Share

Bab 2 Awal Perkenalan POV Ayu Pertiwi

Pertengahan Juni 2002 di sebuah ruang kelas...,"Bu Guru...ada salam dari Anto." kata salah satu wali muridku yang kala itu sedang mengambil raport anaknya.

Kujawab dengan sekedar b**a basi,"W*'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Mas Anto orangnya baik banget lo Bu Guru..itu yang punya toko di perempatan tugu..pasti bu Guru tahu."kata wali muridku panjang lebar tanpa aku memintanya.

Aku begitu heran sama ibu Karsini; sepertinya dia begitu antusias ingin menjodohkan aku dengan Anto...entah apa sebabnya.

Aku hanya tersenyum dan tidak begitu menanggapi ucapan wali muridku itu; karena boleh dikatakan dia bukanlah satu-satunya orang yang menyampaikan salam dari lawan jenisku.

Aku tidak sedang menyombongkan diri; walaupun kala itu statusku baru sebagai tenaga honorer guru SD..tapi banyak dari orang-orang di sekitarku yang berusaha mengenalkanku dengan laki-laki yang menurut mereka cocok untukku. Mulai dari perawat, karyawan TU sebuah Perguruan Tinggi swasta ternama di kotaku...bahkan ada pensiunan tentara yang terang-terangan memintaku kepada orang tuaku untuk menjadi istrinya dengan iming-iming uang pensiunannya dan sebuah rumah yang akan menjadi mas kawinnya. Tapi semuanya aku tolak mentah-mentah meski usiaku kala itu mulai mendapat julukan perawan tua...tapi aku tak peduli. Aku tetap enjoy menjalani hari-hariku tanpa ada beban dengan julukan yang sebentar lagi akan melekat di diriku.

Sejak disampaikannya salam dari Anto; di situlah Anto mulai intens menghubungiku. Awal dengan pura-pura baru pulang dari rumah teman yang rumahnya lewat jalan dekat rumahku sampai terang-terangan menghadangku ketika aku pulang dari mengajar.

Suatu pagi; aku lihat Anto sudah berdiri manis di depan pintu mobilnya. Dia sepertinya sengaja menghadangku.Aku hanya bisa mengiyakan niatnya yang mau menjemputku sepulangnya aku mengajar.

"Nanti siang aku jemput di sekolah ya Bu Guru."janji Anto kepadaku.

"Yaaa okelah." jawabku sambil lalu.

Tidak disangka; saat jam pulang kerjaku Anto sudah dengan setia menungguiku di pintu gerbang sekolah.Aku tidak bisa menolak ajakannya karena memang entah kenapa seperti ada ikatan batinku kepadanya. Walaupun perkenalanku belum genap sebulan dengannya.

Ternyata Anto mengajakku makan siang di tempat favoritnya. Aku bingung harus bagaimana..diam diam kutatap setiap bagian wajahnya..bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki meski dengan sembunyi-sembunyi.

"Tidak ada yang menarik sama sekali."batinku meremehkannya.

Entah mungkin karena dia benar-benar jodohku; pertemuan siang itu berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya; meski seperti ada penolakan di nurani terdalamku namun entah kenapa aku tidak bisa menolak kehadirannya.

Ibuku yang kala itu dalam posisi baru saja ditinggal wafat Ayahku seperti sedang dalam posisi rapuh..Beliau sering melamun dan memilih berhari-hari tinggal di rumah kakakku di luar kota daripada di rumahnya sendiri. Kondisi seperti itu menambah sulitnya aku berkomunikasi dengan Ibuku..karena waktu itu aku belum punya hp. Hanya sesekali aku bisa menghubungi Ibu dan keluarga kakakku lewat telepon kantor kakakku sementara aku lewat telepon umum. Benar-benar situasi kondisi yang teramat sulit kurasakan.

Seringnya kunjungan Anto ke rumah membuat simpati Ibuku kepadanya. Mungkin juga sudah kehendak Yang Kuasa, beberapa kali Ibuku bisa bertemu dengan Anto ketika dia berkunjung ke rumah.

Sejak bertemunya Anto dengan Ibuku, seperti sudah ada jadwal kunjungan khusus di setiap malam Minggunya. Tidak pernah terlewatkan akhir pekan tanpa kunjungan Anto yang terang-terangan langsung mendekati Ibuku untuk mendapatkan simpatinya.

Aku seperti tidak berdaya; Ibuku yang belum lama berstatus janda yang sangat terpukul ditinggal wafat suami yang sangat dicintainya menjadi lebih banyak mendesakku untuk menerima kehadiran Anto di hidupku. Posisi Ibuku sulit juga pada waktu itu; karena bersamaan dengan seringnya Anto berkunjung...ada 2 pemuda yang berusaha mengambil hatiku juga..tapi karena mereka tidak berani langsung berhadapan dengan keluargaku; maka rasa simpatik Ibuku hanya kepada Anto.Tidak lama dari kunjungan demi kunjungan Anto ke rumahku akhirnya Anto melamarku.

