Home / Romansa / Bukan Pernikahan Impian / Siapa Yang Datang?

Share

Siapa Yang Datang?

last update Last Updated: 2023-03-08 10:52:10

"Sudah, yang pergi tak akan mungkin kembali. Kamu masih muda Vira, jalanmu masih panjang, masih banyak lelaki yang menanti kamu."

Savira masih diam, bingung harus menjawab apa. Sudah menjadi rahasia umum hubungan yang terjalin antara Savira dan Purnawan. Perbedaan usia yang terlalu jauh membuat hubungan mereka penuh dengan kontroversi. Itu pula yang membuat Savira belum siap saat Purnawan melamarnya beberapa minggu yang lalu.

Menyesal. Ya, perasaan itu yang hinggap di hatinya. Bukan karena dia gagal memiliki harta Purnawan. Namun ia menyesal karena di saat akhir hidupnya, Savira tak bisa menemani. Bahkan mendekat pun ia tak bisa. Dia dilarang oleh mantan istri dan putra Purnawan.

"Kamu mau kopi, Ra?" tanya Bram lagi, ia berusaha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.

"Saya ti ...."

Suara sirine ambulans menghentikan perkataannya. Dengan cepat Savira berlari lalu membuka pintu masuk ruang IGD.

Bram mendengus kesal,ambulans datang disaat yang tidak tepat. Baru saja ia bahagia dapat berbincang dengan Savira. Namun kini harus tertunda karena tugas sudah di depan mata.

"Selalu saja ada gangguan," gumam Bram. Dia segera bersiap menunggu tamu yang datang di tengah malam.

Savira terpaku kala melihat pasien yang baru saja didorong masuk ke ruang IGD. Dia diam, langkah kakinya begitu berat untuk mengikuti pasien yang baru saja masuk.

"Ambil uang ini, tapi jangan dekati papaku! Aku tahu apa yang kamu cari dari lelaki yang sudah bau tanah itu!" ucap Dion sambil melempar segepok uang di atas meja, tepat di hadapan Savira.

Savira tersenyum lalu kembali menyodorkan amplop coklat kepada Dion. Tak sekali pun ada niatan untuk menguasai harta yang bukan menjadi haknya. Dia berhubungan dengan Purnawan atas dasar cinta bukan untuk menikmati harta kekayaannya.

"Aku tak butuh uang itu, berikan saja pada panti asuhan atau yayasan yang membutuhkan bantuan," tolak Savira.

"Brengs*k! Wanita mur*han! Kamu pasti mengincar harta Papa, iya, kan? Jadi kamu tak mau uang receh seperti iki. Dasar wanita licik!" Dion menatap tajam Savira. Namun tak sekali pun membuat wanita yang berada di hadapannya itu gentar.

"Savira!" panggilan Bram menyentak lamunan yang sempat hadir.

Setelah mengumpulkan kekuatan, Savira berjalan mendekat. Kini ia berdiri di samping Bram yang sedang memeriksa keadaan Dion.

Jantung Savira berdetak kencang, bukan karena rasa cinta yang bersemayam dalam dada. Namun rasa takut dipermalukan saat Dion sadar. Namun secepat kilat Savira tepis perasaan itu. Dia sadar tugasnya menolong pasien terlepas dari siapa orang itu, musuh atau teman.

"Savira tolong obati luka di kepalanya!" perintah Bram.

Bram berjalan keluar, menemui dua polisi yang ikut mengantarkan Dion ke rumah sakit. Dia harus memberikan keterangan terkait pasien yang sedang ia tangani.

"Bisa Vira... Kamu pasti bisa!" ucap Savira dalam hati.

Perlahan Savira membersihkan luka yang ada di dahi Dion. Dia berusaha hati-hati agar mantan calon anak tirinya tidak terbangun dan menambah masalah baru dalam hidupnya.

Sentuhan yang Savira lakukan membuat Dion terbangun. Mata lelaki itu membola sempurna kala melihat Savira berdiri tepat di sampingnya. Sontak Dion bangun lalu maju beberapa langkah. Namun langkahnya terhenti karena kepala yang terasa berputar-putar.

"Makannya duduk!" ucap Savira lalu membantu Dion duduk. Tapi secepatnya Dion menepis tangan Savira.

"Jangan sentuh gue!" bentak Dion.

