Rido mengalami patah tulang di kakinya, sedangkan Airin dan Raffa hanya mengalami luka ringan. Setelah menjalani operasi pemasangan pen Rido sudah di perbolehkan pulang.Sebenarnya emak dan bapak ingin membawa Rido pulang ke rumah mereka. Maksud emak dan bapak baik, saat dalam masa pemulihan ini Rido tinggal bersama mereka. Karena lebih tenang tinggal di desa dari pada di kota. Tapi, bukan Airin namanya dengan pongahnya dia menolak keinginan orang tua suaminya itu. Dia merasa sanggup mengurus suaminya, katanya nanti dia akan sewa suster khusus untuk merawat Rido, juga Rido akan di bawa terapi sesering mungkin. Dan itu akan di biayai oleh papa mamanya yang kata raya itu.Emak dan bapak pun hanya bisa menuruti kehendak Airin, walau pun berat dan mempunyai firasat tak baik, mereka akhirnya melepaskan Rido ikut pulang ke kota tempat tinggal Airin. Toh, Rido juga bersikeras ingin ikut dengan istrinya itu.Tapi, mertuaku itu tak lepas tangan begitu saja, mereka selalu mengirimkan uang untu
Hampir setahun Rido di sini, kini Rido sudah bisa berjalan, walau pun belum begitu lancar. Hari ini Airin berjanji akan kembali datang untuk menjemput suaminya itu. Sedari pagi Rido terlihat sumringah, mungkin dia sangat bahagia, karena akan berkumpul kembali dengan anak dan istrinya."Yati, pergi temanin Resti ke pasar. Belanja bahan makanan, cari udang yang paling segar, untuk Airin datang nanti," perintah emak padaku. Aku mengangguk patuh."Airin pasti lelah di perjalanan, nanti kalau dia sampai dan suguhkan makanan kesukaannya, pasti dia senang," sambung emak lagi. Seperti biasa emak memang selalu menyambut kedatangan Airin dengan istimewa."Kayak nyambut tamu penting saja," sewot Resti keluar dari kamar seraya memakai jilbab instannya."Ya...jelas Airin itu penting lah, karena Airin usaha abangmu tetap berjalan lancar sampai sekarang. Coba kalau Airin tidak cekatan dan pintar, pasti usaha abangmu bangkrut karena tak di urus selama abangmu sakit," sahut emak dengan tegasnya."Iya,
"Kapan sih mereka perginya," gerutu emak. Aku pura-pura tak mendengar, aku terus sibuk dengan pekerjaanku mencuci piring yang sudah menumpuk memenuhi wastafel. Mungkin peralatan bekas seisi rumah ini sarapan pagi tadi. Ya, aku baru saja tiba di rumah emak."Masak apa Kau hari ini, Yati?" tanya emak pula.Aku menggeleng, karena memang emak belum menyuruh aku belanja hari ini."Resti mana, Mak?" tanyaku pada emak. Karena memang Resti yang biasa menemaniku belanja dan juga Resti tak akan membiarkanku di dapur sendirian apalagi membiarkan cucian piring menumpuk seperti ini."Resti di jemput Ferdi tadi pagi, ada acara di rumah tantenya Ferdi," jawab emak pula. Ferdi adalah nama tunangan Resti, aturan mereka sudah menikah, tapi karena musibah yang menimpa Rido, akhirnya acara sakral itu di undurkan.Aku mengangguk, mengerti mengapa cucian piring sampai menumpuk seperti ini. Adik iparku itu, mungkin tadi pagi buru-buru pergi sehingga tak sempat membereskan piring-piring kotor ini. Sedangkan
"Yati, hari ini masak udang dong. Bosan tiap hari makan makanan kampung." terdengar suara besanku memerintah Yati, sepertinya Yati sudah datang. Enak saja dia berlagak seperti nyonya besar di rumahku. Sudah untung aku masih mau menampungnya di sini, karena atas permintaan Rido anakku. Kalau tidak sudah ku usir dia dari rumahku dari kemarin-kemarin, apalagi kalau teringat saat dia meminta Airin memulangkan Rido. Sebel sekali aku rasanya."Tapi, Tante di kulkas lagi nggak ada udang," jawab Yati pelan. Aku masih menguping obrolan antara Yati dan mama Airin dari sini, dari halaman belakang sambil memberi ayam-ayam ternakku makan."Ya... Kau belilah, itu saja nggak ngerti. Lagian mana enak udang yang di simpan di kulkas. Nggak seger lagi," ucap mama Airin, semakin menjadi-jadi memerintah Yati. Benar-benar tak tahu diri dia, sudah untung Yati mau dengan sukarela membantu pekerjaan di rumah ini dan melayani kebutuhannya dan Airin. Kalau tidak pasti aku sudah keteteran melakukannya. Kalau an
