Setelah insiden mual karena makan masakan buatan Adara, wanita itu merasa bersalah. Pasalnya dia yakin kalau masakannya tidak seburuk itu. "Bu Adara ada masalah apa? Kenapa dari tadi Ibu diam saja? Apa ada pekerjaan yang tidak sesuai?" tanya Gina penasaran. Tanpa diminta dia menyuguhkan kopi untuk atasannya itu. Dia juga tidak langsung pergi, justru mempertanyakan sikap atasannya yang tiba-tiba pendiam.Adara masih mengetuk-ngetuk pulpen ke atas meja, sementara siku yang lain menopang dagunya. "Aku lagi bingung, Gin."Kalau Adara sudah menggunakan kalimat santai, Gina bisa menebak kalau Adara sedang membicarakan masalah pribadi bukannya masalah kantor. "Bingung kenapa?""Hem, aku udah ikut kursus masak dua kali Tapi masih belum bisa masak yang bener. Apa yang salah? Atau jangan-jangan Aku emang nggak bakat masak?" Pertanyaan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri karena kedua mata Adara setuju pada permukaan meja yang mengkilap itu. "Oh, masalah dapur ya? Aku juga nggak bisa masa
"Nggak bisa, Pa. Aku nggak setuju kalau perusahaan kita diakuisisi sama perusahaan lain. Kita harus cari bantuan supaya kerugian yang disebabkan oleh sekretaris papa bisa tertutupi. Aku akan cari caranya," tegas Ansel. Pagi-pagi Papanya menelepon kalau mereka tidak punya alasan untuk mempertahankan perusahaan. Selagi ada orang yang mau menutup kerugian dan mengembangkan perusahaan sebagaimana mestinya, Jaka akan melepaskannya. Tapi tidak untuk Ansel. Dia tidak akan melepaskan usaha orang tuanya begitu saja tanpa melakukan sesuatu. "Tapi gimana caranya kita bisa dapat uang puluhan miliar dalam satu minggu?""Tenanglah, Pa. Aku akan coba tanya sama teman kuliahku dulu yang sekiranya punya bisnis besar. Aku yakin mereka pasti mempercayaiku," ucap Ansel meyakinkan."Oke, papa akan coba menunggu. Tapi, Papa harap kamu jangan kecewa seandainya kita harus melepaskan perusahaan."Ansel menghela nafas berat. "Oke." Dia menutup panggilannya dengan lelah. Semalaman dia tidak bisa tidur meskip
"Sayang," panggil Ansel dengan suara lembut yang diiringi dengan desahan manja yang menggoda. Melihat istrinya hanya menoleh sekilas, dia semakin mendekat. "Lagi ngapain?" tanyanya lagi. Padahal harusnya dia bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan istrinya. "Mau aku bantu?"Adara sengaja mengiris bawang bombai di permukaan talenan itu dengan gerakan memukul naik turun. Ansel agak ciut nyalinya karena Adara memegang benda tajam mengkilap yang bisa saja mengurangi nyawanya. "Ini diletakkan dulu," ucap Ansel dengan senyum lebar. Dia berniat menurunkan pisau tersebut dari udara kosong yang menyebalkan tapi sang istri justru melotot. "Oke. Nggak diletakkan juga nggak apa-apa. Asal kamu kemari sebentar, kita ngobrol.""Ngobrol? Bahasa apa sih ngobrol itu? Aku sibuk sekarang dan nggak punya waktu untuk mengobrol jadi kamu pergi saja!" Kalimat yang Adara ucapkan sama persis dengan ucapan Ansel tadi siang. Wanita itu menyimpan dendam rupanya. Tentu saja, orang gila mana yang tidak dend
Benarkah Mimi yang bicara begitu pada Adara? Benarkah Mimi memasang tampang seolah dia berhak atas bisnis keluarga orang tuanya itu? Benarkah Mimi seolah tidak menghormati Adara sebagai kakak tertua?Adara speechless. Jujur dia tidak pernah menyangka kalau Mimi akan menyinggung masalah kantor ataupun saham yang dimiliki orang tuanya. Ada apa ini? Apa mungkin Mimi dipaksa oleh orang tuanya? Tapi kalau dipaksa harusnya raut wajah wanita itu bukannya menyetujui tapi lebih pada kecemasan kalau Adara tersinggung. Adara bangkit, "Duduklah! Kapan kamu sampai? Kok kamu nggak bareng sama tante?"Mimi terpaksa duduk, dia memilih ruang kosong di samping mamanya. "Aku langsung datang kok waktu Mama minta aku ke sini, Kak. Aku tadi parkir mobil dulu. Ngomong-ngomong kak Adara belum jawab pertanyaanku.""Tunggu dulu! Masalah kantor nggak bisa semudah itu dong aku berikan sama kamu. Kamu aja belum berpengalaman. Kecuali kalau kamu bisa meng-handle semuanya, aku baru melepaskan jabatanku. Jadi, bela