"Tutup mulutmu! Kamu mau aku berteriak lalu memanggil dua polisi yang berada di depan? Kamu bisa masuk penjara karena mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk!"

Dion mengusap wajah kasar, "Aw... Sakit!" ucapnya meringis kesakitan. Dengan terpaksa lelaki itu kembali menjatuhkan bobot di atas brankar.

"Pelan-pelan!" teriak Dion kala Savira mengobati lukanya.

"Nih, obatin sendiri!" ucapnya kesal.

"Lo mau gue laporkan pihak rumah sakit karena kasar pada pasien?" Savira membuang napas kasar laku segera menutup luka Dion.

Dion menatap Savira kesal. Bayangan Purnawan dan Savira berbagi peluh menari-nari dalam kepalanya. Rasa bencinya kian bertambah mengingat wasiat yang baru saja ia dengar.

Dia tak terima jika harus menikahi wanita yang sudah berbagi raga dengan ayahnya. Hatinya terus berontak.

"Kalau bukan di rumah sakit, sudah kubunuh kamu!" batin Dion.

"Sudah selesai," ucap Savira lalu membalikkan badan dan melangkah pergi.

"Tunggu!" teriakan Dion membuat langkah Savira berhenti. Wanita itu membalikkan badan lalu menatap gak suka ke arahnya.

"Apa lagi!"

Dion tersenyum menyeringai ke arah Savira. Tatap elangnya membuat Savira sedikit kehilangan nyali. Bukan tak mungkin Dion melakukan hal nekat pada Savira. Apa lagi lelaki itu tengah dalam pengaruh minuman beralkohol.

Savira mundur beberapa langkah, ia takut Dion akan bertindak hal yang membahayakannya.

"Kenapa? Lo takut?" tanya Dion.

"Ti-tidak," jawab Savira terbata

"Wanita licik, aku tahu apa yang ada di kepala lo. Hingga lo meminta Papa agar menikahkan kita, kan!"

"Apa!"

***

"Tidak masuk kerja, Ra?" tanya Nurdin yang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi.

"Libur, Pak," jawab Savira.

Wanita berambut hitam itu kembali sibuk menyirami berbagai tanaman hias. Beberapa pot tersusun rapi di halaman rumahnya yang tak begitu luas. Berbagai tanaman hias itu memberi warna indah untuk rumah Nurdin yang terbilang sederhana.

"Kapan kamu nikah, Ra?" tanya Nurdin lalu meletakkan koran di meja kecil tepat di samping tempat duduknya. Matanya awas mengamati pergerakan Savira.

Savira meletakkan ember dan gayung di tanah. Halaman rumah yang sempit membuat dia mampu mendengar dengan jelas pertanyaan ayahnya. Ini bukan kali pertama Nurdin menanyakan hal serupa. Hampir setiap hari kalimat itu meluncur dari mulut ayah Savira.

"Harusnya kemarin kamu nikah dengan lelaki tua itu, Ra. Pasti sekarang kita jadi kaya raya. Kamu sih terlalu lama menunggu. Jadi wanita itu yang agresif jangan pasif."

Savira masih diam, enggan menjawab ucapan Nurdin yang menyayat hatinya. Wanita itu sudah hafal bagaimana sifat ayah kandungnya. Lelaki itu selalu mementingkan keuntungannya sendiri. Tak perduli itu menyakiti hati Savira atau orang lain.

"Bapak pengen kamu cepat nikah supaya suami kamu bisa memenuhi keinginan Bapak. Cari suami yang kaya, kalau bisa yang sudah tua. Supaya kamu bisa menguasai hartanya."

"Astagfirullah ...," ucap Savira seraya mengelus dada yang terasa sesak.

Bukan hal aneh mendengar ucapan Nurdin yang seperti itu. Lelaki itu hanya mementingkan harta. Tak perduli jika hati putrinya tengah terluka.

"Sudahlah, Pak. Jangan terus mendesak Vira. Savira masih sedih ditinggal Mas Purnawan. Tapi Bapak tak perduli."

"Halah lelaki bangkot seperti itu kamu tangisi. Dia pantas jadi ayah kamu bukan suami kamu. Nyesel bapak tidak memintanya segera menikahi kamu. Seharusnya kita sudah jadi kaya raya."

Savira melangkah kesal menuju kamar, dia tinggalkan ember dan gayung di halaman. Ucapan Nurdi semakin membuat Savira tertekan.

