Share

Suara dari Kamar

“Shiiiiit!” kesal Langit dan menyimpan kembali ponselnya di dalam saku celananya. Dia tidak akan memperdulikan telepon seperti itu, karena ini bukanlah kali pertama dia mendapat telepon penipuan. Seringkali dia mendapat telepon yang mengatakan anaknya di kantor polisi, padahal dia sendiri belum punya anak.

“Kenapa tidak menggunakan cara yang lainnya kalau untuk menipu orang. Memangnya mereka pikir semua orang itu bodoh dan mudah dipengaruhi?” tanya Langit lagi.

“Ada-ada saja yang membuat kesal!”

Jika dipikirkan lagi, wajar kalau Langit merasa kesal. Sebab, di hari ini sudah ada beberapa hal yang membuatnya emosi. Seolah-olah dia harus memulai hari dengan berbagai kekacauan. Padahal ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai pengasuh Biru dan juga pengasuh mamanya Biru.

Langit merasa Jingga benar-benar mempermainkannya. Dia diam-siam mencari info tentang Langit dan membebaskannya dari penjara. Ternyata tujuan Jingga adalah agar Langit menjadi pelindungnya. Strategi yang Jingga jalankan begitu licik. Namun, yang masih menjadi pertanyaan Langit dan hingga saat ini belum mendapatkan jawabannya adalah mengapa harus menikah.

“Kalau hanya untuk menjaga dia dan Biru mengapa dia memaksa menikah. Apa yang diinginkannya? Seharusnya dia hanya perlu membayarku untuk menjadi pengawalnya, kenapa dia rela menikah dan bahkan bersedia memberikan sahamnya?” tanya Langit dalam hatinya.

Tingnong! Tingnong! Tingnong!

Suara pemberitahuan yang berasal dari pengeras suara sekolah tempat Biru menuntut ilmu itu berbunyi. Dan tidak berapa lama diikuti oleh suara perempuan yang memberitahukan kalau pembelajaran hari itu sudah selesai, anak-anak akan segera pulang.

Langit hanya tersenyum kecil mendengar pemberitahuan itu. Terbayang saat kecilnya yang tidak pernah mengenyam pendidikan TK dan juga sekolahnya dulu masih menggunakan lonceng manual. Yang dipukul dengan menggunakan batu. Sangat jauh berbeda dengan Biru yang saat TK saja sudah bersekolah di sekolah elit bertaraf internasional. Bahkan pemberitahuannya menggunakan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

“Dasar anak orang kaya, sekolah TK saja menggunakan English,” kekeh Langit yang segera berjalan mendekat kearah pintu gerbang dimana disana juga berkumpulnya para ibu-ibu yang merupakan pengasuh dari anak-anak itu berkumpul menjemput majikannya masing-masing.

Memang, area parkir yang disediakan sekolah untuk orang tua murid berada di luar pagar sekolah. Karena untuk menghindari kekacauan di dalam sekolah saat antar jemput. Karena sudah pasti anak-anak yang bersekolah di sana adalah anak-anak orang kaya yang diantar jemput dengan menggunakan mobil pribadi. Hanya ada beberapa orang saja yang menggunakan antar jemput bus sekolah, itupun karena mereka adalah keturunan dari Negara Matahari Terbit yang membiasakan anak-anak mandiri sejak dini.

Langit hanya menggelengkan kepalanya melihat kesenjangan ekonomi di depan matanya ini. Sebagian orang merasakan bagaimana hidup nyaman sejak kecil, bahkan mereka tidak tahu apa rasanya ke sekolah berjalan kaki. Tapi, malah ada yang hidup dibawah garis kemiskinan. Anak-anak harus berjalan kaki beratus-ratus kilometer mengikuti orang tuanya mencari nafkah.

“Ah pusing kalau dipikirkan,” gumam Langit lagi. D

Dia melihat sang majikan eh anak tiri, entah apalah sebutannya untuk Biru. Anak kecil itu berjalan setengah berlari ke arahnya. Dan memang anaknya sangat pecicilan sekali. Dan sekarang langit tidak heran lagi dengan sifat Biru seperti itu karena Langit sudah melihat siapa ayah dan ibu kandungnya. Pastilah hormone mereka bersatu dan terbentuklah Biru yang hiperaktif dan unik.

