Share

Kenangan Yang Menyakitkan.

Author: Embun Senja
last update Last Updated: 2025-07-21 10:25:49

Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver.

Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya.

Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat.

Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos.

Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri.

Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, tapi ia tahu… Amira tidak ingin disentuh, apalagi oleh dirinya.

“Amira…” bisiknya lirih, penuh penyesalan. “Aku hanya ingin kau kembali sehat.”

Namun yang terdengar hanya isak tangis Amira, dan sunyi yang menggema di dalam hati mereka berdua.

Erick masih terus mencari keberadaan Amira, meskipun Miranda terang-terangan tidak setuju. Tapi demi warisan milik Amira, Erick tak peduli. Ia tetap mencarinya dengan penuh ambisi.

“Biarkan saja orang tuanya yang mencari! Aku tidak mau kau terus-terusan mengkhawatirkan perempuan itu,” ucap Miranda dengan nada menggoda, sambil mengelus dada Erick dengan ujung telunjuknya. Ia menyeringai, mencoba menarik perhatian Erick.

Erick hanya mendesah pelan. Biasanya ia akan membalas godaan Miranda, tapi kali ini pikirannya dipenuhi oleh satu hal, Amira. Ia tahu, jika terlalu lama, semuanya bisa terlambat.

Di sisi lain, Oliver masih berusaha bicara dengan Amira. Namun Amira tak menggubris, ia terus menangis dalam diam. Sesak di dadanya tak tertahankan.

“Hidupku hancur oleh pria yang kucintai dan sangat ku percaya… dan sekali lagi, aku dihancurkan oleh orang asing. Sampai-sampai aku tak sanggup melihat diriku sendiri,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Air mata terus membasahi pipinya. Tubuhnya semakin lemah dan dingin. Mual di perutnya membuatnya nyaris muntah, seolah semua cairan di tubuhnya ingin keluar.

Oliver membuka kemejanya, tersisa kaos hitam ketat yang membalut tubuh atletisnya. Biasanya, pesona seperti itu mampu meluluhkan banyak wanita.

Tapi tidak dengan Amira.

Baginya, Oliver adalah monster dalam wujud manusia.

Saat Amira melihat kemeja Oliver jatuh ke lantai, matanya membelalak. Seketika tubuhnya berbalik cepat, menatap Oliver dengan penuh kewaspadaan dan ketakutan. Ia tidak ingin disentuh lagi oleh pria asing itu, tidak setelah semua yang terjadi.

"Menjauh dariku," desisnya tajam, suara yang biasanya lembut kini dipenuhi kemarahan dan trauma.

Amira menatapnya penuh kebencian, sementara Oliver hanya diam, memandangi wajah Amira dengan sorot mata yang sendu dan bersalah.

Amira berusaha duduk, tangannya menopang tubuh yang mulai lemah. Namun detik berikutnya, ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk, tak berdaya. Refleks, Oliver segera menangkapnya sebelum jatuh membentur lantai.

Mata mereka bertemu. Pandangan mereka terkunci dalam keheningan yang sunyi, menciptakan ruang tak kasat mata yang dipenuhi ketegangan. Seolah waktu berhenti, dan semesta seakan memihak pada Oliver, pria muda dengan karisma mematikan, CEO yang dielu-elukan banyak wanita.

Wajah mereka begitu dekat. Aroma tubuh Amira yang lembut dan khas memenuhi indera penciuman Oliver.

Plak.

Satu tamparan keras mendarat di pipi Oliver. Suara tamparan itu bergema di ruangan yang hening.

"Keluar dari sini!" teriak Amira dengan suara gemetar namun tegas.

Oliver terdiam. Anehnya, tamparan itu tak terasa menyakitkan. Bagi pria sepertinya yang jarang mendapat penolakan, itu justru terasa seperti luka manis, seolah Amira menyentuhnya dengan sisi yang paling jujur.

Ia menunduk sejenak, lalu berkata lirih, "Tenanglah, Amira. Aku tidak akan menyakitimu aku hanya ingin menjaga mu."

“Pergi dari sini, atau yang akan kau lihat hanyalah tubuhku berubah menjadi mayat.”

Ucapan Amira terdengar lirih, tapi keras seperti tamparan bagi Oliver. Sorot mata gadis itu penuh luka, membuat Oliver terdiam dalam kekalutan.

Sudah berhari-hari mereka bersama dalam ketegangan dan kebencian, namun tak satu pun dari mereka benar-benar menang.

Dan selama itu pula, Amira belum pulang ke rumah.

Tangisnya meledak.

“Mama… tolong Ami…”

Isaknya pelan, tapi terasa menghujam. Ia hanya ingin pergi, ingin bebas dari cengkeraman takdir yang menjebaknya pada pria ini.

Tapi nyatanya, Oliver tak ingin melepaskannya. Ia ingin tetap memiliki Amira apapun yang terjadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Perhatian dan Cinta Oliver

    Dua hari kemudian. Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya. "Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah. "Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng. Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa. Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek. "Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir." Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya. Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya deng

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Kenangan Yang Menyakitkan.

    Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver. Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat. Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos. Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri. Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, t

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Amira hilang tanpa kabar.

    Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan. “Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik. Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?” Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya. Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira. Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli. “Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin. “Maafkan

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Luka yang Tak Terucap

    Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira. Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarka

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Ingin Kumiliki Dirimu

    Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua. Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam.

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Tak Sengaja Bertemu

    Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini. Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya. Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka. Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir. "Itu dia." Oliver segera melangkah mendekati Amira. “Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak. Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status