Share

Perjanjian?

Nahwa merangkul tubuh sang Ayah yang sudah terbaring lemah dipangkuannya. Dengan ketakutan, bibir mungilnya mencoba memanggil sang ayah. Namun, kelopak mata sang empu masih tertutup rapat. Tangan kokoh Basyah mencoba menggenggam jemari Nahwa. 

 Dengan ceketan Daren membopong tubuh Basyah ke dalam mobil. Lelaki bertubuh tegap itu menyetir kemudi, melaju dengan cepat tanpa menghiraukan klakson yang sangat memekakan telinga. 

"Ayah, sadar, Yah. Nahwa gak mau ayah kayak begini." Tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi sang Ayah, berharap sang empu sedia membuka mata. 

Daren melihat situasi yang semakin sulit, sesekali dirinya melihat ke belakang. Tangisan Nahwa pecah, ketika jemari Basyah perlahan mengendurkan genggamannya dengan sang putri tercinta. Sesaat bersamaan dengan itu, napas sang Ayah tersengal, membuat keadaan semakin pelik, tanpa sengaja Daren menghantam trotoar jalan. Untungnya stir kemudi masih bisa ia kendalikan. 

"Kak, ay-ah ... na-pasnya terhenti." Ucapan Nahwa berhasil membuat Daren mengerem mendadak, membuat ban belakang sedikit tergelincir. Kesedihan wanita itu semakin tak terkendali, ia meraung kesakitan sesekali menepuk pipi sang Ayah, reflek Nahwa mengguncang tubuh lelaki yang telah pucat pasi itu dengan kuat. Namun, sang empu tak kunjung bangun dari tidur panjangnya. 

"Ayah! Bangun, Yah. Jangan tinggalin Nahwa sendiri, Yah, i-ni Nahwa ... ayah, gak boleh ninggalin Nahwa." Isakan tangisnya semakin menjadi. 

Daren menghela napas gusar, kali ini ujian datang bertubi-tubi. Ia memakirkan mobilnya, dengan cepat pindah ke bangku belakang. Lelaki itu memeriksa keadaan dan Ayah mertuanya, dengan cepat ia meraih pergelangan tangan yang telah keriput termakan usia senja, Daren meraba denyut nadi. Namun, nihil tak ia temukan denyut nadi.

"Innalilahi w* innailaihi ro'jiun." Reflek ia mengusap bahu Nahw* yang masih terguncang hebat, tangisannya meledak tak karuan. Sedangkan lelaki yang masih memakai kemeja putih polos berdiri mematung di sebelah Nahw*.

Mobil belakang ikut menepi, segerombolan keluarga mulai memeriksa keadaan yang mulai tak terkendalikan. 

"Pak Basyah, tak tertolong," kata Daren. 

"Innalilahi w* innailaihi ro'jiun." Keluarga Daren tak berdaya. Sementara, Mayda terkulai lemas melihat kondisi sang suami tengah terbaring kaku dipangkuan Nahw*.

"Mas!" Bibirnya keluh tanpa suara, hanya isakan tangis yang semakin menjadi. Detik kemudian tubuh Mayda terjatuh tak berdaya. 

Dengan cepat mereka bergegas ke rumah sakit, sembari membawa jasad almarhum serta sang istri yang tak kunjung sadarkan diri.

Mata lentiknya menatap kosong wajah sang ayah. Bayang-bayang kenangan sang ayah kini memenuhi pikirannya. Bibir mungil sang empu terkatup rapat menahan jeritan, terkadang terdengar lirih isakan tangis yang semakin pilu. 

"Ayah, ke mana Nahwa akan pulang? Jika sewaktu-waktu rumah ayah kosong. Gak ada lagi ayah yang selalu manjain Nahwa. Ayah, ke mana lagi Nahwa akan bercerita? Tentang hari yang selalu memojokkan kita, ayah janji untuk mendengar semua keluh kesah Nahwa, tapi ...di mana lagi Nahwa akan menemukan pendengar yang baik, seperti ayah." Sesaat ia menarik napas.

'Nahwa belum siap untuk kehilangan kesekian kalinya,' gumamnya lemah. Isakan tangis yang sengaja ia tahan, nyatanya pecah.

Daren hanya terdiam membisu, tatapannya nanar melihat ketidaksiapan sang istri akan sebuah kehilangan. 

"Bagaimana jika suatu saat aku meninggalkannya? Ke mana ia akan mengadu rasa sakitnya," batin Daren lemah.  