“Papa,” sapa Biru.

Anak kecil itu memang cukup ramah, dia tidak segan-segan memanggil Langit dengan panggilan ‘papa’ sekalipun di tempat umum. Padahal penampilan mereka saja bak langit dan bumi, Biru dengan pakaian sekolah yang terlihat serba mahal dengan jam tangan seharga sepetak tanah di kampung Langit. Sedangkan Langit sendiri, hanya mengenakan pakaian sederhana. Kaos oblong yang sudah mulai memudar dan celana jeans yang sudah berubah warna dengan sepatu kaki lima dengan harga tidak lebih dari empat bungkus rokok.

Semua mata melihat kearah Langit saat mendengar panggilan dari Biru. Mungkin mereka awalnya mengira kalau Langit adalah sopirnya Biru. Mereka pastinya tidak akan mengenali wajah Langit yang ada di berita. Karena wajah Langit yang disorot kamera pasti sangat berbeda, saat pernikahan itu dia sedikit di make up. Sedangkan saat ini adalah penampilan asli dari seorang Langit Lubasya Gauri.

“Biru, itu papa baru kamu ya?” tanya salah seorang ibu muda yang juga datang menjemput anaknya, karena dia tampak bukanlah pembantu atau pengasuh. Penampilannya berbeda dengan lainnya. bahkan dia datang ke sekolahan untuk menjemput anaknya seperti datang ke kondangan.

“Iya, tante,” jawab Biru yang segera menggandeng tangan Langit menuju ke mobil mereka.

Langit memperhatikan ke sekeliling, dan sepertinya Dion dan para pengawalnya sudah pergi dari sana. Karena tidak terlihat lagi kalau mereka masih disana. Karena Langit juga khawatir kalau Dion dan anak buahnya masih menunggu Biru pulang sekolah.

“Biru tahu sama papa Dion?” tanya Langit kepada Biru saat mereka sudah dalam perjalanan pulang. Langit ingin memastikan kalau Biru mengenal Dion atau tidak.

“Gak ada di kelas Bilu yang namanya Dion,” jawab Biru dengan santai.

Langit menyunggingkan senyumannya mendengar jawaban dari Biru. Dia berpikir apakah pertanyaannya tadi salah.

“Selain papa Langit, apakah Biru ada papa lain?” tanya Langit kemudian.

“Gak ada,” jawab Biru yang kemudian malah sibuk menceritakan tentang kegiatannya di sekolah. Sepertinya Biru memang tidak pernah bertemu dengan papa kandungnya, atau memang jarang bertemu.

Sesampainya dirumah keluarga Fargo, suasana rumah tampak sepi. Tuan Fargo pastinya sudah kembali bekerja di kantornya, dan Nyonya Leni Fargo entah kemana. Mungkin sibuk arisan atau kegiatan lainnya. Sedangkan para pembantu pasti sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Namun, mata Langit melihat ada sebuah mobil sedan warna putih yang terparkir di depan rumah. Sepertinya sedang ada tamu, karena kalau mobil milik keluarga Fargo biasanya akan langsung ke belakang, ada tempat parkir khusus bagi beberapa mobil mereka.

“Ada tamu?” tanya Langit kepada bi Inah, salah satu pembantu yang sedang membersihkan teras.

“Iya, Tuan. Neng Lily temannya Non Jingga,” jawab Bi Inah.

Langit mengangguk, mungkin temannya Jingga kemarin tidak sempat datang ke pernikahan mereka dan datangnya hari ini, namun Langit heran saat melihat ruang tamu malah kosong. Dia keluar dan kembali bertanya kepada bi Inah.

“Dimana mereka?” tanya Langit lagi.

Bi Inah mengurut dadanya karena terkejut dengan kedatangan Langit lagi yang bertanya dari belakangnya.

“Ada di kamar non Jingga,” jawab Bi Inah.

Kembali Langit mengangguk, karena Langit yakin kalau teman Jingga kali ini adalah teman akrabnya. Sebab, sampai diajak masuk ke kamar.

Setelah membantu Biru berganti pakaian, Langit naik ke atas menuju ke kamarnya dia ingin melihat Jingga dan temannya, namun saat tangan Langit anak meraih handle pintu, telinganya mendengar suara yang sedikit aneh dari dalam kamar.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status