Se connecterBrielle kembali ke kantor. Cherlina masuk dengan membawa dua gelas kopi. "Nih, aku bawain satu buat kamu sekalian."Brielle menerima kopinya. "Terima kasih.""Bunga ini cantik juga ya." Cherlina mengagumi buket itu.Namun bagi Brielle, bunga itu terasa sangat menjengkelkan. Dia berkata kepada Cherlina, "Kamu mau rawat? Aku kasih ke kamu saja.""Benarkah?" Mata Cherlina langsung berbinar. Bunga seperti ini kalau dirawat bisa bertahan lebih dari sepuluh hari."Ya, aku nggak punya waktu untuk urus. Kamu ambil saja." Brielle mengangguk sambil tersenyum.Cherlina pun senang sekali dan membawa bunga itu keluar. Brielle baru saja duduk ketika ponselnya berbunyi. Dia melihat layar. Lambert mengirim ucapan selamat.Hati Brielle terasa hangat. Dia tidak menyangka Lambert begitu cepat memperhatikan hal ini. Dia membalas dengan sopan.[ Terima kasih. ][ Mulai sekarang aku harus panggil kamu Profesor Brielle. ]Lambert menggodanya. Brielle menahan tawa kecil. Sebutan itu masih terasa baru, tetapi
Setelah Brielle dan Cherlina keluar dari kamar mandi, Faye menggigit bibir merahnya sambil bersandar pada wastafel. Dia mengejek, "Heh! Profesor? Dia sudah jadi profesor sekarang."Di sampingnya, Xena menghibur, "Faye, jangan khawatir. Kamu juga nggak akan kalah darinya."Rasa iri dalam hati Faye tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kehormatan yang diraih Brielle adalah sesuatu yang bahkan dia idam-idamkan dalam mimpi.Sekarang bukan hanya Brielle yang mendapatkannya, tetapi juga melalui cara seperti ini, semakin menunjukkan pencapaiannya yang luar biasa.Brielle kembali ke tempat duduknya. Madeline sedang mengangkat gelas. "Ayo, kita bersulang sekali lagi untuk Brielle.""Bersulang!" seru semua orang serempak.Faye juga kembali ke tempat duduknya. Selain terlihat kurang senang, dia tidak berkata apa-apa lagi. Bagaimanapun, Madeline ada di sana. Dia tidak boleh kehilangan wibawa sebagai muridnya.Jamuan makan siang selesai. Brielle memeluk bunga kembali ke kantor. Saat berpamitan den
"Alasan aku mengumpulkan semua orang hari ini adalah untuk mengumumkan sebuah kabar baik." Suara Madeline terdengar jelas dan lantang. "Melalui keputusan bulat dewan universitas, diputuskan untuk memberikan gelar profesor secara khusus kepada Brielle, juga merekrutnya sebagai dosen tamu di universitas kita."Begitu kalimat itu keluar, restoran hening selama beberapa detik, lalu disusul tepuk tangan meriah.Senyuman Faye membeku di wajahnya. Di tengah suara ucapan selamat dari semua orang, dia berbisik kepada diri sendiri, "Ini nggak mungkin ...."Cherlina adalah orang pertama yang memeluk Brielle yang duduk di sebelahnya. "Brielle, kamu luar biasa! Aku tahu hari ini pasti akan tiba! Aku tahu!"Rekan-rekan lain juga berdatangan memberi selamat. Harvis mengangkat gelas dan mendentingkan gelasnya ke gelas Brielle sambil memberi ucapan selamat. Seketika, Brielle dikelilingi semua orang seperti bintang yang menjadi pusat perhatian.Saat itu, seorang pelayan pengantar bunga berhenti di pintu
Brielle terkejut sampai refleks menutup bibirnya dengan tangan. Dia menatap surat pengangkatan itu dengan tidak percaya. Ujung jarinya sedikit bergetar.Universitas Medis Kota Amadeus adalah salah satu kampus kedokteran teratas di dalam negeri. Terlihat jelas seberapa berharganya surat ini."Ini ... ini terlalu mendadak." Brielle sama sekali tidak punya persiapan mental."Sedikit pun nggak mendadak." Madeline berkata dengan lembut, "Setiap paten yang kamu hasilkan semuanya berada pada tingkat terdepan kelas internasional. Dan performa uji klinis obat baru kali ini bahkan melampaui ekspektasi. Pihak kampus menilai kamu sepenuhnya memenuhi syarat untuk diberi gelar profesor secara khusus."Brielle membelai lambang universitas di atas surat itu. Dia teringat bahwa keinginan terbesar ayahnya semasa hidup adalah melihatnya meraih gelar profesor. Kini, pengakuan yang datang terlambat ini membuatnya dipenuhi perasaan yang tak terlukiskan."Hari ini aku yang traktir. Aku akan mengajak seluruh
"Nek, jangan alihkan topik. Pokoknya soal rujuk, aku orang pertama yang nggak setuju." Raline mengangkat tangan tinggi-tinggi.Emily mendengus. "Memangnya perlu persetujuanmu? Ini urusan kakakmu dan Brielle.""Itu makin nggak mungkin. Kakak nggak pernah menjilat ludah sendiri. Dia nggak cinta Brielle. Masa kalian semua nggak bisa lihat?" Raline mencoba menyadarkan neneknya."Sudahlah, baru pulang kok langsung bikin nenekmu kesal? Pergi mandi sana. Seluruh badanmu bau parfum." Meira kurang suka dengan bau parfum campuran di tubuh putrinya.Raline menjulurkan lidah. "Aku bilang yang sebenarnya. Kakak akhir-akhir ini sering kencan sama Kak Devina di Negara Danmark. Kalian malah suruh dia pulang buat rujuk. Mana mungkin!""Kamu yakin kakakmu dan Devina benar-benar kencan?" Emily langsung menoleh dan bertanya."Tentu saja, Kak Devina sendiri yang bilang ke aku. Mana mungkin bohong." Raline berkata dengan penuh percaya diri.Meira memberi isyarat dengan mata kepada putrinya, agar jangan teru
"Di perjalanan, Anya meletakkan pialanya di samping dan kembali bermain dengan mainannya. Brielle menoleh ke belakang dan melihat putrinya sama sekali tidak terlalu menggantungkan diri pada rasa bangga itu. Dia malah merasa sedikit lega, anak-anak seharusnya tetap memiliki sifat polos dan alami mereka.Kediaman Keluarga Pramudita.Baru saja selesai menonton siaran langsung, Meira dan Emily sangat gembira. Melihat Anya yang masih kecil bisa tampil tenang dan stabil di panggung, mereka merasa bangga luar biasa."Kenapa Devina juga ada di sana? Kenapa Raka mengundang dia untuk jadi juri?" tanya Emily dengan nada penuh keluhan.Meira juga bingung. Dia pikir Devina masih ada di Negara Danmark! Terakhir kali, putrinya juga bilang kalau Devina sedang berada di sana. Jadi, apakah benar Raka sengaja memanggil Devina pulang hanya demi menjadi juri lomba cucunya?"Aku juga nggak tahu. Tapi Anya tampil bagus sekali. Nanti mungkin saja ...."Namun ucapan Meira belum selesai, langsung dipotong oleh







