"Apa benar Bapak menjual aku pada Dion?"Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Savira. Susah payah dia menahan kata-kata agar tak menyakiti hati kedua orang tuanya. Namun melihat Nurdin pulang dengan membawa barang belanjaan membuat dada wanita itu bergemuruh. Emosi yang ia tahan lepas tak terkendali. Nurdin membalikkan badan, ia jatuhkan barang belanjaan di lantai begitu saja. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Savira, giginya gemeletuk dengan wajah merah padam. Membuang napas kasar, Savira mengalihkan pandangan lalu membalikkan badan. Dia tutup rapat pintu depan rumahnya. Pertengkaran yang terjadi tak boleh sampai dilihat orang lain. Malu, kata itu yang ada dibenak Savira. "Apa kamu bilang tadi, menjual? Bapak hanya menerima lamaran Dion, bukan menjual kamu. Harusnya kamu senang dipinang lelaki tampan dan yang pasti dia mapan." Nurdin berusaha menutupi kenyataan dengan menonjolkan amarahnya. "Bukan menjual kata Bapak? Bapak menerima uang dari Dion agar dia bisa menik
Savira mengoles hidung Wati dengan minyak kayu putih. Perlahan wanita paruh baya itu membuka mata. Sosok wanita yang masih mengenakan seragam perawat terlihat pertama kali. "Vira...." lirih Wati berucap bagai hembusan angin. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi Wati. "Ada yang sakit, Bu?" Savira memperhatikan setiap inci tubuh Wati. Namun tak ia temukan barang segaris luka di tubuh wanita yang bertaruh nyawa saat melahirkannya itu. "Dada ibu sesak?" tanya Savira lagi. Wati menggeleng lalu kembali menjatuhkan air matanya. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena tak mampu melindungi putrinya. "Kenapa ibu menangis? Katakan bagian mana yang sakit, Bu? Nanti Savira obati.""Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa melindungi kamu dari keegoisan bapak." Wati terisak, bayangan uang 50 juta menari-nari di pelupuk mata."Savira baik-baik saja Bu. Savira akan mengembalikan uang Dion," jawab Savira ragu. "50 juta, Ra. Uang dari mana?"Savira terdiam tak mampu menjawab pertanyaan Wa
"Aku yang akan membayarnya!" Semua mata menoleh ke pintu, seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di muka pintu dengan membawa amplop coklat berisi uang. "Pak Hendra!""Hendra!"Ucap Savira dan Dion hampir bersamaan. Kedua orang berbeda gender itu menatap heran pada lelaki yang kini berjalan mendekat. Hendra menjatuhkan bobot tepat di samping Savira. Membuat Dion yang duduk di hadapannya menatap tak suka. Bukan, bukan karena ia cemburu tapi karena rencana yang sudah tersusun rapi akan hancur berantakan. Apa lagi jika Savira menerima bantuan dari Hendra. "Apa maksud Pak Hendra tadi?" Savira menoleh ke kanan, dia tatap lekat manik bening lelaki yang duduk di sampingnya. Hendra menggeser kursi kayu yang ia duduki hingga dapat menatap dengan jelas wajah ayu Savira dari dekat. Tak dapat dipungkiri ada rasa tertarik kala melihat Savira untuk pertama kali. Namun Hendra sadar, dia hanya butiran debu jika dibandingkan dengan Purnawan. "Saya akan memberikan uang untuk membayar hutang Dion.