Di hari pernikahannya ia mengalami nasib tragis. Ujian semakin menghantam raganya bertubi-tubi tanpa henti. Membuat yang kuat menjadi lemah dan yang lemah semakin bingung bagaimana caranya menjadi kuat seperti sedia kala. 

"Biarkan aku sendiri," ucap Nahwa ketika mendengar derap langkah menuju kamarnya. Sudah satu bulan semenjak kepergian sang ayah. Nahwa masih ingin tinggal di rumah lamanya. Begitu banyak kenangan sang ayah yang masih setia membekas disetiap bangunan rumah ini.

"Nahwah, ada yang harus kubicarkan!" Suara bariton tersebut memecahkan keheningan, membuat Nahwa semakin tak berdaya mendengar suara yang sangat ia hindari selama ini.

"Masuklah, pintunya gak aku kunci." 

Lelaki berkemeja biru soft tersebut masuk ke kamar Nahwa. Ia mulai duduk di sisi ranjang tepat disebelah Nahwa yang masih setia menatap ke arah jendela luar. 

"Aku ingin mengatakan sesuatu. Oma dari desa akan datang, dia tak tahu akan semua kejadian ini. Jika dia tahu yang sebenarnya, maka oma akan drop karena mempunyai riwayat penyakit jantung koroner. Aku gak mau oma jatuh sakit. Jadi, aku mohon sama kamu untuk pulang dan menjalani kehidupan seperti suami istri pada umumnya."

Mukena miliknya masih melekat sempurna, wanita itu hanya menoleh sesaat. "Ini rumahku, untuk apa aku pulang? Jika ini rumahku," balasnya dengan nada datar sambil membuang muka ke sisi jendela. 

Daren mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia sudah kehabisan akal untuk membujuk Nahwa yang sangat keras kepala, sangat berbeda dengan sang kakak yang penurut. 

"Aku mohon sama kamu, sekali ini saja. Setelah ini terserah mau kamu gimana. Oma akan tiba lusa, aku akan memenuhi persyaratannya dan keputusanmu setelah oma kembali ke desa. Hanya beberapa waktu saja," bujuk Daren dengan nada memelas. 

Mata lentiknya terlihat menghitam, serta area kantong mata yang tengah membengkak. Rasanya seperti mimpi ketika kehilangan dengan sosok orang yang sangat disayanginya. 

"Aku mau pisah," kata Nahwa dengan nada sedikit bergetar. Lelaki disebelahnya terbelalak terkejut ketika mendengar penuturan Nahwa. Bukankah itu yang sangat diinginkan Daren, tanpa ada ikatan pada dua insan yang sangat asing, tapi keadaan malah berbalik padanya. 

"Ini keputusan gila, Na." Lelaki itu masih berusaha membujuk Nahwa yang kini telah sah menjadi istrinya. 

"Tapi membayangkan menjalani kehidupan pernikahan ini, hampir membuatku gila," kilahnya cepat. 

Daren menghela napas panjang, ia tahu jika sang istri masih perlu waktu sendiri untuk beradaptasi dengan kehilangan. Namun, kali ini tenggat waktu hampir membunuhnya, membuat Daren harus berpikir seribu kali untuk membuat sang oma percaya jika hidupnya baik-baik saja. 

"Jika itu maumu, baiklah, tapi dalam waktu enam bulan kita akan tinggal seatap. Maaf jika keputusanku tidak mendapat persetujuan darimu, saat ini aku masih suamimu dan wajib bagi seorang istri untuk ikut perintah suaminya. " 

Luka itu kembali menganga di hati Nahwa, buliran bening kembali meluruh membasahi mukenanya. 

Daren mengeluarkan selembar kertas. 

"Tulislah persyaratan selama kita menjalani pernikahan ini. Tentu dengan kesepakatan bersama dan juga dalam kurun waktu yang kamu inginkan, kita akan pisah enam bulan kemudian." Nahwa meraih kembaran tersebut dan menuliskan kesepakatannya. Daren membaca isi lembaran tersebut dan menerima kesepakatan yang telah dibuat. 

Mereka akan menjalani biduk rumah tangga dengan peraturan selembar kertas yang telah ditanda tangani di atas materai dan berdasarkan kesepakatan bersama. 

"Kita akan tidur satu kamar, aku tak akan menyentuhmu," ucap Daren tenang. Wanita itu termenung meratapi kehidupan yang jauh lebih berat dari sebelumnya. 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status