Dion gelagapan, matanya membola sempurna. Tanpa diminta jantungnya berlomba-lomba berdetak. Seketika ia betulkan posisi tubuh. "Sorry ... sorry, gak sengaja.""Cari kesempatan kamu, ya! Jangan-jangan kamu mau ngapa-ngapain aku!"Savira terduduk, menatap tajam lelaki yang berdiri di samping ranjang. Tatapan mengintimidasi terlihat jelas di sana. Dion hanya diam seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Lelaki itu bingung harus bagiamana. Sungguh itu kejadian memalukan bagi putra tunggal pemilik perusahaan ternama. Mencium wanita yang menjadi musuh besarnya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Bukan, lebih tepatnya sebuah kutukan. Namun justru kebencian membuat mereka semaki dekat. "Ngaku kamu, Dion!""Siapa juga yang mau cium wanita seperti kamu. Hii... jijik."Dion mengusap kasar bibir berulang kali. Membuang jejak bibir Savira yang sempat menempel di sana. Sialnya tak bisa membatalkan apa yang terlanjur terjadi. "Jijik tapi nyosor!"Savira mencebik, menatap kesal hingga membuat D
"Mundur, Dion! Jangan deket-dekat!""Kenapa, Ra? Bukankah kita suami istri?"Dion semakin mendekat, tiap langkah kaki lelaki itu membuat nyali Savira kian menciut. Bayangan pemaksaan terlintas di kepala Savira, ia ketakutan. Semua wanita mendambakan bulan madu indah bersama pasangannya. Sama seperti impian Savira, tak perlu ke luar negri atau pun hotel mewah. Perempuan itu hanya menginginkan indahnya malam pertama dengan orang yang ia cintai. Bukan justru bulan madu bersama orang yang sangat membencinya. "Benar, kan, Ra? Kita suami istri, tubuh kamu milik aku."Dion tersenyum menyeringai seraya mengusap pipi Savira. Perempuan yang masih mengenakan gaun pengantin itu hanya diam. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin pun mulai membasahi dahinya. "Kenapa, Sayang? Kamu takut?"Savira terdiam, entah mengapa mulutnya membisu. Dia hanya mempererat pakaian ganti yang ia bawa. Nyali yang sempat melambung terhempas begitu saja.Dion menahan tawa melihat ekspresi wajah Savira. Belum la
"Kenapa menatapku seperti itu?"Dion menatapku tajam, sorot mata bak singa yang siap menerkam mangsa. Tapi sayang, aku tidak takut. Sudah terlalu sering mendapatkan perlakuan seperti itu, hingga akhirnya aku pun terbiasa. "Kamu kecewa tak jadi menginap di hotel? Bukankah kamu sudah terbiasa menginap bersama tua bangka itu? Sudah berapa hotel yang kamu kunjungi?"Aku menghela napas, mengalihkan pandangan agar tak bertatap muka dengan lelaki itu. Jujur ucapan Dion bak belati yang menusuk tepat di jantung, menyakitkan. Namun menjelaskan juga percuma, dia tak akan percaya. Mobil yang kami naiki melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah. Kamar hotel yang sudah kami booking terpaksa kami tinggalkan. Semua karena pergulatan yang terjadi antara Dion dan dua perempuan itu. Hening, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kami seperti orang asing yang duduk dalam satu mobil. Ah, bukankah kami memang orang asing. Bahkan pernikahan hanya sebuah status agar warisan jatuh di tangannya.
