Share

Tak Sengaja Bertemu

Penulis: Embun Senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-20 14:54:58

Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini.

Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya.

Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya.

Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka.

Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir.

"Itu dia."

Oliver segera melangkah mendekati Amira.

“Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak.

Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.

Amira memalingkan wajahnya sejenak, berharap pria itu pergi tanpa mengganggunya. Ia tidak mengenali siapa Oliver, bahkan wajahnya pun tampak asing baginya. Tapi entah kenapa, pria itu bersikap seolah mereka sudah pernah bertemu. Bahkan nada suaranya terdengar begitu yakin, seperti sedang berbicara dengan seseorang yang sangat ia rindukan.

"Aku bilang, kau sedang apa di sini?" ulang Oliver, kini lebih mendekat. Suaranya rendah tapi cukup tegas.

Amira menatapnya sejenak, lalu kembali melihat buah di hadapannya. "Maaf, saya rasa Anda salah orang." Jawab Amira dengan sangat cuek.

Oliver mengernyit. Tatapan Amira tampak benar-benar asing, seolah wanita itu memang tak pernah melihatnya seumur hidupnya. Tapi Oliver tahu ia yakin seratus persen, wanita di hadapannya ini adalah gadis yang sama. Gadis mabuk satu bulan lalu di acara malam liar itu. Gadis yang terus menghantui pikirannya.

"Aku tidak salah orang. Kau Amira, kan?"

Amira menatapnya, sedikit kaget. “Dari mana kau tahu namaku?”

"Karena aku mencari mu selama sebulan penuh."

Nada suara Oliver membuat dada Amira terasa sesak. Tapi ia tidak tahu kenapa. Ia tidak ingat pernah bertemu pria ini sebelumnya, apalagi sampai memberi tahu namanya.

"Kau salah. Aku rasa lebih baik kita tidak berbicara," ucap Amira cepat-cepat. Ia mengambil minuman dingin dan mendorong troli menjauh. Tapi langkahnya tertahan begitu cepat.

“Sebentar…” Oliver menggenggam ujung troli. "Aku tahu kau mungkin tidak ingat apa pun. Tapi aku ingat segalanya. Malam itu…"

Amira menegang. Kata “malam itu” seketika membuat darahnya berdesir. Ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di malam saat ia mabuk berat, kecuali rasa sakit yang ia rasakan keesokan harinya. Dan sejak itu, hidupnya berubah. Ia hamil… tanpa tahu siapa ayah dari bayi yang ia kandung, semua itu karena Erick mengkhianatinya.

"Jangan bicara tentang itu," potong Amira cepat, wajahnya memerah entah karena marah atau malu. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, dan aku tidak ingin tahu, menjauh lah dariku."

"Aku tidak ingin menyakitimu, Amira," ucap Oliver dengan suara yang jauh lebih pelan. "Aku hanya ingin bicara. Lima menit saja."

Amira menggeleng. "Aku harus pergi."

Ia mendorong troli dengan cepat, menjauh dari Oliver, tapi pria itu terus mengikuti. Bukan dengan sikap memaksa, namun seperti seseorang yang merasa bertanggung jawab. Ia tahu ada sesuatu dalam diri Amira, wajah pucat itu, tubuh yang sedikit lemah, langkah yang kadang tidak stabil semuanya menyiratkan bahwa ada yang berubah. Karena pertemuan pertama itu Amira sungguh bugar meskipun sedang mabuk.

Hingga akhirnya…

Oliver menarik napas panjang. “Kau hamil?”

Langkah Amira terhenti.

Jantungnya berdetak kencang. Tangannya yang memegang botol air gemetar. Ia tak pernah mengatakan ini pada siapa pun. Bahkan ibunya. Bahkan Malik, ayah yang selama ini keras namun selalu berusaha menjaga martabat keluarga.

"Siapa kau sebenarnya?" bisik Amira tanpa menoleh.

"Aku orang yang menghabiskan malam bersamamu, sebulan yang lalu."

Tubuh Amira bergetar.

Kata-kata itu membelah kenyataan yang selama ini ia coba tolak. Ia memang tidak tahu siapa yang menyentuhnya malam itu. Tapi jika pria ini berkata benar!?

"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku malam itu. Tapi jika kau memang benar maka kau telah menghancurkan hidupku," bisik Amira lirih, hampir tak terdengar.

Oliver mengatupkan rahangnya. Ia tahu semua ini tidak mudah diterima. Tapi ini kenyataan. Dan mungkin, ia harus bertanggung jawab.

"Kalau kau mau, kita bicara di tempat lain. Aku akan dengar semuanya darimu. Aku akan membantu."

Amira menoleh cepat, matanya berkaca-kaca. "Kau pikir bantuanmu akan memperbaiki segalanya?"

Oliver menunduk. “Tidak. Tapi mungkin ini awal untuk memperbaiki yang telah salah.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Perhatian dan Cinta Oliver

    Dua hari kemudian. Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya. "Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah. "Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng. Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa. Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek. "Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir." Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya. Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya deng

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Kenangan Yang Menyakitkan.

    Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver. Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat. Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos. Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri. Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, t

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Amira hilang tanpa kabar.

    Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan. “Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik. Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?” Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya. Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira. Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli. “Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin. “Maafkan

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Luka yang Tak Terucap

    Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira. Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarka

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Ingin Kumiliki Dirimu

    Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua. Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam.

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Tak Sengaja Bertemu

    Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini. Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya. Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka. Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir. "Itu dia." Oliver segera melangkah mendekati Amira. “Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak. Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status