Share

Bukan Jendral Tapi Pangeran
Bukan Jendral Tapi Pangeran
Penulis: Rat!hka saja

1. Serangan

Raja Abram berlari menuju kamar Ratu pertamanya, Ratu Meghna. Dari arah berlawanan Pangeran Ibram juga ikut berlari dan keduanya saling tatap untuk beberapa saat. ada banyak pengawal dan pelayan yang berjaga di depan pintu kamar. Sementara Pangeran Samir duduk di lantai sambil bersandar di tiang dan menerawang langit malam. Penampilannya kacau balau dan tidak henti-hentinya menagis. Terisak seperti anak kecil, melupakan statusnya sebagai salah satu pangeran kerajaan yang selama ini selalu menjunjung tinggi harga dirinya. Rasa bersalahnya yang lalai akan tugas yang diamanahkan padanya kini membuatnya menjadi seorang pecundang. Rasa percaya dirinya seakan sirna dan jauh di dalam lubuk hatinya, selain rasa bersalah, ia juga takut akan kemungkinan terburuk.

"Samir, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raja Abram pada adik sepupunya. 

"Yang Mulia, aku siap menerima hukuman matiku malam ini juga. Aku benar-benar jadi pecundang seperti ucapan ibu tempo hari. Aku pangeran yang gagal. Aku... aku membuat kesalahan fatal," Pangeran Samir bukannya menjawab pertanyaan Raja Abram, ia justru mengutarakan isi kepalanya dengan menatap sepasang kaki yang kotor karena tidak mengenakan alas kakinya. Suaranya yang terdengar lirih itu seakan sudah tidak memiliki harapan hidup lagi.

Raja Abram yang tidak memahami ucapan adiknya itu memilih bergegas melewati pintu yang dibuka oleh dua pengawal. Pandangannya tertuju pada tubuh istrinya yang terbaring lemah sedang ditangani beberapa orang tabib. Ingin menghampiri namun akal sehatnya masih bekerja untuk tidak mengganggu para tabib bekerja. Namun melihat tabib senior menghela napas berat seraya memejamkan mata dan menoleh ke arahnya, langkah kakinya pun terhenti. 

Gelengan pelan dari tabib senior itu membuatnya terjatuh karena sulit menerima kenyataan. Para pelayan mencoba membantunya, tapi Pangeran Ibram menutup pintu dan mengisyaratkan agar mereka semua menjauh. Kembali ke posisi dan melakukan tugas masing-masing. Keadaaan sedang genting dan ia tidak boleh lengah membiarkan sembarangan orang mendekati kakaknya. Tatapannya dengan tabib senior yang juga merupakan tabib pribadinya itu seolah memberi isyarat jika pria tua itu ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting.

"Yang Mulia, tolong kendalikan dirimu. Berdirilah! Kuatkan dirimu dan dengarkan ucapan tabib. Aku di sini siap menerima titah darimu. Jangan jadi raja yang cengeng mengingat bagaimana angkuhnya kau memaksaku jadi pangeran mahkota. Kalau kau masih terus seperti ini, aku akan mengadukanmu pada kedua ratumu dan kau akan kehilangan wajahmu," bisik Ibram dengan sedikit mengancam agar kakaknya bisa segera mengendalikan diri. Ibram mencoba memapah kakaknya yang masih bergeming. 

Jika saja latihan fisiknya selama ini biasa saja, maka ia akan kesulitan menahan tubuh kakaknya yang lebih tinggi dan lebih besar darinya itu mendekati tempat tidur. Sejenak Ibram tertegun melihat wajah pucat kakak iparnya yang tidak sadarkan diri. Pantas saja raja sombong yang dipapahnya ini sampai bergeming seakan kehilangan daya tubuhnya. Cubitan Ibram di lengan kakaknya membuat Raja Abram menoleh dan mendapati tatapan tajam adiknya. Raja Abram memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam. 

"Ratuku, buka matamu! Jangan menakutiku dengan pura-pura tidur seperti ini! Kau sudah berjanji akan menemaniku membaca semua dokumen malam ini, tapi mengapa kau tidur lebih dulu? Apa kau marah padaku?" Raja Abram duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan kanan Ratu Meghna.

"Yang Mulia, saat ini Ratu Pertama...."

