Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira.
Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarkan kemarahan Amira mengalir seperti badai yang menabrak karang. Oliver bangkit dan masuk ke kamar mandi. Tubuhnya sendiri terasa lengket, masih dibalut keringat dan sisa semalam. Ia membersihkan diri tanpa sepatah kata pun, lalu menghangatkan air untuk Amira. Ia tahu... tak ada kata yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi. Sementara itu, Amira hanya terduduk di tepi ranjang. Pandangannya kosong. Dadanya sesak. "Dosa apa yang telah aku lakukan, Tuhan?" bisiknya lirih. Matanya berkaca-kaca. "Kenapa hidupku berubah jadi seperti ini sejak bertemu pria itu… di pusat perbelanjaan?" Ia melangkah pelan ke kamar mandi dengan tubuh lemas. Berdiri di bawah pancuran, air hangat jatuh ke kulitnya… tapi rasanya seperti pisau. Ia menggosok tubuhnya berulang kali, seolah bisa menghapus semua luka, semua kotoran, semua trauma yang tertinggal di kulit dan jiwanya. Tapi tak ada yang benar-benar hilang. Hanya perih yang semakin terasa. Oliver menunggu di luar. Hampir setengah jam berlalu, namun suara air tetap terdengar. Tak ada tanda Amira akan keluar. Curiga, Oliver perlahan membuka pintu kamar mandi. Detik itu juga napasnya tercekat. Amira tergeletak di lantai. Tubuhnya pucat, wajahnya tanpa warna, dan kulitnya sedingin es. “Amira!” serunya panik, segera mengangkat tubuh lemah itu ke pelukannya. Dunia seolah berhenti berputar. Dan di tengah kepanikan itu, Oliver sadar. Ia telah melewati batas yang tak seharusnya ia sentuh. Oliver memakaikan kemeja putih miliknya ke tubuh Amira. Ukurannya tampak kebesaran di tubuh gadis itu, namun tak ada pilihan lain. Amira yang berusia 21 tahun itu duduk lemas, seperti seseorang yang telah kehilangan seluruh semangat hidupnya. Ia merasakan kematian saat tubuhnya masih bernapas. Tanpa banyak kata, Oliver mengangkat tubuh Amira dan membawanya ke rumah sakit. Wajahnya datar, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kecemasan. Sementara itu, di rumah keluarga Amira, suasana semakin mencekam. Sudah berhari-hari sejak kepergian gadis itu tanpa kabar. Malik, ayah Amira. Tak pernah berhenti mencarinya. Seluruh koneksi dan tenaga dikerahkan. Bahkan Erick Rocky, mantan tunangan Amira yang hubungannya berakhir tragis, turut serta membantu pencarian. “Ponselnya tidak bisa dihubungi,” ucap Malik pada istrinya, Suzan, dengan nada putus asa. “Terakhir aktif tiga hari lalu, tapi setelah itu... tidak pernah diangkat lagi.” Suzan memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh kekhawatiran. “Mungkin… mungkin dia sengaja menjauh. Pertunangannya gagal, bisa jadi dia masih sakit hati,” ujarnya pelan. Namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan kecemasan yang menggunung. Ia seorang ibu dan seorang ibu selalu tahu, jika ada yang tidak beres. Tiba di rumah sakit, kondisi Amira justru semakin memburuk. Tubuhnya yang semula pucat kini nyaris tak bercahaya, semakin dingin seolah membeku bersama salju yang turun di luar sana. Kedua matanya terpejam, napasnya lemah, dan detak jantungnya tak lagi stabil. Oliver menggenggam jemarinya yang dingin, gemetar dan diliputi rasa bersalah yang menggigit hingga ke tulangnya. "Maafkan aku, Amira... Maafkan aku... Semua ini tidak akan pernah terulang lagi," bisiknya lirih, nyaris seperti doa. Penyesalan menyelimuti hatinya tanpa ampun. Ia menyadari apa yang telah ia lakukan tak bisa dimaafkan ia telah memaksa, menyeret seorang gadis polos ke dalam gelap yang tak seharusnya ia jamah. Ia merusak hidup seseorang yang bahkan tak memiliki ikatan apa pun dengannya. Dan kini, gadis itu terbaring nyaris tak bernyawa di ranjang rumah sakit, karena keegoisannya. Amira segera mendapatkan pertolongan medis begitu tiba di rumah sakit. Tim dokter langsung menangani tubuhnya yang semakin dingin, memasangkan selang infus dan memeriksa detak jantungnya yang lemah. Di balik semua itu, Oliver tak beranjak sedikit pun dari sisi ranjang. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah pucat Amira yang terkulai lemah. Ia tak peduli pada suasana rumah sakit yang ramai atau denting alat-alat medis yang berdenting keras di telinganya satu-satunya yang ia pikirkan hanya satu, Amira harus selamat. Seorang dokter menghampirinya dengan raut serius. "Dia istrimu?" tanyanya sambil memeriksa kondisi Amira dengan cepat namun teliti. Pertanyaan itu membuat dada Oliver mencelos. Ia terdiam, gugup, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menunduk, lalu perlahan mengangguk pelan, seolah mengatakan iya meski di dalam hatinya, kebohongan itu terasa seperti beban lain yang menusuk. Dokter menghela napas pelan. "Istrimu terlalu lelah," ucapnya. "Dalam kondisi hamil muda seperti ini, seharusnya dia banyak istirahat dan menghindari tekanan. Tapi sepertinya dia kelelahan secara fisik dan mental." Hamil muda. Kata itu menggema di kepala Oliver, menghantamnya seperti badai. Tubuhnya menegang. Ia menoleh ke arah Amira yang masih terbaring lemah, tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi, bibirnya nyaris tak berwarna. Dan dia, harusnya aku tidak melakukannya lagi. Bahkan belum sadar kalau saat ini ia berada di rumah sakit. Sementara Oliver kini harus menghadapi satu kenyataan yang membuat napasnya tercekat Amira dalam kondisi yang lemah.Dua hari kemudian. Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya. "Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah. "Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng. Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa. Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek. "Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir." Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya. Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya deng
Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver. Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat. Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos. Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri. Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, t
Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan. “Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik. Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?” Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya. Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira. Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli. “Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin. “Maafkan
Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira. Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarka
Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua. Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam.
Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini. Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya. Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka. Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir. "Itu dia." Oliver segera melangkah mendekati Amira. “Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak. Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.