Share

Kecelakaan

last update Last Updated: 2023-03-08 10:51:33

"Ini pasti rencana lelaki tua itu agar gundiknya hidup terjamin. Atau jangan-jangan ini ulah wanita murahan itu! Dia merayu Papamu! Astaga, kita kecolongan, Dion!"

Berbagai prasangka muncul di kepala ibu dan anak itu. Mereka menuduh Savira menjadi biang kerok masalah besar yang kini mereka alami. Mereka seolah tak sadar jika semua ini buah atas pohon yang ia tanam sendiri.

"Kamu harus menikah dengan Savira, itu satu-satunya cara agar kita tak jatuh miskin," ucap Regina seraya menyentuh kedua pundak Dion.

"Sampai kapan pun, Dion tak sudi menikahi wanita murahan itu!" pekik Dion sambil menepis kedua tangan Regina.

Lelaki itu dengan cepat berdiri lalu melangkah meninggalkan ruang keluarga.

"Kamu mau ke mana, Dion? Masalah ini belum selesai!" Teriak Regina lantang.

"Dion tak mau menikahi Savira. TITIK!" ucapnya lalu pergi meninggalkan sang ibu seorang diri.

"Dion berhenti!"

"Dion!"

Dion terus melangkah tanpa menghiraukan panggilan ibunya. Dia mulai bosan dan muak dengan permintaan gila untuk menikahi calon istri ayahnya.

"Savira, kamu tak pernah mendengar ucapanku,dan sekarang kamu mengusik kenyamananku. Kamu telah salah memilih lawan!" gumam Dion dengan kaki terus melangkah.

Kendaraan roda empat milik Dion melaju meninggalkan rumah mewah tanpa kebahagiaan itu. Angin yang melambai mendorong lelaki berusia 29 tahun itu pergi ke sebuah klub malam.

Dion duduk sembari menikmati minuman beralkohol yang tersaji di atas meja. Alunan musik disko terdengar jelas di telinga. Namun Dion seakan tenggelam dalam dimensi ruang yang berbeda. Bayangan duduk bersanding bersama Savira di atas pelaminan justru menari-nari di pelupuk mata.

BRAAK!!

"Brengs*k lo, Ra!" maki Dion sambil menggebrak meja.

"Astaga Dion, kamu kenapa?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba duduk di samping Dion.

"Julia... Sayang... Kamu di sini," ucap Dion lalu memeluk tubuh wanita di sampingnya.

"Kenapa kamu di sini, Sayang?" tanya Julia.

"Harusnya kamu di rumah, Bro! Lo masih dalam situasi berkabung. Tak pantas seorang putra pewaris perusahaan ternama keluyuran di saat ayahnya baru saja dimakamkan," ucap Kris.

"Tutup mulut, lo! Gue gak mau pulang!" Seketika mulut Kris bungkam. Dia memilih menyandarkan tubuh di sofa. Malas beradu mulut dengan kekasih Julia itu.

"Sayang, aku antar kamu palang, ya," ucap Julia.

"Gue gak mau pulang, gue gak mau nikah dengan Savira," rancau Dion.

Julia dan Kris saling pandang, sebuah tanda tanya besar di hati sahabat dan pacar Dion itu.

"Aku itu pacar kamu, Dion. Apa-apaan kamu mau nikah dengan orang lain!" sungut Julia lalu mendorong tubuh Dion hingga tergeletak di sofa.

Saat ini mereka berada di ruang vip. Ruang dimana Julia, Kris dan Dion sering minum bersama.

"Aku... Aku ti...."

Kring....

Belum sempat Dion menjelaskan, ponselnya kembali berbunyi. Lelaki itu merogoh benda pipih yang berada di saku celananya. Nama Regina tertera jelas di layar.

"Siapa Dion? Selingkuhan kamu!" tuduh Julia dengan mata melotot.

"Bukan, Mama yang telepon."

"Jangan bohong, ya, kamu pasti selingkuh di belakangku. Ngaku kamu!"

"Terserah kamu percaya atau tidak. Kepalaku pusing, jangan tambah lagi masalah dalam hidupku."