"Kenapa lagi, Ra?" tanya Wati dari depan pintu kamar Savira yang sedikit terbuka.

Hening, tak ada jawaban dari Savira. Hanya suara isak tangis yang terdengar di telinga Wati. Perlahan wanita berusia 52 tahun itu mendekat kemudian menjatuhkan tubuhnya di kasur, tepat di sebelahnya.

"Apa aku tak boleh bahagia, Bu?" tanya Savira dengan linangan air mata.

"Kenapa bicara seperti itu? Semua orang berhak bahagia, termasuk kamu," jawab Wanti seraya mengelus pucuk kepalanya dengan lembut.

"Kenapa saat aku mencintai seseorang dan bapak merestuinya tapi justru dia pergi secepat itu?"

"Itu sudah takdir, Ra. Kamu tak boleh marah dengan garis yang Allah berikan padamu," ucap Wati pelan.

"Savira lelah, Bu. Bapak selalu memintaku mencari lelaki kaya, meminta ini dan itu. Sampai kapan Bapak seperti itu? Sampai Savira tua lalu tak ada yang mau? Memang lebih baik Savira tak menikah saja. Percuma punya suami jika selalu dimanfaatkan Bapak."

Savira kembali terisak, tetes demi tetes air membasahi pipi putihnya.

"Maafkan Bapakmu, Ra. Dia memang keterlaluan. Harusnya dia memikirkan perasaan kamu bukan justru memikirkan kesenangannya sendiri."

Savira diam, dia enggan menjawab perkataan ibunya. Wanita berhidung mancung itu memilih membalikkan badan dan membelakangi Wati.

Seharian Savira mengurung diri di dalam kamar. Dia hanya keluar untuk ke kamar mandi. Bahkan ia melewatkan makan siang. Rasa kesal dan marah membuatnya enggan bertatap muka dengan Nurdin.

Sikap ayahnya membuat Savira selalu dikucilkan, bahkan dia disebut perawan tua karena sampai usia tiga puluh tahun dia masih menyendiri. Itu semua lantaran Nurdi selalu meminta mahar yang tinggi pada semua lelaki yang dekat dengan Savira. Hingga akhirnya mereka memilih pergi meninggalkan Savira.

Sakit, marah dan kecewa selalu Savira rasakan hingga akhirnya ia bertemu dengan Purnawan dua tahun yang lalu. Saat itu Savira bertugas di poliklinik spesialis dalam.

Purnawan yang sedang sakit selalu rutin memeriksa kesehatannya. Pertemuan antara pasien dan suster membuat kedekatan itu tercipta lalu tumbuhlah benih cinta di antara mereka.

Cinta memang tak kenal usia, itu yang dirasakan Purnawan dan Savira. Sayang cinta itu harus kandas karena Purnawan telah kembali ke Sang Pencipta.

Rencana pernikahan yang pernah diucapkan Purnawan nyatanya hanya sebuah angan. Kini Savira harus menata hidupnya tanpa kehadiran Purnawan di sisinya.

Rintik hujan terdengar beradu dengan genting. Savira segera beranjak dari kasur kemudian berlari menuju halaman depan untuk mengambil pakaian yang masih dijemur. Rumah Savira tak memiliki halaman belakang.Pakaian terpaksa mereka jemur di depan rumah. Maklum mereka tinggal di perumahan menengah ke bawah.

Satu persatu pakaian sudah berpindah di tangan, tinggal pakaian dalam yang masih menempel di jemuran.

Bruumm....

Savira membalikkan badan kala mendengar suara mobil yang berhenti tepat di jalan depan rumahnya. Pintu mobil dibuka dari dalam, satu persatu kaki terlihat keluar. Savira masih diam seraya mengamati siapa gerangan yang bertamu? Selama ini hanya mobil Purnawan yang pernah berhenti di situ. Lantas siapa pemilik kendaraan roda empat itu? Savira bertanya-tanya dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nani Mulyani
Oh Savira perawat kirain dokter
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Impian   Perpisahan

    "Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pendarahan

    “Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian

  • Bukan Pernikahan Impian   Sebuah Kebenaran

    Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pergi

    Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m

  • Bukan Pernikahan Impian   Diusir Dari Rumah

    "Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin

  • Bukan Pernikahan Impian   Amarah Dion

    "Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status