"Gila! Kamu sengaja menjebakku kan?" hardik Mimi emosi. Sisa-sisa air matanya masih ada, dia meringkuk di dalam selimut yang sejak semalam menaungi tubuhnya. Mau marah juga percuma karena dia sudah terlanjur basah. [Kamu cukup bikin Adara kesal]"Kesal? Maksudnya?" [Aku tahu kok kalau kamu dan Adara punya masalah soal warisan dan aku tahu kalau kalian nggak sepaham. Jadi, coba rebut posisi Adara, bikin dia kesal dan jadi miskin]"Miskin? Kak Emma nggak tahu kan kalau tanpa jadi direktur kak Dara tetap punya banyak uang. Please, jangan buat aku jadi musuh dalam selimut. Aku nggak suka membenci kak Dara," pintu Mimi memelas. Dia menyayangi Adara selayaknya saudara kandung. Apa jadinya kalau dia dan Adara bermusuhan hanya karena masalah warisan?[Aku nggak peduli apa yang kamu katakan. Kalau kamu nggak mau video ini tersebar, sebaiknya lakukan apa yang aku mau. Aku harus dengar kabar baik dari kamu dalam waktu dua Minggu atau cuplikan yang paling hot akan tersebar di media sosial] Mim
Mendengar istrinya mual, Ansel segera membatalkan niatnya untuk memberi perhitungan pada Marina. "Tuh kan, kamu pasti banyak pikiran sampai kamu mual begini. Ayo istirahat saja di kamar."Adara bersyukur karena dia mengeluarkan suara perutnya di saat yang tepat. Dia berhasil menghentikan suaminya untuk melabrak Marina dan juga Mimi. "Makanya kamu jangan pergi."Sedikit ucapan manja berhasil membuat Ansel meredam amarahnya. "Maaf ya. Aku temani. Apa perlu kita panggil dokter?"Adara tidak merasakan sesuatu yang berlebihan. "Nggak perlu sepertinya. Aku hanya butuh istirahat.""Ya udah." Dengan telaten Ansel menggiring istrinya untuk naik ke lantai dua. Dia sangat berhati-hati pada setiap langkah istrinya agar istrinya tidak terjatuh. Padahal Adara merasa tubuhnya baik-baik saja kecuali perutnya yang tiba-tiba memberontak. "Tidurlah! Aku ambilkan susu hangat," ucap Ansel setelah membaringkan istrinya ke tempat tidur. "Jangan!" cegah Adara."Maksudnya jangan ambilkan susu?""Iya. Aku m
"Apa sih maksudnya? Kenapa kakak malah menuduhku? Harusnya yang kakak usir itu sekretaris Kakak itu yang tidak benci mengerjakan pekerjaannya," elak Mimi. Jebakan yang dibuat oleh Emma tidak bisa dia hindarkan begitu saja. Meskipun dia takut pada kemarahan Adara, dia harus menahan diri untuk tetap berada di sana. "Intinya aku nggak mau dia jadi sekretaris aku."Adara meminta Gina untuk pergi dari sana. Sementara dia mengambil tempat duduk di depan saudaranya itu. "Kamu nggak sadar apa yang sudah kamu lakukan? Kamu nggak punya pilihan untuk memecat siapapun di kantor ini. Terlebih kinerja kamu yang benar-benar di bawah mereka.""Aku tersinggung ya, Kak, kalau Kakak bilang begitu," ucap Mimi pura-pura kesal. Namun dia tidak sepenuhnya berpura-pura Karena sejujurnya dia tidak suka Adara membela orang lain ketimbang dirinya. Sejak Mimi berada di kantornya, Adara lebih sering menghela nafas berat. Entah sudah berapa kali hari ini dia menghembuskan nafas kesalnya. "Tolonglah, kalau kamu di
Ansel agak terkejut mendengar penuturan istrinya. "Kenapa tiba-tiba? Tunggu, aku nggak perlu tanya soal ini. Siapa yang mengancam kamu?""Nggak ada yang mengancamku kok, Sel. Tapi aku cuma kepikiran aja. Kasihan Mimi kalau dia nggak bisa mendapatkan apa yang dia mau. Dia kan baru pertama kali ini menginginkan sesuatu, jadi aku sebagai kakak yang baik sebisa mungkin harus memberikan apa yang dia mau. Lagi pula ini kan cuma bisnis. Aku bisa melihat dari jauh kok. Nenek juga pasti menyetujui keinginanku ini," jelas Adara bijak. Dia berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya dengan merelakan bisnis yang memang bukan hanya untuknya.Ansel diam. Sejujurnya dia tidak rela istrinya melepaskan apa yang dia kembangkan selama ini. Namun, Adara pasti punya alasan khusus kenapa dia mengubah keputusannya. "Coba pikirkan lagi selama beberapa hari ini supaya kamu lebih yakin," ucap Ansel sembari mengelus bahu istrinya. Adara mengangguk, "Iya, Sel."Ansel terlihat melamunkan sesuatu. "Sayang.""Hem