"Kapan kelarnya?" Dion mengusap wajah kasar. Kepalanya bersandar di kursi. Sesekali ia pijit kepala yang terasa berdenyut, pusing.Dokumen yang harus Dion periksa masih menumpuk di atas meja. Dia hanya menatap tapi enggan menyentuh. Sudah setengah hari ia berkutat dengan laporan dan dokumen. Namun tumpukan berkas itu tak kunjung berkurang. Lelah, Dion pun menyerah."Gak kuat gue lama-lama!"Dion memejamkan mata, mengabaikan dokumen penting yang terus meronta. Ingin menghilang, tapi lelaki itu tak memiliki kekuatan. Ancaman Hendra mengikatnya untuk tetap duduk di sana."Kalau Mas Dion gak sanggup mengurus aset biar Savira yang akan turun tangan. Tapi jangan salahkan saya jika Mas Dion tak memiliki banyak uang untuk bersenang-senang."Kalimat yang keluar dari Hendra terus terngiang di telinganya. Memaksa lelaki itu untuk bertahan dengan tumpukan laporan demi sebuah warisan."Aku kira memiliki perusahaan ... aku bebas menikmati kekayaan. Tapi ternyata salah, hidupku justru seperti di ne
Dion segera membopong Savira ke lantai atas, di ikuti Nunung di belakangnya. Dengan sigap Nunung membuka pintu kamar agar majikannya dapat masuk."Telepon dokter Hans, Nung!"Dion merebahkan Savira di atas ranjang. Perlahan ia buka pakaian Savira yang telah basah agar demamnya tak semakin parah."Tuan mau ngapain?" "Kamu gak denger? Telepon dokter Hans, sekarang!""Ba--baik, Tuan."Nunung membalikkan badan, belum sampai pintu gerakan kakinya terhenti."Nomor teleponnya berapa, Tuan?""Ada dibuku telepon,Nung!" Nunung segera keluar sebelum Dion semakin marah. Mengerikan jika atasannya mengeluarkan taring.Dion tertegun melihat Savira, seketika menelan ludah dengan susah payah. Sebagai lelaki normal, ia tergoda saat menatap setiap inci tubuh Savira. Namun segera ia buang pikiran kotor yang memenuhi isi kepalanya. Sadar, istrinya tengah tak sadarkan diri."Sial, pikiranku jadi ke mana-mana!"Dion mengusap wajar kasar. Perlahan ia memakaikan baju Savira. Kembali ia diam kala pikiran ko
"Kamu sudah sadar, Ra?" Dion mendekat, menempelkan telapak tangannya di kening Savira. Panas saat kedua kulit itu menempel, namun tak sepanas saat Dion meninggalkannya. Demam istrinya sudah turun."Udah turun, tapi masih panas. Udah makan belum, Ra?"Dion meletakkan obat di atas nakas kemudian duduk tepat di samping Savira. Hening, tak ada jawaban dari mulut istrinya. Savira masih memikirkan perkataan Nunung beberapa saat tadi."Ra, udah makan belum?""Eh, iya ... apa?""Kamu gak dengerin aku ngomong, Ra? Kamu dah makan belum?"Savira tersenyum kaku kemudian menggeleng pelan. Menatap Dion membuat pikirannya kembali berkelana ke mana-mana. Bayangan Dion melepaskan pakaiannya satu-satu menari-nari di pelupuk mata. Savira bergidik ngeri."Tunggu sebentar, aku ambilkan makan."Dion pun pergi menuju lantai bawah. Dengan cepat ia mengambil bubur yang tadi dimasakan Siti."Mau saya bawakan, Tuan?" Siti berjalan mendekat ke arah Dion. Perempuan itu menunduk, takut melihat sorot mata tajam
Regina membalikkan badan, tangan yang hendak menampar Savira terhempas di udara."Apa-apaan ini?"Dion menatap penuh tanda tanya. Savira memilih menunduk, sementara Regina tersenyum penuh kepalsuan."Apa yang terjadi, Ma? Kenapa Mama mau menampar Savira?"Dion berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di tengah Savira dan Regina. Lelaki itu menatap selidik dua perempuan yang berada di sampingnya."Tidak apa-apa. Benar begitu, kan, Ra?"Regina menatap tajam ke arah Savira. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan menantunya untuk berkata iya. Regina memang membenci Savira, namun di hadapan Dion, dia seperti domba, meski sebenarnya serigala.Perhatian Dion beberapa hari ini meyakinkan Regina, jika putranya telah memiliki rasa pada Savira. Perempuan itu mulai berhati-hati bersikap di hadapan Dion dan Hendra. Dia tak ingin kehilangan ATM berjalannya."Benar seperti itu, Ra?" tanya Dion memastikan.Savira diam beberapa saat, ingin berkata jujur tapi dia sedang malas berdebat. Tubuhnya belum sepenuhn
