"Ngapain Budhe kesini?" Seketika raut wajahnya Berubah kesal.
"Anak kurang ajar! Bukannya dipersilahkan masuk malah disuguhi pertanyaan," jawab Budhe sambil nyelonong ke dalam rumah tanpa menghiraukan tatapan tajam Amira. Ternyata ada Mbak Aira--si nenek lampir yang mengekor dari belakang Bude Siti kayak pengawal."Silahkan duduk dulu mbak, mau minum apa?" Ibu masih bertanya sopan padahal sudah diperlakukan seperti tidak baik oleh keluarga Bude. Entah terbuat dari apa hati Mertuaku ini, kok banyak sekali stock sabarnya. Padahal aku sedari tadi sudah ingin kuc*kar wajah songong mereka. "Najis lah, kalau minum minuman dari kalian nanti keluarga kami terinfeksi kuman miskin kalian, nggak doyan aku minuman orang miskin," ucap Mbak Aira dengan mimik wajah yang terlihat seperti orang mual."To the point aja, kalian mau ngapain kesini?" tanya Amira ketus. Adik dari mas Adnan ini terlihat sudah terpancing emosinya."Kalau hanya untuk menghina keluarga kami silahkan pergi dari sini!" Seketika tangan bude siti mendarat di pipi chubby Amira."Jaga mulutmu anak miskin, dasar tidak punya etika dan sopan santun, apa yang kamu ajarkan kepada anakmu ini Ningsih sehingga tidak tahu bagaimana cara bersikap pada orang yang lebih tua."Aku melongo menyaksikan tamparan Budhe kepada Amira dan diikuti dengan ucapan pedas yang keluar dari mulutnya.Tidak sadarkah dia, kalau kata-kata yang keluar dari mulutnya lebih pantas untuk keluarganya?"Cukup! Cukup Mbak Siti, kamu boleh menyakiti saya, kamu boleh menghina saya, saya terima tapi tolong jangan pernah sakiti anak-anak saya," pertahanan Ibu lolos. air matanya membanjir keluar, Aku langsung memeluk ibu."Nggak usah basa-basi Budhe, langsung saja, sebenarnya apa tujuan kalian kesini? Bukannya urusan hutang ibu sudah sudah selesai?" Aku masih berusaha menahan emosi yang sebenarnya berlomba untuk keluar.Budhe bersedekap di dada, lalu menatapku tajam sambil tersenyum sinis."Apa yang kamu bicarakan dengan calon menantuku tadi? Kamu pasti berusaha menggodanya ya, jangan berharap Jefri akan berpaling pada gadis kampungan sepertimu, dasar miskin! Sudah bersuami kok masih kegatelan," Budhe menatapku nyalang."Jangan sembarangan kamu Mbak Siti!" Kali ini Ibu tampak emosi."Biar Zafira yang selesaikan buk." Aku berusaha tenang, padahal sebenarnya emosiku sudah di ambang batas."Kata siapa Aku menggoda calon menantu Budhe? Maaf, menantu Budhe tidak termasuk dalam list daftar suami idaman Zafira," Aku tersenyum sambil menaikkan sebelah alis."Halaaahh.. sok-sokan nggak masuk list, tapi nyatanya menggoda, kamu pikir Jefri bakalan tergoda dengan wanita spek pembantu seperti dirimu?" ejek Mbak Aira sambil tersenyum sinis."Spek pembantu tapi nyatanya mbak takut calon suami adikmu tergoda kan?" Aku semakin memancing emosi duo mak lampir bermulut pedas."Apa yang bisa membuat Jefri tergoda padamu?Kampungan, lusuh, kucel lagi, hahaha.. katanya dari kota, kok kampungan! Jangan-jangan di kota kamu jadi pengemis ya makanya bisa ketemu sama si Adnan yang juga miskin, jadinya Miskin kuadrat." Tawa mbak Aira membahana seperti mak lampir."Iyaa, aku jadi pengemis di kota makanya duitku banyak, nggak apa-apa dong miskin asalkan berattitude, tampang pengemis begini tapi bisa transfer 50 juta ke Bude, ya lumayan lah hasil ngemis bisa bayar hutang, iya kan Budhe?" Aku tersenyum menatap Budhe."Eeh.. I–iya," jawab Budhe tergagap sambil menggaruk kepalanya."Emang udah di bayar Ma? Kenapa nggak bilang dari tadi?" Mbak Aira terlihat berbisik dengan wajah merah padam.Ibu