Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua.
Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam. “Hentikan omong kosongmu itu.” Namun Oliver justru mendekatkan diri. Tangannya meraih jemari Amira yang gemetar. "Aku yang melakukannya… dan aku akan bertanggung jawab atas apa yang kamu rasakan sekarang. Bagaimanapun juga, itu adalah anakku!" ucapnya lantang. "Aku telah memasukkan sesuatu ke dalam rahimmu berkali-kali… dan kini, itu tumbuh di dalam tubuhmu." Tubuh Amira gemetar hebat. Ia merasa ingin muntah. Kepalanya berdenyut, dada sesak, dan kedua lututnya nyaris tidak mampu menopang tubuhnya lagi. Kemarahan itu mencapai puncaknya, dan tanpa sadar, tangan kanannya melayang menampar wajah Oliver keras-keras. Plak! Suara tamparan menggema di ruangan yang sepi itu. Wajah Oliver menoleh akibat hantaman, tapi genggaman tangannya tetap erat di tangan Amira. Untuk sesaat, tak ada yang bicara. Hanya deru napas Amira yang terdengar, terengah dan penuh rasa benci. Oliver menatap Amira yang kini terlihat pucat. Untuk pertama kalinya, pria itu benar-benar jatuh hati pada seorang wanita muda. "Jika saja kau tidak memintaku melakukannya malam itu, mungkin hanya kehormatanmu yang hilang, bukan sesuatu yang tumbuh di rahimmu. Aku sudah bertemu ratusan wanita dalam hidupku, entah mengapa justru kau yang kuinginkan," ucap Oliver lirih. Saat Amira hendak meninggalkan kafe itu, tubuhnya limbung dan jatuh. Tanpa berpikir panjang, Oliver segera mengangkat tubuhnya lalu membawanya ke mobil mewah berwarna silver miliknya. Tangannya tak lepas menggenggam jemari Amira yang basah oleh keringat dingin. Wajahnya menegang. "Tolong jangan buat aku jadi lemah, Amira," gumamnya sambil menyetir cepat. Hanya butuh sepuluh menit dari kafe hingga mereka tiba di sebuah penthouse milik keluarga Oliver. Ia segera membopong Amira masuk, membaringkannya di atas ranjang kamar utama, lalu menelpon dokter langganan untuk segera datang memeriksa kondisi Amira. Sesampainya dokter di penthouse, ia langsung memeriksa keadaan Amira yang masih tak sadarkan diri. “Dia hanya kelelahan dan butuh istirahat total. Jangan membuatnya stres atau panik, itu bisa berbahaya,” pesan sang dokter sebelum memberikan beberapa obat lalu pergi. Oliver duduk di sisi tempat tidur, menatap wajah Amira yang tenang. Rasa khawatir membuatnya enggan beranjak. Hingga satu jam berlalu, Amira perlahan membuka matanya. Oliver langsung menarik tubuhnya dalam pelukan. Namun Amira mendorongnya dengan panik. “Jangan dekati aku! Kenapa kau menculik ku?!” teriaknya, matanya liar menatap langit-langit dan dinding yang asing. Ia langsung membuka selimut yang menutupi tubuhnya, memeriksa pakaiannya dengan napas memburu. Masih utuh. Tak ada yang terbuka. “Tenang saja. Aku tidak akan menyentuhmu saat kau tak sadarkan diri. Itu... tidak menggairahkan bagiku,” bisik Oliver dengan nada menggoda. Amira memucat. Wajahnya memerah karena marah, malu, dan bingung bercampur jadi satu. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya kembali melemah dan jatuh tepat ke dalam pelukan Oliver sekali lagi. Oliver berusaha membaringkan Amira, ia duduk di sampingnya sambil menatap wajah Amira yang pucat. Saat ia fokus pada wajah Amira, ingatan tentang malam itu membuatnya berkeringat. Sesuatu yang seharusnya tidak ia inginkan terjadi tidak bisa ia kontrol. Sesuatu di antara pahanya mengeras, nafasnya memburu, tubuhnya tak bisa ia kendalikan. Akhirnya ia melucuti pakaian Amira, membuangnya di lantai tanpa izin. Sekali lagi, Oliver mencium bibirnya, mencium leher Amira tanpa jeda, bibirnya turun ke payudara, lidahnya bermain disana hingga desahan dan suara yang berat keluar dari bibirnya. Ia menyentuh seluruh bagian tubuh Amira tanpa izin, hingga ia berpacu dengan kencang, ia meremas payudara Amira dengan lembut sekali lagi sesuatu yang hangat tumpah di dalam rahimnya. "Aku mencintaimu Amira," ucapnya lalu berbaring di samping Amira tanpa sehelai benang di tubuhnya. Tubuhnya penuh keringat, Amira masih belum sadarkan diri.Dua hari kemudian. Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya. "Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah. "Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng. Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa. Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek. "Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir." Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya. Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya deng
Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver. Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat. Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos. Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri. Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, t
Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan. “Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik. Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?” Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya. Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira. Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli. “Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin. “Maafkan
Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira. Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarka
Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua. Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam.
Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini. Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya. Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka. Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir. "Itu dia." Oliver segera melangkah mendekati Amira. “Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak. Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.