Share

(Bukan) Pernikahan Impian
(Bukan) Pernikahan Impian
Penulis: Ndaa

Bahtera yang sesungguhnya

Semua mata menatap ke arah sumber suara. Terlihat lelaki berpostur tegap itu berdiri diambang pintu. Emosi kian mencuat, terlihat geraman rahang yang kian menguat menahan segala amarah. Wanita itu terperanjat, mendengar cacian dari pria asing di acara akadnya. 

"Apa maksud, Anda?" tanya Daren bingung. Semua keluarga mencoba menahan pria asing tersebut. Nyalinya semakin menjadi tatkala tangan kanannya menyembunyikan sebilah pisau kecil. 

"Kau! Kau yang aku maksud!" Teriakannya menggelegar membuat wanita disamping Daren semakin ketakutan, pasalnya Nahwa tak biasa mendengar bentakan lelaki. 

Hari kebahagiaan yang tengah dirancang kini kandas, tepat hanya menyisakan nelangsa yang membuat raga hancur tak berupa. Nahwa hanya memilin ujung khimarnya, perasaannya semakin kalut. Kala melihat pertikaian, sementara Daren tak terima atas caci makian Jiran. 

"Apa maksud kau? Hah?!" Langkahnya kian mendekat. Detik selanjutnya pukulan bogem mentah berhasil mendarat di pipi mulus lelaki pembuat onar bernama Jiran. Tak terima akan pukulan Daren, lelaki berkemeja polos tersebut menarik kerah Daren dengan kasar membuat sang empunya menjijitkan sedikit kakinya, akibat penarikan paksa Jiran. 

"Kau yang menghamili Nashwa, kan?! Jawab aku brengs*k!" Jiran tak bisa mengontrol emosinya, ia melemparkan Daren yang mendadak terdiam. 

"Apa maksud, Anda?" Lelaki paruh baya tersebut mencoba melerai keduanya. Keadaan mendadak hening, kala semuanya tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang empu. Nahwa mencoba menenangkan sang ayah. Bukan hanya satu raga yang hancur. Namun, dua raga sekaligus hancur seketika. 

Daren terdiam membisu, bibirnya kelu tanpa suara. Tak ada penyanggahan atas fitnah yang diucapkan Jiran. Jiran adalah sahabat Nashwa dari bangku SMP, keduanya sama-sama menempuh pendidikan di fakultas yang sama. 

"Benar yang dikatakan, Kak Jiran?" tanyanya dengan nada nyaris tercekat. Tenggorokannya terasa penuh, seakan beban yang menghimpit dada berhasil melumpuhkan raganya. 

Daren hanya terdiam, acara akad telah selesai. Satu masalah terselesaikan justru masalah lainnya kembali tumbuh mengarungi bahtera yang belum sempat berlayar. 

Lelaki paruh baya itu mengusap wajahnya dengan kasar sembari mengucapkan istighfar. Meskipun, dirinya berusaha kuat. Namun, hatinya tak bisa berbohong menutupi kehancuran anak-anaknya. 

Seorang Ayah mana yang mampu melihat penderitaan anak-anaknya? Ayah mana yang sanggup melihat putrinya terjerumus lembah dosa? 

Pak Basyah berjongkok mensejajarkan diri dengan lelaki yang hanya bisa bersimpuh tanpa menjawab pertanyaan, yang membuatnya hancur beribu kali. "Bener, Nak? Apa yang dikatakan Jiran?" ucapnya lirih. 

Daren tak kuasa menatap sorot mata sang empu yang tengah memerah hebat. Sorot mata yang membuatnya semakin kalut tatkala Nashwa memperlihatkan dua garis merah. 

Mendadak lidahnya terasa keluh untuk menjawab pertanyaan sang empu. Ia hanya mengangguk pelan, membenarkan semua perkataan yang terlontar menghakiminya. 

Semua keluarga hanya terdiam, tetapi tidak dengan Pak Basyah. Ia memilih pergi meninggalkan keributan yang semakin menjadi, mencoba memadamkan amarah dalam dirinya. 

"Ayah," panggil Nahwa dalam pelukan sang empunya. Lelaki itu hanya menangis dalam diam, sementara tangannya membekap isakan tangis yang mulai terdengar lirih. 

"Kenapa takdir selalu saja mengecoh kita? Kenapa, Yah?"

"Maaf, ini semua salah ayah, Nak. Ayah udah buat kamu menikah dengan lelaki yang tidak bisa mencintaimu, tapi ayah berharap ia bisa membimbing putri ayah satu-satunya ke jalan yang benar. 

Jalan di mana ridha dan pengampunan-Nya tiada tara. Ayah salah menilai Daren, ayah salah menilai imam kamu, Nahwa. Maafin ayah," isaknya semakin terdengar. Keduanya berpelukan sembari menguatkan satu sama lain. 