Pov Savira"Ada apa, Nung?" Aku bertanya saat Nunung sudah berdiri di hadapanku. Napas perempuan itu tersengal, sudah seperti berlari mengelilingi satu komplek. "A-ada orang di luar, Nyah.""Siapa?""I--itu, wanita edan.""Siapa sih, Nung!""Lihat sendiri saja, Nyah!"Nunung manarik tangan ini hingga membuatku berjalan mengikuti setiap langkah kakinya. Kemudian kami berhenti tepat di depan pintu utama. "Buka, Nyah!"Perempuan yang semula berada di depanku kini berpindah tempat, ia berdiri di belakang tubuh langsingku. Percuma bersembunyi, tubuhnya saja jauh lebih besar dariku. "Lha, harusnya kamu yang buka, Nung. Bukan aku!"Nunung menggeleng, perempuan yang tadinya bersemangat kini menciut seperti kerupuk tersiram air, melempem. Pintu segera kubuka, seorang wanita berambut pirang berdiri tepat di depan pintu. Kedua tangannya menyilang di dada, belum lagi tatapan sinis yang ia layangkan padaku. Julia, dia tamuku malam ini. "Ada perlu apa, Mbak?"Aku bertanya tanpa mempersilakan
Savira terdiam di sudut ranjang, bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Bibir bawah ia gigit seraya menahan suara yang keluar dari mulutnya. Perlahan ia berjalan menuju kamar mandi seraya menahan nyeri yang terasa di bawah perut. Kembali ia teteskan air mata kala mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Bukan karena ia tak mau memenuhi haknya sebagai seorang istri. Namun cara memintanya yang salah, hingga membuat Savira kecewa. Tetes demi tetes air shower jatuh membasahi tubuh Savira. Perempuan itu menangis terisak. Bahkan dadanya kian teras sesak. "Kenapa harus seperti ini, Tuhan?"Savira luruh di lantai, baju dan tubuh yang ia kenakan telah basah oleh air. Namun ia masih diam dengan posisi yang sama. Sekali pun dingin menusuk tulang. Dinding kamar mandi menjadi saksi kekecewaan yang Savira alami. Dingin, tubuh perempuan itu mulai menggigil. Savira pun segera menyelesaikan mandi besar. Setelah memakai pakaian ia pun melangkah gontai menuju ranjang. Lebih tepatnya sofa pan
Hendra meremas surat kabar yang baru saja ia baca. Kemudian melempar kumpulan kertas berisi berita kemarin di atas meja. Helaan napas keluar dari mulut lelaki itu. "Dugaanku benar, kejadian kemarin akan menjadi topik pembicaraan. Aku tak peduli bagaimana nasib Dion, perasaan Savira yang kini aku pikirkan."Pengakuan Julia di acara pernikahan Dion tak ubahnya bom yang meledak. Menghancurkan semua orang yang ada di sekitarnya. Bukan hanya nama Dion yang tercoreng tapi perusahaan Purnawan menjadi sorotan. Para investor pun mulai ragu dengan kinerja putra tunggal Purnawan."Apa mungkin Dion melakukan hal gila itu? Tak menutup kemungkinan janin yang dikandung Julia merupakan anak Dion. Bukankah mereka berdua menjalin hubungan lebih dari satu tahun?" Pikiran Hendra terus berkecamuk. Bahkan kopi yang ada di atas meja nyaris dingin karena terlalu lama diabaikan. Lelaki itu masih fokus memikirkan cara menghentikan kabar tersebut.Memberi uang bukan lagi menjadi solusi. Bukan hanya para pembu
Beberapa hari Dion dan Savira saling diam. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Kejadian tempo hari semakin membuat hubungan keduanya merenggang, mereka benar-benar seperti orang asing. Ah, bukankah mereka orang asing yang terpaksa menjadi suami istri karena surat wasiat?Hari ini Dion mulai bekerja di kantor. Libur honey moon telah usai, kini ia harus di hadapkan dengan tumpukan berkas yang perlu diperiksa dan ditanda tangani. Bagi lelaki itu tumpukan pekerjaan dan laporan adalah neraka."Kenapa harus ke kantor? Tak bisakah jalan sendiri? Males banget."Dion menggerutu seraya mengenakan kemeja berwarna putih. Sebuah jas berwarna cream melengkapi penampilannya kali ini. Lelaki dengan tubuh atletis itu nampak semakin menawan. Tidak heran banyak perempuan yang tergila-gila padanya."Belum be..." Savira menutup mulutnya. Keinginan bertanya dia lupakan."Kenapa tutup mulut"Dion menatap Savira dari pantulan cermin yang ada di hadapannya. Seketika Savira membalikkan bad
"Aduh, kenapa harus begini?" rutuk Savira seraya mengusap wajah kasar."Bener, kan? Mbak ini istri Dion Adi Purnawan, anak pengusaha tambang itu, kan?""Mbak salah orang. Ya kali istri pengusaha pakai motor butut gini."Savira menjawab sambil menahan gugup yang mendera. Bahkan butir-butir keringat menempel di keningnya. Ragu, ia langkahkan kaki mendekat ke arah penjual es kelapa muda."Balik badan pasti ketahuan. Ah, ini nih akibat enggak nurut sama suami. Baru juga keluar sudah mendengar ucapan tak enak. Emang bener ... susah punya suami tampan dan kaya. Fansnya berceceran di jalan."Savira terus berbicara dalam hati. Berbagai argumen menari dalam kepala. Pernikahan mereka memang bermula dari keterpaksaan, namun tanpa disadari ada rasa yang tumbuh di hati keduanya. Meski tertutup dengan ego masing-masing.Seorang perempuan menatap lekat netra Savira. Bahkan wajahnya kian mendekat hingga tinggal tiga jari jarak keduanya. Savira menelan ludah dengan susah payah. Tatapan itu membuat ia