Dua Minggu lagi di rumah emak akan di adakan acara pernikahan Resti. Aku tambah sering datang ke rumah itu, membantu apa saja yang ku bisa ku kerjakan di rumah itu. Terkadang juga kami di minta emak untuk menginap, ku merasa ada perubahan dari sikap emak. Emak sedikit lebih baik kepadaku dan anak-anak, entahlah aku tak mau menanggapi terlalu senang, aku takut nanti kecewa. Bisa saja emak bersikap demikian karena memang saat sekarang lagi membutuhkan tenagaku. Ya Tuhan mengapa aku berpikiran buruk kepada orang tuaku sendiri. Lebih baik aku berdoa saja, mudah-mudahan perlakuan emak benar-benar berubah lebih baik kepada kami.Airin sudah kembali ke kotanya, katanya ia mau menemani mamanya, sekaligus pergi mengunjungi papanya di lapas. Kasus papanya sudah di putuskan, papanya terbukti bersalah menggelapkan uang perusahaan. Aku tak tahu vonisnya berapa lama, karena Airin memang tak pernah memberi tahu pada kami di sini. Setiap di tanya siapa pun tentang kasus papanya, raut wajah Airin beru
Senyum sumringah emak tak henti-hentinya tercipta di wajah keriputnya itu, dia terlihat begitu bahagia bersenda gurau bersama cucu-cucunya, kebetulan Raffa juga ikut bersamanya tadi. Tangannya pun tak henti-hentinya memilah-milah timun yang baru saja kami panen. Ya, emak emang sengaja kami minta hanya di pondok saja, cuaca hari ini panas sebab itu kami tak izinkan ia ikut memanen di kebun."Banyak juga ya, Ti," ucapnya padaku saat aku mengantarkan sekeranjang kangkung yang baru di panen. Kebetulan hari ini kami panen mengajak beberapa orang tetangga di sekeliling rumahku, sehingga sebentar saja panen bisa dapat banyak."Iya, Mak," sahutku pula. Memang lahan ini cukup luas, wajar saja suamiku bisa menanam bermacam-macam sayuran secara bersamaan. Bang Rozi juga tak menggarap lahan ini sendiri, ada suami kak Minah yang membantunya setiap hari.Selain cukup luas untuk bertani, tanah ini juga cocok juga untuk membangun rumah karena terletak di pinggir jalan dan juga sudah beberapa rumah wa
"Ya Tuhan...ini gaun apaan sih, bahannya juga bikin gerah," ucap Airin seraya mendengus kesal. Ya, hari ini baju seragam keluarga yang nantinya akan kami pakai di acara sakral Resti dan Ferdi sudah jadi dan di antar oleh penjahit ke rumah emak. Waktu kami akan membuat baju seragam itu memang Airin lagi tak ada di sini. Jadi, ukuran dan mode untuk Airin Rido yang menentukan. Sedangkan waktu akan di hubungi no ponsel Airin tak aktif. Memang no ponsel Airin jarang aktif saat ia pergi kemarin. "Apa yang salah, Dek. Ini bagus kok," sahut Rido pula. Rido terlihat sungkan karena penjahit itu saja belum pergi dari rumah ini."Rendahan banget selera Kalian," gerutu Airin. Semua orang kaget mendengarnya, termasuk emak. Mata emak melotot tajam melihat Airin."Apa Mak, ini jelek 'kan. Emak sih, nggak tanya Airin dulu kemarin," ucap Airin seolah menyadari kalau emak memperhatikannya dari tadi."Kau tak suka dengan gaunnya, Rin?" tanya emak lembut."Nah, emakku tahu," ucap Airin seraya tersenyum,
"Mana Airin, Do. Sebentar lagi pasti tamu-tamu pada datang," ucap emak pada bang Rido. Ya, sekarang waktunya sesi foto pengantin dan keluarga. Semua sudah berkumpul di dekat pelaminan, tinggal kak Airin saja yang belum tampak batang hidungnya."Tadi, pas aku tinggal dia masih dandan, Mak," sahut abangku itu."Lama banget, sih," gerutu emak, "Sudah Kau panggil cepat sana," perintah emak pada bang Rido.Bang Rido pun bergegas pergi untuk memanggil istrinya. Jadi penasaran seperti apa sih dandanan tuh nenek sihir, sehingga jam segini belum juga kelar."Kak," panggilku pada kak Yati yang terlihat sedang asyik ngobrol dengan emak sembari menunggu kak Airin datang untuk sesi foto keluarga. Bahagia sekali rasanya melihat kak Yati dan emak bisa seakur itu."Iya, Res," sahutnya dengan cepat. Ku lambaikan tangan mengisyaratkan agar dia mendekat ke pelaminan."Mau apa, Res? mau minum?" tanyanya padaku, sungguh luar biasa, kak Yati bisa tahu apa yang ku mau.Aku mengangguk cepat, memang aku meras