Saat Anto menyatakan perasaannya padaku dan menyatakan ingin melamarku untuk menjadi istrinya; aku tidak tahu harus berkata apa karena entah mengapa mulai timbul keraguan untuk menerimanya sebagai suamiku.

Banyak alasan mengapa mulai timbul rasa ragu di hatiku. Aku merasa semakin hari tidak terjalin komunikasi yang baik di antara kami, pun begitu terhadap keluarganya. Sepertinya Ibu dari Anto tidak menerimaku 100%; entah apa alasan utamanya. 

Sejak awal berkenalan aku sudah berusaha berkata sejujur jujurnya; meski aku terlahir bungsu dari 3 bersaudara..tapi aku berasal dari keluarga sederhana. Ayahku hanya seorang sopir perusahaan biasa, ibu mantan pembantu rumah tangga yang dilarang bekerja karena kesibukannya mengurusi anak dan suami.

Profesiku sebagai guru Honorer SD juga sudah mereka ketahui secara pasti, pun berapa penghasilanku perbulannya.

Mungkin dari hati kecil Mamah Anto merasa kita tidak sepadan..karena mereka seorang kaya raya; meskipun pedagang namun pedagang sukses..sedangkan aku keluarga papa..entahlah; namun yang jelas..sejak dilamarnya aku untuk menjadi menantunya...ketetapan tanggal dan hari pernikahan kami pun seperti diulur-ulur; maju mundur tidak karuan.

Suatu ketika,"Maaf Ibunya Ayu..maksud kedatangan kami ke sini..di samping bersilaturahmi..juga ada hal penting yang harus kita bicarakan saat ini." kata utusan keluarga Anto mengawali percakapan dan maksud kedatangan hari itu.

"Setelah dihitung-hitung..ternyata tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan itu tidak sesuai dengan 'weton' Ayu..jadi terpaksa kita ubah tanggal pernikahan Ayu Anto ya Bu.." kata mereka lebih lanjut.

Keluargaku yang pada dasarnya meyakini semua hari dan tanggal itu baik hanya mengiyakan berubahnya tanggal pernikahan yang ditetapkan sebelumnya.

Beberapa minggu kemudian...datang lagi utusan dengan tujuan sama; mengubah hari pernikahan karena perhitungan 'weton'.

Begitu mengherankan kurasakan; mengapa mereka seperti tarik ulur dan seperti ingin membatalkan pernikahan mereka.

Karena kesal dan merasa dipermainkan; suatu ketika aku katakan kepada Ibuku,

"Mending dibatalkan saja pernikahan ini ya Bu..Ayu kembalikan cincin ini ke Anto.."kataku sambil memperlihatkan cincin pertunangannya yang sudah dilepaskan dari jari manisnya.

Ibuku terlonjak begitu kagetnya,"Jangan Yu..apa kata tetangga nantinya...malu." cegahnya seketika.

Sejak aku mengatakan akan membatalkan pernikahannya; Ibu jatuh sakit. Tensi darahnya naik; 240/110 yang menjadikannya terkulai tak berdaya.

Melihat kondisi Ibu yang semakin melemah; aku semakin bimbang..satu sisi aku mulai ingin menyudahi saja hubungannya dengan Anto sebelum terlanjur sebagai suami istri; satu sisi aku takut Ibu kenapa-kenapa kalau memilih untuk mundur.

Dalam kondisi penuh kebimbangan aku berusaha meyakinkan diri bahwa Anto memanglah jodoh yang digariskan untukku. Aku sering bermunajat dengan mendatangi tempat ibadah terbesar di kota..memohon petunjuk untuk kelangsungan hubunganku dengan Anto. Larut malam baru aku kembali ke rumah.

Suatu ketika setelah beberapa hari aku melakukan munajat, selesai berdoa ku beranjak meninggalkan tempat ibadah. Belum lagi aku langkahkan kakiku meninggalkan tempat ibadah itu; di pintu masuk aku berpapasan dengan Anto yang baru saja keluar dari mobil. Sejak saat itu kuputuskan untuk meneruskan pernikahanku dengan Anto karena kuanggap itu suatu petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

Aku ingat betul tanggal pernikahanku saat itu 12 Desember 2002. Entah kenapa ketika kujalani Ijab Kabul air mata tak berhenti menetes di pipiku. Aku pun tak mengerti apa artinya itu. Sepertinya aku mendapat firasat kalau pernikahanku akan menemui banyak cobaan. Entahlah.