Dunia memang sepelik itu, memperlihatkan yang baik lalu menanggalkan yang buruk, tidak. Lebih tepatnya menutupi yang buruk menanggalkan yang baik. 

"Ayah gak tau harus berbuat apa sekarang, ayah gak sanggup melepaskan Nahwa dengan lelaki yang telah meniduri kakakmu sendiri, ayah gak sanggup melihat putri ayah hancur untuk kesekian kalinya."

Wanita itu hanya menggeleng lemah, jemarinya menghapus jejak bulir air mata sang ayah. Membuat Basyah dipenuhi rasa bersalah. "Nggak, Ayah. Nahwa sudah sah menjadi istri dari kak Daren. Mengikuti suami adalah kewajiban dari seorang istri. Nahwa akan berusaha untuk sebaik mungkin. Bukankah pernikahan adalah separuh ibadah seumur hidup?"

"Pernikahanmu bukan sebuah pernikahan yang suamimu inginkan, tapi ikatan sebuah pernikahan tak bisa dijadikan permainan, itu sangat sakral dan mengikat seumur hidup. 

Ayah gak bisa melarang kamu buat gak ikut dengan Daren. Karena tangan ayah sendiri yang menjabat tangan suamimu untuk ijab qabul. Menyerahkan belahan jiwa ayah dengan lelaki yang telah sah menjadi suamimu, Nak. Maafkan ayah telah salah menilai imammu, Nak."

Nahwa menggeleng lemah, ia tahu bahwa ini bukanlah sepenuhnya kesalahan sang Ayah. Semua telah direncanakan oleh-Nya. Apa yang menurut kita baik, tapi belum tentu baik bagi-Nya dan apa yang menurut kita tidak baik belum tentu tidak baik bagi-Nya.

Dengan cepat Nahwa membereskan kopernya, sesaat netra cokelatnya menelisik ruangan berukuran sedang. Nuansa cat ungu muda mendominasi ruangan tersebut selama dua puluh empat tahun, dengan ornamen kaktus mini terjajar rapi di rak pajangan. 

"Aku rindu aroma kamar ini," gumamnya setengah berbisik.

Pasalnya wanita itu sangat menyukai tanaman kaktus berukuran mini, tapi kali ini ia memutuskan untuk memilih ornamen kamar dengan hiasan replika kaktus. 

Buliran bening melesak cepat, membuat sang empu semakin segugukan menahan isakan tangis. Hatinya berteriak, serta ego yang semakin rusuh berhasil membuat raganya goyah. Di satu sisi ia tak ingin pergi dengan lelaki yang telah menjadi suaminya di sisi lain ia tak mau meninggalkan sang Ayah sendirian tanpa dirinya. 

"Bagaimana selanjutnya ya, Rabb?" bisiknya sendu. 

Lelaki berkemeja putih itu mengetuk pintu kamar. Reflek membuat Nahwa tersentak dari isakan tangis dengan cepat tangan mungilnya menyeka air matanya.

Daren hanya diam, tanpa memperdulikan isakan tangis sang istri ia langsung pergi. Nahwa yang melihat perilaku acuh sang suami, hanya terduduk lemas mendapati perilaku yang membuatnya semakin sakit. 

Pertahanan hati yang tengah dinanti telah runtuh, tatkala hati yang setengah berbisik kembali berisik tanpa mengusik sang empu. Namun, berhasil membuat mati sang logika yang seharusnya dipakai sebelum mengambil sebuah keputusan besar. 

***

"Saatnya pamitan, sang pengantin wanita akan tinggal di rumah suaminya," ucap Bude Wani. Semua keluarga sang mempelai lelaki hanya menunduk malu. Sesekali menampilkan senyuman singkat, tetapi rasa malu akan perbuatan sang anak tak bisa dihindarkan. 

Nahwa memeluk erat satu persatu keluarganya. Ia tak pernah membayangkan pernikahan yang terjadi secara mendadak dan juga perpisahan yang terjadi sangat cepat. 

Tiba saatnya Nahwa memeluk sang Ayah, dengan cepat ia menenggelamkan isakan tangis di dada bidang milik cinta pertamanya. Di saat suara azan untuk pertama kalinya terdengar ketika Nahwa kecil hadir di dunia, saat itulah ia menjatuhkan hatinya dengan sang empu. Lelaki pertama yang membuatnya kuat saat terluka. 

"Kalau kamu tak sanggup, pulanglah, Nak. Ayah akan selalu menyambutmu seperti dulu," bisiknya dengan suara parau. Nahwa semakin terisak.

Detik kemudian raga ringkih sang empu terkulai lemas. 

"Ayah!"

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status