Dion menepikan sembarangan kendaraan roda empatnya. Lelaki itu bergegas masuk ke rumah sakit."Dokter Bram ada di mana, Sus?"Lelaki itu bertanya pada seorang perawat yang tengah mendorong pasien dengan kursi roda. Perawat tersebut terpaksa berhenti."Dokter Bram yang ganteng itu, Mas?"Dion mencebik mendengar kata ganteng. Perutnya mendadak mual, namun ia tahan agar tak merusak citranya. Ketampanan dan pesonanya akan berkurang hanya karena sebuah kesalahan, muntah di depan pintu utama rumah sakit."Di mana, Sus?""Dokter Bram berada di IGD, Mas."Dion mengangguk, sedikit berlari menuju ruang IGD. Tak perlu bertanya, Dion sudah hafal denah rumah sakit ini. "Mas, mobilnya!" teriak seorang satpam yang memakai baju berwarna coklat.Dion terus berlari, tak ia hiraukan panggilan satpam itu. Amarah dalam dirinya harus segera dilampiaskan. Lelaki itu sudah tak sabar menghajar Bram jika terbukti bersama Savira, istrinya.Pintu IGD tertutup, namun dapat terlihat dari luar karena pintu itu ter
"Tidak!"Dion membuang muka, tangannya terlepas dari pundak Savira. Tarikan napas mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menelusup. Dion salah tingkah mendengar pertanyaan istrinya."Yakin? Tapi kenapa ekspresimu begitu?""Aku cuman ... Em ... gak mau disalahin kalau kamu benar-benar hilang."Dion menjawab sekenanya kemudian memilih mengalihkan pandangan."Ow ... Oke."Savira mengangguk meski tak percaya dengan jawaban Dion. Perempuan itu yakin jika Dion benar-benar mengkhawatirkannya. Meski Dion tak mengakuinya."Kenapa gak beri kabar? Kenapa juga di sini? Kamu sakit atau gimana?"Dion mencecar Savira dengan berbagai pertanyaan. Belum ada jawaban tapi dia terus bertanya. "Satu-satu, Dion. Aku pusing dengernya.""Kenapa kamu ada di sini, Ra?"Dion kembali berbicara, satu pertanyaan keluar dari mulutnya. "Ibu sakit, Dion.""Sekarang di mana? Kenapa tidak beri kabar?""Daya ponsel habis, lupa gak bawa charger."Dion dan Savira berjalan menuju kamar inap Wati. Sepanjang jalan mereka han
"Kamu menyukai Savira?"Regina mendekat, dia tatap penuh selidik putranya. Cepat-cepat Dion mengalihkan pandangan. Lelaki itu tak ingin Regina tahu, ada gejolak dalam hatinya. Karena Dion pun tak mengerti perasaannya seperti apa."Ingat, Dion. Savira itu musuh kita!"Dion hanya mampu menganggukkan kepala. Sejujurnya ada kebimbangan yang kini ia rasakan. Beberapa bulan tinggal satu atap bersama Savira membuat rasa benci berubah menjadi empati, bahkan benih cinta mulai bersemi. Hari demi hari yang mereka lalui mampu menyadarkan Dion, jika semua praduganya salah besar. Apa lagi darah di seprai menjadi saksi kalau Savira bukan wanita murahan. Dia mampu menjaga mahkotanya."Dia yang menghancurkan pernikahan mama dan papa, Dion! Kamu harus ingat itu!"Regina membalikkan badan, melangkah pergi dengan menghentak-hentakkan kaki. Sesekali perempuan itu memaki. Bahkan mengutuk Savira dengan kata-kata keji. Dia lupa jika ucapan itu bisa berbalik padanya.Benturan pintu menjadi tanda jika perempu
Dion membuka mata. Rasa ingin buang air kecil memaksanya bangun meski kantuk masih mendera. Lelaki itu menyibak selimut, seketika matanya melotot."Astaga!"Dion kembali menutup tubuhnya dengan selimut. "Kenapa bisa telanjang begini?" gumamnya lirih.Dion menoleh ke samping, matanya kembali membola kala melihat Savira tidur terlelap. Sama sepertinya, Savira tidur tanpa memakai busana. Hanya selimut yang menutupi setiap inci tubuhnya."Kenapa Savira juga sama sepertiku? Apa yang terjadi semalam?"Dion mencoba mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu."Apa aku melakukannya lagi?"Lelaki itu beranjak dari ranjang dengan hati-hati, dia punguti pakaian yang berserakan lalu menuju kamar mandi. Guyuran air hangat mampu menghilangkan rasa kantuk yang sempat mendera.Azan subuh berkumandang di masjid tak jauh dari kediaman Dion. Seperti alarm Savira pun terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia mengejapkan mata beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina."Sudah bangun!"Seket