dan Amira hanya terdiam menyaksikan pertengkaran kami. Memang membalas orang seperti ini harus dengan cara elegan. Untungnya aku sudah berpengalaman menghadapi orang-orang seperti ini, karena dulu aku terbiasa bertemu dengan klien dengan berbagai macam sifat."Ada yang perlu dibahas lagi budhe? Kalau sudah selesai silahkan pulang! Masih tau jalan pulang kan? Emang nggak takut alergi lama-lama berdekatan dengan pengemis? Banyak kumannya lho," sindirku sambil berjalan mengitari Bude."Atau lupa jalan keluar? Biar Zafira antarkan," imbuhku dengan senyum mengejek. Amira terlihat menahan senyum. Kaki Mbak Aira di sentak-sentakkan"kamu pikir kami betah berlama-lama disini? Tanpa kamu pinta juga kita bakalan keluar. miskin aja belagu, Ayo Ma, kita pulang. Alergi aku lama-lama di rumah orang kere, ntar ketularan kere kita," sindir mbak Aira masih dengan gaya sombongnya."Ayo, Ibu juga gerah lama-lama disini, nggak ada Ac, puaanass.. Ayo pulang." Bude juga ikut-ikutan gaya Aira sambil mengipas ngipaskan tangannya ke wajah dan terdengar bunyi gemerincing dari gelang gelangnya yang bersusun sehingga mataku langsung tertuju ke tangannya. Entah itu emas asli atau imitasi."Kenapa? Iri lihat gelang-gelang saya? ya iyalah iri, mana bisa beli yang beginian, baju aja lusuh begitu." Budhe berlalu sambil mengibas-ngibaskan bajunya, seperti takut ada kuman yang menempel."Iyaa sana pulang, hussh.. Kami juga alergi sama barang imitasi," aku masih memancing emosi bude di detik-detik terakhir kepergiannya (bukan meninggoy lho ya)."Apa katamu? Imitasi? Jangan sembarangan kamu! Ini di beliin Aira di toko emas termahal, iya kan Aira? Anak dan menantu saya orang kaya, mana mungkin mau beli barang imitasi." Budhe yang hendak pergi terpancing lagi emosinya dan langsung berbalik lagi menatapku nyalang."Yakin asli? Coba di cek ke toko emas, jangan-jangan---." Aku sengaja menjeda ucapanku."Jangan sembarangan kamu Zafira! Dasar kampungan, itu aku beli di toko emas terkenal lho." Aira melotot menatapku, aku sampai khawatir bola matanya copot."Yaudah iyaa… Asli, kan ada badaknya." Amira terkikik dan aku langsung menyenggolnya."Ayo kita pergi Aira, sumpek lama-lama disini, maklum lah udara orang kaya sama orang kere kan beda." Budhe siti terlihat kesal dan langsung menarik Aira yang hendak bercicit lagi."Iyaa… Udara orang kaya kan bau duit, ya kan," jawabku sekenanya. Amira menepuk jidat menyaksikan tingkah Absurd kakak iparnya yang super cuantik kek Lisa black pink kecebur di selokan.Ini belum seberapa, lihat aja kejutan di hari pernikahan anakmu Budhe. Kira-kira kejutan apa yang bakalan Zafira berikan ya?Pov Author"Kamu ternyata bisa marah juga nduk," canda Ningsih kepada menantunya."Sekali-sekali harus di gituin juga Buk." Zafira tersenyum menatap mertuanya."Untung nggak darah tinggi tadi Budhe," sambung Amira yang sudah cekikan sedari tadi."Terima kasih ya Nduk, sudah menjadi pahlawan buat Ibu, selama ini kami selalu bungkam ketika di caci maki dan dihina, tapi semenjak kehadiran kamu, ibu jadi merasa punya pembela. Meskipun seringkali Amira dan Adnan membalas perkataan mereka tapi berakhir bungkam karena hutang kita pada mereka." Ningsih memeluk Zafira dengan netra yang berkaca-kaca."Terima kasih mbak, sudah jadi pembela untuk keluarga kami." Amira ikut memeluk Zafira."Wah.. berasa jadi pahlawan kesiangan nih. udahlah, jangan sedih lagi dong, gimana kalau kita jalan-jalan, lagian Zafira juga belum pernah jalan-jalan selama di sini," ajak Zafira antusias."Kalau pengen jalan-jalan, biar di temani adikmu. Mir, temani mbakmu jalan-jalan, Ibuk mau istirahat dulu, kalau ikut ntar
