Share

Amira hilang tanpa kabar.

Author: Embun Senja
last update Last Updated: 2025-07-21 00:18:50

Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan.

“Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik.

Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?”

Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya.

Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira.

Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli.

“Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin.

“Maafkan Papa, Erick… sampai hari ini dia belum juga kembali,” ucap Malik sambil memijat pelipisnya yang terasa berat.

Suzan menatap Erick. “Kamu terakhir ketemu Amira di mana?” tanyanya hati-hati, padahal ia sudah tahu semuanya dari putrinya. Ia hanya berpura-pura tak tahu tentang kelakuan Erick di belakang Amira.

Erick menjawab gugup, “Di pusat perbelanjaan. Amira sempat telepon, katanya lagi milih buah.”

Hari pun berlalu tanpa kepastian. Hingga malam tiba, tak ada kabar sedikit pun dari Amira.

Begitu Erick keluar dari rumah itu, seseorang telah menunggunya sejak tadi. Miranda, wanita yang diam-diam menjalin hubungan dengannya langsung menarik kerah bajunya dengan kasar.

“Apa yang kau lakukan di dalam?” desis Miranda dengan tatapan tajam.

“Tenang, Sayang… Aku cuma pura-pura peduli. Biar mereka nggak curiga. Yang aku butuhkan cuma bagian dari warisan Amira.” Erick tersenyum licik, lalu mencium bibir Miranda.

Miranda terkekeh puas. “Kau memang brengsek yang cerdas. Lakukan saja, selama itu menguntungkan kita!”

Di sisi lain kota, di sebuah rumah sakit, Amira perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram, semua terasa asing. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi tubuhnya begitu lemah, wajahnya pucat pasi.

Di samping tempat tidurnya, Oliver duduk setia, menggenggam tangan Amira yang dingin.

“Amira… kamu udah bangun?” bisiknya lembut sambil membelai rambut gadis itu.

Namun Amira tak menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap jendela dengan tatapan kosong. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Sikapnya jelas. Ia tak sudi melihat Oliver, seolah menolak kenyataan bahwa lelaki itu ada di sana.

"Berikan ponselku," ucap Amira lirih sambil menengadahkan tangan ke arah Oliver.

Namun Oliver hanya mengelus lembut tangan itu, tanpa memberikan jawaban langsung.

"Ponselmu kusimpan baik-baik. Nanti, saat kamu sudah pulih, akan langsung kuberikan padamu."

Amira tak merespons. Ia terlalu lelah untuk melawan atau sekadar membuka suara.

Rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya seolah membungkam segalanya. Apa pun yang dikatakan Oliver tak lagi ia gubris. Ia pasrah pada keadaannya sekarang, meskipun amarah dan benci masih membara di dalam hatinya.

Sementara itu, di kantor Malik, ayah Amira.

Erick masih bertahan hingga malam. Pikirannya dipenuhi satu hal: menemukan Amira secepat mungkin.

"Jika aku terlambat, aku tidak akan pernah mendapatkan apa yang selama ini kuinginkan," batinnya sambil menggenggam erat sebuah map biru.

Dalam hatinya, ia bertekad untuk segera menemukan Amira dan menikahinya.

Namun satu masalah mengganjal ia bahkan tak tahu harus memulai pencarian dari mana.

"Berikan obat ini untuk istrimu, supaya ia cepat sembuh," ucap seorang perawat sambil menyerahkan obat pada Oliver.

Oliver menerima obat itu dan menggenggamnya erat. Matanya menatap Amira yang tertidur lemah di ranjang. Sejak pagi hingga malam, wanita itu tak menyentuh makanan sedikit pun.

"Amira harus makan. Jika tidak, bagaimana bisa ia minum obat?" batinnya cemas sambil mengelus pelan lengan Amira yang masih terasa dingin.

"Bangunlah, Amira... kau harus minum obat, demi anak kita," bisiknya lembut, nyaris putus asa.

Amira tidak menunjukkan reaksi apa pun hingga akhirnya, untuk pertama kalinya sejak pagi, matanya terbuka saat Oliver kembali membangunkannya.

Dengan bantuan dua bantal yang menopang punggungnya agar bisa bersandar, Amira perlahan duduk. Oliver menyuapinya, menyodorkan makanan dan obat di tangannya.

Namun hanya sesaat setelah menyentuh bibirnya, Amira langsung membuang makanan dan obat itu ke lantai. Wajahnya menegang, dan sorot matanya menyalah marah menatap Oliver.

"Lebih baik aku mati... daripada melihat wajahmu lagi," desisnya penuh kebencian.

Oliver hanya diam. Ia menunduk, memungut serpihan makanan dan pil yang berserakan di lantai, lalu membersihkannya perlahan tanpa membalas sepatah kata pun.

"Jika kau tidak makan... bayi kita akan lemah," ucapnya pelan, nyaris lirih. Suaranya mengandung luka yang tak terlihat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Perhatian dan Cinta Oliver

    Dua hari kemudian. Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya. "Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah. "Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng. Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa. Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek. "Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir." Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya. Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya deng

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Kenangan Yang Menyakitkan.

    Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver. Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat. Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos. Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri. Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, t

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Amira hilang tanpa kabar.

    Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan. “Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik. Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?” Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya. Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira. Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli. “Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin. “Maafkan

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Luka yang Tak Terucap

    Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira. Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarka

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Ingin Kumiliki Dirimu

    Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua. Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam.

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Tak Sengaja Bertemu

    Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini. Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya. Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka. Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir. "Itu dia." Oliver segera melangkah mendekati Amira. “Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak. Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status