Share

Perhatian dan Cinta Oliver

Penulis: Embun Senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-21 11:34:28

Dua hari kemudian.

Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya.

"Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah.

"Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng.

Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa.

Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek.

"Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir."

Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya.

Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya dengan air dingin, setelah dua hari tak menyentuh air sama sekali. Tanpa terasa, ia menghabiskan waktu hampir satu jam di dalam.

Sementara itu, Amira duduk di sofa. Ia benar-benar terjebak. Semua akses keluar sudah dikunci. Ia tak tahu bagaimana cara kabur. Bahkan, untuk sekadar berpikir pun, ia merasa hampa.

Di sisi lain, Malik mulai kehabisan kesabaran. Sudah seminggu sejak Amira menghilang di supermarket. Ia akhirnya memutuskan melaporkan ke polisi.

Erick ikut bersamanya ke kantor polisi. Sebagai pria yang masih dipercaya Malik untuk menjaga Amira, Erick tak punya pilihan selain pura-pura peduli. Padahal, dalam hati, ia sama sekali tak berniat menemukan Amira. Tapi demi warisan itu, ia harus memainkan perannya dengan baik.

“Cari di mana pun Amira berada. Aku tidak mau orang lain tahu kalau dia tidak pulang ke rumah,” perintah Malik pada ajudannya.

Malik, seorang pengusaha sukses yang mampu bersaing dengan perusahaan besar, tidak ingin menanggung malu jika publik tahu putrinya hilang tanpa jejak.

“Tidak boleh ada media yang tahu putriku meninggalkan rumah,” ulangnya sekali lagi.

Wajah Erick tampak penuh penyesalan, sangat meyakinkan jika ia dirundung kesedihan mendalam. Ia tahu caranya menyembunyikan kebusukan di balik topeng simpati.

“Maafkan aku, Pa. Aku nggak becus jaga Amira.”

“Ini bukan salahmu. Amira memang keras kepala.”

Erick tersenyum kecil. Ia merasa aman. Malik tidak tahu penyebab sebenarnya mengapa Amira kabur dari rumah.

“Selama Papa tidak tahu apa yang kulakukan, aku aman, hubungan ku dengan Miranda tidak akan tercium jika aku tetap berpura-pura peduli,” batinnya sambil tersenyum penuh kemenangan.

Saat Oliver keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan aroma tubuhnya sangat menggoda. Ia hanya mengenakan handuk kecil yang melilit di pinggangnya.

Amira refleks sedikit menjauh. Ia tidak ingin Oliver mengira dirinya wanita yang tengah mengincarnya.

Oliver hanya tersenyum tipis, lalu berjalan ke arah lemari. Ia mengambil kaus putih dan celana jeans hitam yang pas dengan postur tubuhnya. Meskipun ia tampak gagah dan berkarisma, bagi Amira, ia tetaplah monster yang menakutkan.

"Amira, aku ingin membawamu keluar jalan-jalan, supaya kau tidak merasa pusing," ucapnya dengan nada lembut.

Amira tidak menjawab. Ia tetap diam di sofa, menahan amarah yang mulai menumpuk di dadanya. Tapi Oliver tiba-tiba menggenggam tangannya, membuat Amira spontan menatapnya dengan tatapan tajam, seolah menyuruh pria itu untuk melepaskannya.

Namun genggaman Oliver semakin erat.

"Ayo pergi," katanya tegas.

Tidak ada kata penolakan, Amira digenggam seperti menggenggam tangan anak kecil.

Tiba di salah satu mall, Amira tidak mau turun dari mobil, kepalanya terasa pusing, perutnya mual, ia hanya berdasar di sebelah kemudi.

Oliver mengerti, ia terlalu memaksa untuk membawa Amira keluar, sedangkan Amira baru saja pulih.

"Aku yang akan keluar membeli kebutuhanmu, tunggu di dalam, jangan ke mana-mana."

Saat Oliver Giroud melangkah keluar dari mobil, ia tidak membiarkan ada akses untuk Amira melarikan diri.

Ia mengunci pintu mobilnya.

Amira tidak peduli dengan apa yang dilakukan Oliver, pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju pada seorang wanita yang berambut panjang. Baginya, wanita itu tidak asing. Jantungnya berdegup kencang, ia berusaha membuka pintu mobil tapi tidak bisa dibuka.

Seperti ia pernah melihat wanita itu.

"Ya Tuhan… dia..."

Jantungnya semakin berdegup, hingga keringat dingin membasahi wajahnya.

Oliver yang baru saja masuk ke dalam mobil melihat Amira sudah pucat, penuh keringat.

Ia panik. Takut. Rasa itu menggebu di hatinya.

"Ada apa denganmu, Amira?"

Amira tidak menjawab. Pandangannya tetap terpaku ke luar jendela, ke arah sosok wanita berambut panjang yang kini menghilang di antara kerumunan.

"Amira... jawab aku. Kamu kenapa?"

Gadis itu perlahan menoleh, bibirnya gemetar, dan matanya berkaca-kaca. "Aku mengenalnya... aku yakin itu dia..." bisiknya, nyaris tak terdengar.

Oliver menegang. "Siapa maksudmu?"

Amira tidak menjawab. Ia hanya menunduk, kedua tangannya meremas ujung bajunya dengan tubuh gemetar. Entah karena takut... atau karena ingatan masa lalu yang baru saja terbuka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Perhatian dan Cinta Oliver

    Dua hari kemudian. Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya. "Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah. "Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng. Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa. Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek. "Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir." Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya. Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya deng

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Kenangan Yang Menyakitkan.

    Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver. Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat. Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos. Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri. Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, t

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Amira hilang tanpa kabar.

    Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan. “Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik. Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?” Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya. Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira. Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli. “Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin. “Maafkan

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Luka yang Tak Terucap

    Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira. Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarka

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Ingin Kumiliki Dirimu

    Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua. Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam.

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Tak Sengaja Bertemu

    Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini. Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya. Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka. Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir. "Itu dia." Oliver segera melangkah mendekati Amira. “Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak. Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status