P.O.V ZafirahAku tersenyum puas menatap wajah mbak Aira yang tampak seperti mayat hidup. "Silahkan pergi dari sini, atau—." Aku sengaja menjeda ucapanku sambil mengetuk ngetuk casing ponselku menikmati ekspresi panik mbak Aira.Dengan wajah yang kesal wanita sombong itu langsung melangkah meninggalkan teras rumah ibu yang penuh dengan barang belanjaan kami. Pastinya si nenek lampir penasaran dengan isi belanjaan kami. Ibu hanya melongo menyaksikan kepergian Mbak Aira yang terlihat kesal bercampur panik."Kok Aira nampak ketakutan ya?" tanya ibu dengan wajah keheranan. Amira hanya tersenyum karena sudah mengetahui penyebab si nenek lampir panik."Ayok masuk buk, nih martabak telur kesukaan ibu," ajak Amira sambil menggandeng tangan ibu masuk agar perhatian ibu teralihkan dan tidak bertanya lebih lanjut lagi. Semua akan terungkap pada saatnya."Tolong sekalian di bawa masuk ke dalam ya pak, nanti saya tambah upahnya," pintaku kepada sopir taxi yang sedari tadi menurunkan barang dar
"Tolong! Ib—," mulutku langsung di bekap oleh tangan kekar."Sutt..!" Lelaki di hadapanku meletakkan telunjuknya di depan bibirnya."M–as Adnan?" Aku masih membeku menatap lelaki di hadapanku. Baru kali ini kami sedekat ini. Kesempatan langka jangan di sia-siakan."Mas kapan datangnya?" Tanyaku dengan tatapan yang masih tidak percaya. Mas Adnan yang tersadar langsung berdiri."Ma–af, tadi malam saya sampai di sini, mau bangunin nggak enak, maaf membuatmu terkejut." Jawabnya dengan mata menunduk dan suara bergetar.Ck, dia masih memperlakukanku seperti bossnya, aku ingin di perlakukan sebagaimana perlakuan suami terhadap istrinya."Saya mau ke masjid dulu. Assalamu'alaikum." Ucapnya sambil keluar kamar."Waalaikumussalam," jawabku lirih dengan tampang yang masih syok.Aku mengusap wajahku yang mulai sadar. Wangi parfumenya masih tertinggal. Aku menghirup aroma parfumnya dalam-dalam dan bibirku seketika mengembangkan senyum membayangkan kejadian tadi."Yes yes yess.." tanganku terkepal
P.O.V AuthorMobil Zafira berhenti di halaman luas Bude Siti. Terlihat dekorasi mewah terpampang di depan mata, pasti harganya sangat fantastic. Terlihat di depan yang menyambut tamu adalah Aira dan beberapa Wanita. Zafira dari rumah sudah mempersiapkan Amplop berwarna cokelat yang di dalamnya ada uang senilai 5 juta. Pandangan mereka teralihkan ke arah mobil mewah berwarna grey yang terparkir di halaman. Wajah Aira terlihat tersenyum lebar sambil berlari ke dalam memberitahu Ibunya. "Ibu ada tamu spesial, pake mobil mewah di depan, pasti amplopnya tebal," ucap Aira berbisik pelan di telinga Bude Siti yang sedang menyalami tamu dengan gelang yang kebak di tangannya. Juga cincin berjejer di jari nya. Pernikahan anaknya yang mewah menjadi ajang pamer juga. "Serius kamu Ai?" Bude Siti langsung bergegas ke depan setelah berpamitan dengan besannya. Sedangkan suaminya– Rusdi hanya menatap dengan tatapan penasaran. Bude siti seketika melotot melihat mobil mewah di depan rumahnya. Waja