"Diam!!!" bentak Raja Abram yang membuat semua orang terlonjak. Terkejut mendengar suara teriakan dengan amarah yang tertahan itu. Satu-satunya orang yang yang tidak menunjukkan reaksi berlebihan hanya Pangeran Ibram. Meskipun ia menganggap kakaknya sombong, namun membentak bukanlah kebiasaan dari kakaknya. Tabib yang hendak menjelaskan sesuatu itu pun menciut dan perlahan melangkah mundur. Tabib senior memberi isyarat agar tabib juniornya yang merupakan ahli racun itu mengerti dan memintanya untuk menjelaskannya pada Pangeran Ibram.

Saat tabib senior hendak melanjutkan pengobatannya, Raja Abram kembali membentak dan bertanya apa yang hendak dilakukannya pada sang ratu. Pangeran Ibram menghampiri kakaknya dan menariknya menjauh. Meski meronta, Raja Abram tidak mampu menahan kekuatan tangan adiknya yang menjauhkannya dari sang istri. Rasa sesak di dadanya tidak bisa ia sangkal ketika melihat bibir dan bahkan kuku isrinya mulai gelap karena efek racun dari panah yang menancap di pundak istrinya. Tadinya ia tidak percaya dengan laporan pengawal kerajaan yang berlari ke ruang kerjanya, namun sekarang rasa dingin tangan istrinya serasa membekas di telapak tangannya. Fakta jika istrinya tidak baik-baik saja dan bukan sengaja mengabaikannya.

"Lepaskan! Lepaskan!!" teriak Raja Abram yang meronta.

"Kalau begitu sadarlah dan kendalikan dirimu!!!" balas Pangeran Ibram lebih keras dan menghempaskan tubuh kakaknya yang nyaris membuatnya jatuh tersungkur jika Pangeran Sabir tidak buru-buru menopangnya. Pangeran Ibram kembali menghampiri dan memojokkan kakaknya ke salah satu ruangan diikuti Pangeran Sabir.

"Tindakanmu yang hilang akal sehat yang akan membuatnya tiada. Tabib sedang mengobati kakak iparku. Jangan coba-coba mendekat jika kau hanya mengacaukan pengobatannya. Racunnya tidak akan berhenti jika kau menangis atau berteriak! Tenangkan dirimu dan berpikir apa tindakanmu selanjutnya dan biarkan para tabib melakukan tugasnya. Kau itu raja, bukan anak kecil yang merengek saat keadaan tidak sesuai yang kau harapkan. Ratu Kerajaan Akhtaran diserang di dalam istananya sendiri. Itu bukan hal yang biasa! Pelakunya belum diketahui dan kau malah goyah seperti ini?" desis Ibram menahan kesal.

"Kakak, tenanglah, kakak ipar tentu akan mendengarmu jika berteriak seperti tadi di sampingnya. Ibram benar, sekarang situasinya sedang genting dan kami butuh kau dan pikiran tenangmu untuk mengambil keputusan. Berikan perintahmu dan jangan membuat musuh senang dengan melihatmu terpuruk seperti ini. Kalau ingin menyalahkan, salahkan aku yang lengah dengan keamanan kedua ratumu. Jika keduanya melihatmu seperti ini, mereka akan marah dan merasa bersalah," bisik Pangeran Sabir sembari memeluk kakaknya dan menepuk punggungnya menenangkan. Perlahan menuntun kakaknya duduk agar bisa lebih tenang.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Pangeran Ibram duduk bersila dengan kedua lengan terlipat di depan dadanya. Matanya terpejam, enggan melihat kondisi kakaknya yang kacau dan malah jatuh pingsan dalam pelukan Sabir. Mau bagaimana lagi, ia tidak berada di istana saat kejadian itu terjadi. 

"Seseorang mencoba membunuh Ratu Gina dengan mengarahkan anak panah beracun itu padanya, tapi Ratu Meghna melindunginya, menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Menurut dugaanku, seseorang mengincar calon bayi kakak. Ada yang tidak menginginkan raja memiliki pewaris. Jika ini dibiarkan hanya dengan menghukum pelaku penyerangan, rasanya tidak cukup. Pelakunya akan menyalahkan dirimu dan membuat seolah ini rencanamu. Seperti kejadian-kejadian lalu yang akan berujung minta kau melepas statusmu sebagai putra mahkota. Awas saja kalau kau juga goyah!" ancam Sabir.