Dion melangkah penuh percaya diri menuju kantin rumah sakit, tempat Savira berada. Lunch box berwarna biru berada di tangan kanannya. Rencana yang Regina bicarakan harus segera dilakukan mengingat batas waktu tinggal sepuluh hari lagi. Jika tidak, seluruh aset Purnawan akan lepas dari tangannya. Dia akan jatuh miskin. Sesekali dia mengatur napas. Lelaki itu harus pandai menyembunyikan marah pada Savira. Meski kenyataannya dia begitu membenci wanita itu. Baginya Savira adalah kutu yang harus dibasmi. "Kenapa aku harus menikahi gundikmu, Pa! Papa benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya memintaku menikahi wanita bekas dirinya. Menjijikan!" rutuk Dion dalam hati. Dion berhenti melangkah, matanya awas mencari seorang wanita yang kini duduk sambil meminum es teh. "Ini demi uang! Ayo Dion!" ucap Dion menyemangati dirinya sendiri. Setelah cukup tenang Dion melangkah mendekati meja tempat Savira mengistirahatkan tubuh untuk sejenak. Jadwal istirahat diatur bergiliran. Ruang IGD tak boleh k
Dion membisu, dia benar-benar tak menyangka jika Savira mengetahui semuanya. Kini rasa takut bersemayam di hati lelaki itu. "Kenapa diam? Jadi benar semua hanya kebohonganmu saja, kan?""Tidak... Lihat ini!" Dion menyerahkan ponsel dengan gambar amplop bertuliskan nama Savira di sana. Sebelum ke rumah sakit Dion sempat menulis amplop dengan nama Savira .Kemudian ia foto benda itu. Putra Purnawan itu yakin kejadian ini akan terjadi. Mengingat Savira menolak lamaran dan bujuk rayunya. Ya, wanita itu sama sekali tak menyukai Dion. Melihat foto yang Dion berikan membuat Savira bimbang. Satu sisi hatinya mempercayai perkataan calon anak tirinya itu. Namun sisi lain meragukan keaslian amplop itu. "Kamu masih tak percaya?" Dion melirik Savira yang masih diam membisu. "Akan aku tunjukkan. Tapi tidak sekarang, aku akan menjemputmu. Kita baca surat itu sama-sama. Surat itu masih di rumah, aku takut hilang jika membawa."Dion beranjak dari kursinya lalu melangkah pergi meninggalkan Savira ya
Regina mulai menjalankan rencana yang sudah ia susun rapi. Dengan tergesa-gesa ia berlari menuju gerombolan lelaki yang asyik berbincang di depan rumah Pak RT. Wanita dengan penampilan cetar itu berhenti tepat di depan rumah Kepala Rukun Tetangga. Dadanya naik turun dengan napas tersengal. Sebenarnya jarak rumah Dion dan Pak RT tidaklah jauh. Jarak olahraga membuat wanita itu kelelahan. "Ada apa, Bu Regina?" tanya salah seorang warga yang ada di sana. "Itu... Itu...." Regina menunjuk rumah Dion. "Mas Dion kenapa?" Regina mengatur napas, mulutnya belum mampu menjawab karena kelelahan. "Ada ular?" Regina menggeleng. "Maling?" "Lalu apa, Bu?" ucap mereka kesal. "Itu ... Dion di dalam kamar dengan seorang wanita. Aku takut mereka berzina. Tolong buka pintu kamarnya." Regina pura-pura panik, walau di dalam hati tertawa tanpa henti. "Jangan bercanda deh, Bu. Anak sendiri kok dilaporin!" Perkataan salah seorang warga membuat niat untuk menggrebek rumah Dion menurun. "Jangan sampa
Kedipan mata Regina membuat lelaki tersadar jika ia tengah bersandiwara, dan Savira adalah kekasihnya. Lelaki yang sudah mengenakan pakaian lengkap itu berjalan mendekati ranjang. Dengan sedikit kasar ia menggoyangkan tubuh Savira. "Bangun, Ra! Bangun!" Dion menepuk-nepuk pipi Savira. Sentuhan kasar dan teriakan membuat Savira terbangun. Matanya yang masih lengket ia paksa agar terbuka lebar. Wanita itu melotot melihat segerombol lelaki berada di hadapannya. "Pergi kalian, kenapa ada di kamarku!" teriak Savira lantang. Dia tak sadar jika berada di dalam kamar Dion. Dengan kesal Savira bersiap untuk beranjak dari ranjang. Namun dengan cepat Dion mendorong tubuhnya. Seketika Savira menarik tangan Dion,hingga lelaki itu jatuh tepat di atas tubuhnya. "Ya Allah, pemandangan haram!" celetuk lelaki berkaos hitam. "Kamu! Menyingkir dari tubuhku!" Savira mendorong tubuh kekar lelaki yang masih menindih tubuhnya. "Yakin kamu mau berdiri dengan penampilan seperti itu?" Dion menatap penuh
Setelah penggerebekan yang dilakukan lima orang lelaki dan Regina. Kini kediaman Dion diselimuti ketegangan. Mereka tengah duduk di ruang keluarga, menunggu Nurdin dan penghulu yang belum juga datang. Ruang keluarga memang didesain luas, ada televisi empat puluh inch yang berada di hadapan mereka. Sebuah rak buku yang terletak di pojok ruangan. Sofa panjang yang bisa di duduki sepuluh orang dewasa. Belum lagi pernak pernik yang ditata indah hingga menimbulkan rasa nyaman bagi orang yang berada di sana. Namun semua itu tidak berlaku untuk mantan kekasih Purnawan. Savira duduk tak tenang, berkali-kali ia mengubah posisi tubuhnya. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuh wanita itu. Dia panik, tak tahu harus berbuat apa? Ingin kabur tapi setiap pergerakannya selalu diawasi Pak RT dan warga sekitar. "Ya Allah, bagaimana caranya aku bisa melarikan diri?""Duduklah dengan tenang, Sayang." Dion beranjak dari sofa lalu melangkah mendekati Savira. Wanita itu hanya bisa diam dengan so