"Rumah ini enggak usah di renovasi!" Ucapan Zafira membuat Adnan seketika membeku. "Maksud Zafira, Rumah ini nggak usah di renovasi, kita bangun rumah baru buat Ibu di tanah yang baru." Sambung Zafira yang membuat prasangka buruk Adnan terhadapnya terpatahkan. "Tapi—," Ucapan Adnan terhenti karena pintu depan di hempaskan kuat. Semua mata memandang ke arah pintu."Ada apa Mas?" Tanya Ningsih dengan wajah panik karena kaget."Kembalikan uang 50 juta yang dulu kalian pinjam untuk biaya rumah sakit Rusli–suamimu!" Bentak lelaki yang berdiri di ambang ointu rumah Ningsih."Astagfirullah Mas, seenggaknya ucapkan salam dulu sebelum masuk,"Ningsih menjawab dengan nada sopan."Halahh.. Rumah kayak kandang ayam aja harus pake salam segala. Cepat kembalikan Uang itu!" Bentak Rusdi–suami Bude siti dengan tatapan nyalang. "Pakde Rusdi yang terhormat, anda orang terpandang di desa ini, tolong sisipkan sedikit etika untuk menjaga marwah anda," Adnan berucap dengan wajah tenang. "Heh Anak miski
"Kurang ajar si anak si*lan itu!" Lelaki dengan tampang sangar itu tampak ngedumel."Berani-beraninya dia mengancamku, belum tau aja siapa Rusdi! Awas kamu Zafira. Aku akan membalasmu!" racau lelaki itu dengan nada emosi. Braakk!! Pintu rumah dihempaskan kuat. Wanita tambun yang tengah duduk di sofa itu langsung terperanjat."Ada apa toh, Pah? Datang-datang kok, marah-marah. Papa dari mana?" Siti yang terkejut langsung berdiri menyambut suaminya."Dari rumah Ningsih," ucap lelaki itu dengan wajah masam."Kurang ajar menantu Ningsih itu! Berani-beraninya dia mengancamku," lanjut Rusdi dengan wajah geram."Ngancam gimana maksudnya Pah? Memang kurang ajar menantu ningsih itu! Zafira ngancam apa pak?" cerca Siti dengan mimik wajah penasaran. "Jangan banyak tanya dulu! Cepat buatkan minum, aku haus!" bentak Lelaki bertampang sangar itu. "Nggak usah ngebentak juga pak!" balas Siti dengan nada sengit. Wajah Rusdi semakin memerah menahan kesal."Neeem! Inem! Buatkan minum!" teriak Siti l
POV Zafira Aku sedang jalan sore bersama Amira, ketika di depan rumah Bude Siti aku terkejut. Ada mobil yang terparkir di halaman rumah dan sepertinya tidak asing. "Kok platnya kayak kenal?" Monolog Ku dengan dahi berkerut. Aku terfokus menatap mobil hitam metalik di hadapanku. "Kenapa? Kaget? Pengen? Hahaha… sampe melotot gitu liatin mobil mewah. Katanya orang kaya, kok udik banget! Liatin mobil mewah langsung melotot gitu." Suara Bude Siti yang menggelegar berhasil membuatku kaget. Para tetangga pun berdatangan. Suara Bude Siti yang menggelegar seakan menjadi undangan gratis untuk tetangga. Tampang kepo terpampang jelas dari wajah-wajah mereka. " Ada apa, Mbak? Ayo!" Amira menarik tanganku. Sepertinya adik iparku ini takut di cerca lagi dengan hinaan. Alisya berdiri disamping Ibunya sambil bersedekap di dada. Wajahnya tampak angkuh. Sedangkan Pakde Rusdi berkacak pinggang dengan tampang garang yang menghiasi wajahnya."Mobil siapa ini?" Aku bertanya kepada Bude. Mobil ini
"Ibu kenapa?" tanyaku khawatir. "Nggak kenapa-kenapa kok, Nduk," jawab Ibu sambil tersenyum. Ibu sepertinya ingin menyembunyikan penyebab tangisnya. Namun mata sembab itu tidak bisa berbohong. "Matanya sembab gitu, Ibu habis nangis, ya?" Amira bertanya kepada Ibu Mertua. "Nggak apa-apa kok, Nduk. Ibu hanya kangen sama Ayah," ucap Wanita itu sambil menunduk. Bulir bening melintasi pipinya yang sudah tampak keriput termakan usia. Amira langsung berjalan menghampiri Ibu mertua, kemudian memeluknya erat. Menyalurkan kekuatan kepada sang Ibu. Sedangkan Mas Adnan– Si beruang kutub memalingkan wajahnya dari pemandangan yang mengharukan itu. Mata elangnya juga tampak berkaca-kaca. Kerinduan yang paling menyiksa adalah merindukan orang yang tidak dapat lagi kita temui lagi di dunia. Tanpa sadar air mataku juga turut menganak sungai menyaksikan pemandangan haru di depan mata. Aku langsung beranjak ke dapur untuk mengambilkan air."Minum dulu Bu," ucapku seraya mengusap-usap punggun