"Kau yakin?" tanya Ibram mendengus kesal ketika melihat sepasang alis sepupunya itu bergerak naik, "Aku tahu tapi terlalu awal membuat dugaan. Jika berhasil mendepakku, pelakunya akan menjadikan Samir boneka mereka."

"Makanya kau juga jangan bertingkah yang aneh-aneh di saat seperti ini!" Sabir menoleh melihat Abram dengan prihatin. 

Masalah kakaknya sejak menjadi raja rasanya tidak ada habisnya. Terlebih sejak memutuskan mengabulkan keinginan Ratu Meghna untuk kembali menikah agar mereka memiliki pewaris. Itu juga karena karena laki-laki keras kepala di depannya ini menolak semua perjodohan untuknya. Tadinya mereka pikir seorang Ibram akan luluh untuk menikah pada akhirnya setelah mendengar jika raja dan ratu sulit memiliki keturunan.

Tapi reaksinya mengejutkan dengan mengatakan untuk tidak menjilat ludah sendiri dan memenuhi janji kerajaan yang tidak akan memaksanya menikah. Kalaupun seorang Ibram ingin menikah, maka ia kan menikah dengan gadis pilihannya sendiri dan tidak boleh ada satupun yang berhak mengatur istrinya. bukannya bersimpati, malah mempertahankan kekeraskepalaannya.

"Ada apa? Apa yang kau pikirkan? Katakan sebelum aku membuatmu merasa diinterogasi," bisik Ibram pada adik sepupunya yang usianya hanya terpaut 112 hari lebih muda darinya. Usia sepantaran membuat keduanya tidak memiliki kecanggunggan sama sekali. Anehnya, Ibram yang saudara kandung dengan Abram merasa lebih nyaman mengatakan rahasia dan juga perasaannya pada Sabir, begitu juga sebaliknya.

Sedangkan Samir, si bungsu lebih nyaman mencurahkan dan mengadukan semua hal pada Abram sehingga dianggap manja oleh keluarga. Mau bagaimana lagi? Abram memang terkadang memanjakan Samir dan anehnya si bungsu itu memang akan sangat penurut pada raja. Bertolak belakang dengan Ibram yang tidak segan-segan menolak jika tidak suka dan Sabir yang selalu suka menego atau membuat kesepakatan jika dirinya keberatan.

"Sebelumnya, sudah beberapa kali Ratu Gina hampir diracuni dan hampir tertimpa patung. Ratu Meghna memperketat segalanya sejak saat itu. Hari ini keduanya duduk bercengkrama dengan putri-putri mentri. Seperti biasa ingin mencari calon istri untukmu. Panah pertama melesat hampir mengenai kaki Ratu Gina. Panah itu tidak mengandung racun sama sekali. Dugaanku hanya ingin mengejutkannya atau membuatnya terjatuh. Jika ia terjatuh, kandungannya akan dalam bahaya." Sabir melirik Ibram.

"Karena terkejut, langkahnya terhenti dan itu justru menguntungkan pelakunya. Panah berikutnya jadi lebih mudah untuk dibidik ke arahnya," ujar Ibram dengan mempermainkan telunjuk di dahinya. Tidak habis pikir bagaimana bisa menara pemantau luput melihat kejadian itu. Bertanya-tanya di sudut mana pelakunya bersembunyi dan membidik kedua ratu, "Kau ada di sana?"

"Tidak, aku memeriksa persenjataan baru yang kau beli di gudang markas. Samir dan Dim yang berada di sana," jawab Sabir.

"Ibram, kau punya dugaan?" Sabir mencubit pangkal hidungnya dan kembali memikirkan laporan yang masuk padanya sejak sore tadi. Ia menyadari jika serangan ini sangat terencana dan yang mengusik benaknya, siapakah otak dari kekacauan ini?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
harismayani mal
Baru di part awal saja aku sudah berasa dibawa ke masa lalu. Bangun banget kak ceritanya, aku jadi kayak IU di moon lovers hehehehe
goodnovel comment avatar
Nona Pelangi
mendebarkan,
goodnovel comment avatar
iras saja
suka sama si bungsu ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status