Share

Bab 2. Siapa yang datang?

"Buk Zafira, kok disini?" Kami berpapasan dengan seorang lelaki yang berpakaian Formal.

"Kamu siapa ya?" tanyaku dengan kening berkerut karena aku merasa tidak mengenalnya.

"Saya Jeffry Buk staff di Pt Zhafi Sejahtera. Semoga Ibu berkenan hadir di acara pernikahan saya nanti." Kata Jefry. Ternyata dia salah satu staff di perusahaan papa.

"Oh iya kebetulan saya ada urusan di sekitar sini. Insyaa Allah kalau ada waktu saya sempatkan hadir," jawabku basa basi. Ternyata  ini calon menantunya Budhe Siti yang katanya pekerja kantoran itu. Males jika harus menghadiri acara di rumah Budhe Siti.

"Terima kasih buk Zafira, saya masuk dulu. Mari Buk," pamitJeffry sambil mengangguk  sopan pada Ibu.

"Iyaa, silahkan," jawabku sambil menggandeng tangan ibu.

"Nak Jepri kok kenal sama kamu nduk?" tanya Ibu dengan wajah heran.

"Iya Buk, Jeffri kerja di perusahaan papa," jawabku sambil tersenyum pada Ibu.

"Oalah.. gitu ya, Nduk." Ibu menganggukan kepala.

*

*

*

"Sudah pulang Buk, Mbak?" Kami langsung disambut dengan pertanyaan dari Amira--Adiknya Mas Adnan--Suamiku.

"Sudah nduk," jawab ibu yang sudah berselonjor di lantai yang dilapisi karpet. Meskipun rumah ibu hanya berjarak beberapa meter dari rumah bude tapi cukup menguras tenaga juga buat ibu yang sudah tua.

"Amira bikinkan teh dulu ya, pasti nggak makan kan di sana?" ucap Amira sambil berlalu ke dapur membuatkan minum. Aku bergegas mengekor di belakang Amira. 

"Duduk dulu Nduk, kamu pasti lelah." Ibu mengajakku duduk di sampingnya. 

"Iya Buk, Zafira mau ke kamar mandi dulu sebentar," jawabku beralasan, sebenarnya aku hendak menyusul Amira. Kebetulan ke kamar mandi harus melewati dapur.

"Emang perlakuan budhe kayak gitu dek?" tanyaku pada Amira dengan suara berbisik karena takut kedengaran Ibu.

"Ya begitulah Mbak, dulu mereka yang membayarkan biaya rumah sakit Bapak, jadi ya kayak gitu perlakuan mereka pada kita."

"Beginilah hidup di kampung Mbak, orang kaya yang berkuasa dan di sanjung-sanjung, kita orang miskin akan selalu di pandang rendah dan diremehkan." Amira mengusap sudut matanya yang terlihat berkaca-kaca.

"Kok primitif sekali pemikiran orang-orang disini," ucapku sekenannya.

"Emangnya di kota nggak begitu kak?" tanya Amira sambil menuangkan air panas dari termos.

"Nggak tau juga sih dek," jawabku nyengir sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. 

"mbak nih ada-ada saja. ayo ke depan, nih tehnya sudah jadi." Amira tersenyum menanggapi.

"Kuy lah." Syukurnya aku mendapat adek ipar yang nggak julid kayak di film-film, jadi nggak perlu sungkan juga.

"Nih, diminum tehnya buk, mbak Fira juga minum dulu pasti haus kan." Amira meletakkan nampan yang berisi teh di atas karpet.

"Kok tau---Ahhh panas." Aku mengusap mulutku yang perih dengan tangan karena menyeruput teh yang masih panas.

"Piye tho Mbak, itu kan masih panas, mbok yo pelan-pelan." Amira menertawakanku yang kepanasan, sepertinya bibirku bakalan dower.

"Kok malah di ketawain si Mir, bukannya bantuin." Ibu terlihat panik langsung menangkup wajahku dengan telapak tangannya.

"Fira bercanda buk, nggak apa-apa kok ini," jawabku menenangkan ibu karena melihat kekhawatiran di wajah Ibu.

"Habisnya ekspresinya Mbak Fira lucu, maafin ya mbak."

"Lucu gundulmu, wong kepanasan gitu kok dibilang lucu." Ibu masih ngomel-ngomel.

Aku yang selama ini kekurangan perhatian dari mama dan papa merasa terharu karena di perhatiin. Aku mengusap sudut mataku yang berkaca-kaca, lalu memeluk Ibu.

"Lhoo, kenapa nduk? Masih sakit ya?" Ibu terlihat panik melihatku yang tiba-tiba menangis. Amira juga terlihat panik.

"Maafin Mira ya mbak, tadi sudah menertawakan." Amira berkata lirih sambil menunjukkan tampang penyesalan.

"Fira bukan menangis karena kesakitan, tapi karena terharu dengan perlakuan Ibu, terima kasih sudah menjadi Ibu mertuanya Zafira." Aku menangis di pelukan Ibu.

"Yowalah nduk, justru Ibu yang berterima kasih karena sudah mau menerima kami yang serba susah ini sebagai keluarga." Ibu mengusap bahuku dengan mata berkaca-kaca.

"Oh iya, terima kasih sudah membela Ibu tadi dan terima kasih juga karena sudah membayar hutang Ibu, nanti Ibu akan nyicil-nyicil ya gantinya." 

"Ibu kayak sama siapa aja. Zafira ikhlas kok bantuin ibu. Ibu kan Ibunya Fira juga. Keluarga ini keluarganya Fira juga. Itu bukan hutang, tapi memang menjadi tanggung jawab kami sebagai anak-anak, jangan sungkan-sungkan sama Fira ya Buk." 

"Masyaa Allah, entah kebaikan apa yang ibu perbuat di masa lalu hingga mendapatkan menantu seperti kamu Fira." 

Ibu mengusap air matanya yang sudah menganak sungai.

"Jadi--Mbak Fira tadi lunasin hutang kami pada Bude Siti? terima kasih banyak mbak." Amira juga ikut menangis sambil menggenggam tanganku erat.

"Ehh, kok jadi begini? Udah, Fira ikhlas kok bayarnya, itu juga uang dari mas Adnan," jawabku berbohong agar Ibu tidak merasa berhutang lagi.

"Pokoknya Ibu ucapkan banyak terima kasih karena sudah membantu Ibu, kalau tadi Ibu tidak bersama Kamu tadi pasti sudah di permalukan habis-habisan," jawab ibu dengan mata memandang ke atas seperti menerawang.

"Oh iya mbak, Mas Adnan kapan kesininya?" tanya Amira antusias.

"Nanti setelah pekerjaannya selesai pasti nyusul. Nanti juga rencananya mau ngomongin soal kuliah kamu nanti, Kamu dengar hasil ujiannya kap—." 

Ucapanku seketika terputus karena ada suara ketukan pintu dari luar.

Amira langsung beranjak membukakan pintu, dan seketika langsung terpaku di depan pintu.

Siapa sih tamu yang datang sehingga membuat Amira langsung terdiam?

Maaciww sudah mampir ke cerita Absurdku❤️❤️

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rahmad Syah
keren.. semoga sukses...... terusla berkarya.
goodnovel comment avatar
Iswanto
alurnya sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status