cuma jadi pesuruh doang, May. Jaga ini, jaga itu, atau bawa ini, bawa itu. Dia butuh cewek dua, kalau cowok sudah dapat.”

“Mau, Kak!” Tentu saja Damay antusias menyambutnya. Karena Senna benar, semua ini bisa Damay lakukan sebagai batu loncatan untuk melakukan rencana berikutnya. Dengan begini, teman yang didapat Damay pun, akan semakin banyak. Jika sudah begitu, sumber informasinya untuk menemukan sesuatu di ibukota, juga akan semakin terbuka lebar.

Damay sudah tidak ingin mengingat Bumi dengan keluarganya. Bahkan, Damay juga hampir melupakan kalau statusnya saat ini sudah menikah dengan pria itu, dan bukan gadis lajang lagi. Namun sudahlah, Damay yakin kalau lambat laun Bumi akan menceraikannya. Karena Damay bisa melihat, kalau pria itu pun tidak menyukainya. Jadi, tidak ada alasan untuk mereka berlama-lama dalam pernikahan yang ada.

Hanya tinggal menunggu waktu, maka dalam sekejap mata perceraian itu akan terjadi. Damay juga berharap, kalau pernikahan pria itu akan berjalan dengan baik dan bahagia, tanpa ada dirinya di tengah-tengah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status