#######

12 hari masa pernikahanku; aku diboyong ke rumah orang tua Anto.Kubayangkan aku akan hidup bahagia; nyatanya jauh api dari panggang. Begitu memasuki rumahnya saja aku sudah seperti merasa ada sesuatu yang tak beres. Kamar tidur layaknya untuk pengantin baru saja tidak ada; satu-satunya jatah kamar untukku dan Anto adalah sebuah kamar yang lama dibiarkan kosong. Ibaratnya hanya sebuah gudang tempat penyimpanan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi. Itupun tidak ada perabotannya sama sekali. Aku harus bawa tempat tidur dan kasur usang dari rumah Ibuku. Kamar itu dibersihkan beberapa jam sebelum aku masuk ke dalamnya.

Jangan pernah dibayangkan pula kalau perlakuan Mamah mertuaku begitu baik padaku. Perlu diketahui; jarak pernikahanku dengan adik Anto yang bernama Sinta hanya selisih 3 bulanan saja. Perlakuan Mamah Mertuaku sungguh sangat jauh berbeda. Bila Sinta dan suaminya dibiarkan menikmati bulan madunya; berjam-jam berduaan di kamar...tidak denganku. Ada saja perintah Mamah Mertuaku ke Anto dengan tujuan agar aku tidak selalu bisa memadu kasih dengan suamiku.

Suatu siang di sekitar pukul 14:00; sambil mengetok pintu kamarku keras-keras:

"Anto...tolong itu adikmu Anggun...antar dia ke kampus...segera...jangan sampai adikmu marah kalau terlambat."teriak Mamah Mertuaku tanpa mempedulikan aku yang baru saja bisa bertemu dengan Anto suamiku setelah sedari pagi aku harus berangkat mengajar.

"Di malam harinya,"Anto...itu adikmu dijemput yaa..tungguin di depan pintu kampus...jangan sampai terlambat."teriak Mamah Mertuaku lagi.

Aku sebetulnya tidak merasa iri yaa..kalau saja perlakuan Mamah Mertuaku ke adiknya Sinta dan suaminya sama seperti ke aku dan Anto...tapi sungguh...seperti berbanding terbalik bila perlakuan Mamah Mertuaku kepada mereka berdua.

"Biarin mereka menikmati bulan madunya...kasihan Sinta..kan suaminya baru pulang dari luar kota.."begitu selalu alasan Mamah Mertuaku kepadanya.

Semakin hari semakin banyak kurasakan bulir-bulir air mata membasahi pipiku. Tapi pantang bagiku untuk bercerita kepada keluargaku. Pikirku...kasihan mereka; "biarlah kujalani saja takdir ini dengan sekuat dayaku."

Jatah makanku hanya siang hari..itupun aku tidak berani ambil sendiri makanannya. Suamiku yang mengambil sepiring nasi dan lauknya..satu piring nasi kita makan berdua. Aku begitu sungkan kalau urusan makanan; karena setiap kali ada makanan di meja atau lemari yang tidak terlihat pasti Mamah Mertuaku mempertanyakannya.

''Mana tadi makanan yang ada di meja ini ya Sin...kok tidak ada?'' tidak hanya satu dua kali Mamah Mertuaku bertanya kepada anak perempuannya.

Kalau terlihat nenek Anto yang kebetulan tinggal serumah denganku; mengambilkan makanan untukku...pasti dengan buru-buru Mamah Mertuaku menyuruh Sinta mengambilkan untuk suaminya.

''Ambilkan untuk suamimu dulu Sin...ayo buruan.''

Padahal kalau mau diperhitungkan...jatah 5 ribu sehari dari suami untukku tidaklah cukup untuk makan sekalipun. Kalau pagi hari aku dibelikan nasi rames yang dijual tetangga depan rumah..itupun cuma berlauk satu macam sayur dan sebuah gorengan. Aku pun tidak pernah memprotesnya. Kupikir yaa itu memang rezekiku..kusyukuri saja.

Pokoknya sepertinya ada saja alasan untuk membuatku tidak bahagia hidup di sana.

Urusan sekecil apapun pasti dibesar-besarkan oleh Mamah Mertuaku.

"Wong lagi buat nonton Tv malah nyetrika...yaa daya listriknya ngga' kuat."teriak Mamah Mertua keras-keras ketika listrik tiba-tiba padam karena aku baru sempat menyetrika bertepatan dengan beliau yang ingin menyaksikan acara televisi.

Perlakuan tidak menyenangkan pun aku terima dari Om Badi yang notabene hampir setiap hari bersama di rumah mertuaku karena memang dia yang mengurusi bisnis Anto.

Suatu ketika ada yang bertanya kepadanya,''Ayu mana pak?''

Jawab Om Badi: "Itu di kamar lagi enak-enakan tidur."

Aku yang memang berada di kamar tapi sedang menjahit pesanan orang untuk membantu usaha suamiku terperanjat kaget; tapi aku bingung harus bagaimana untuk membantahnya. Aku memang memilih diam saja.

Anto seperti tidak mempedulikan perasaanku. Dia pikir perlakuan Mamah Mertua dan saudaranya wajar-wajar saja.

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status