Dion meletakkan ponsel miliknya di atas meja. Tingkahnya membuat Julia semakin meradang. Tidak berapa lama ponsel itu kembali bernyanyi, lagi dari nomor yang sama.

Julia melirik Dion, dengan cepat tangannya mengambil ponsel sang kekasih hati. Rasa curiga yang sempat hadir luntur seketika.

"Mama kamu, Dion." Julia memberikan ponsel setelah menggeser gambar ponsel ke atas.

Dengan malas Dion menempelkan benda pipih di telinga kanannya.

"Apa, Ma? Dion sudah bilang tak mau, kan!"

"Cepat pulang, Dion! Atau kamu akan menjadi miskin selamanya!"

"Apa!" Mata yang sempat terpejam tiba-tiba terbuka lebar. Dengan cepat Dion berdiri lalu berjalan ke luar. Efek terlalu banyak minum membuat langkah Dion sempoyongan..

"Mau aku antar, Sayang?" tawar Julia.

"Aku bisa sendiri," ucap Dion lalu kembali melangkah pergi.

Lelaki berkulit putih itu berjalan sambil berpegangan tembok dan kursi. Sesekali ia hampir menabrak pelayan atau orang yang lewat.

"Jalan pakai mata, woy!" Teriak seorang lelaki yang baru saja disenggol Dion.

Tanpa mengucapkan kata maaf Dion terus berjalan keluar klub tersebut.

Di dalam ruang VIP, Julia terdiam. Perkataan Dion terus saja terdengar di telinganya.

"Kamu tahu siapa Savira, Kris?" tanya Julia sambil menatap lekat manit bening lelaki di sebelahnya.

"Seingatku, Savira nama calon ibu tiri Dion."

"Apa!"

Kendaraan roda empat Dion melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali ia harus berhenti karena merasakan kepala yang kian berdenyut. Setelah cukup membaik Dion kembali menjalankan mobilnya.

Sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Kendaraan Dion yang sedikit menengah membuat truk itu tak sengaja menyenggol mobil Dion. Gesekan yang tiba-tiba membuat mobil yang dikendarai Dion kehilangan keseimbangan.

BRUUG

Mobil Dion menabrak tiang listrik, benturan yang cukup kuat membuat lelaki itu tak sadarkan diri.

Orang-orang berkerumun ke lokasi kecelakaan. Membentuk pola melingkar mengerubungi mobil Dion.

"Tak bisa dibuka, orangnya pingsan di dalam!" teriak seseorang sambil menengok dari jendela.

Orang-orang mulai sibuk membuka pintu mobil yang terkunci dari dalam. Namun tak ada yang bisa membukanya.

Suara mobil polisi terdengar nyaring di telinga. Satu persatu orang menyingkir hingga menciptakan jalan untuk para petugas kepolisian.

Satu orang polisi berusaha membuka pintu mobil menggunakan obeng. Butuh waktu sepuluh menit hingga pintu mobil itu terbuka.

"Minggir! Minggir!" teriak seorang polisi seraya membopong tubuh Dion dan membaringkannya ke dalam brankar di dalam mobil khas rumah sakit tersebut.

Suara sirine menyingkirkan kendaraan yang ada di depan ambulans itu. Mobil ambulans melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat.

Savira duduk termenung di kursi depan meja dokter. Ruang IGD terasa sepi karena tak ada pasien, maklum saja jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas malam. Hanya pasien darurat yang datang di tengah malam seperti ini.

"Kamu tidak lapar, Ra?" tanya Bram, dokter jaga yang duduk tepat di hadapannya.

Wanita dengan hijab berwarna biru itu hanya diam, pertanyaan Bram bagai hembusan angin yang membuat tidurnya kian lelap. Pikirannya melayang membayangkan Purnawan yang baru saja dimakamkan hari ini.

Savira menundukkan kepala, tak terasa bulir demi bulir jatuh membasahi pipi wanita itu. Bayangan kebersamaan dengan Purnawan kembali melintas, seakan mempermainkan hati wanita yang masih betah menyendiri itu.

Bram menggelengkan kepala kala melihat tingkah bawahannya itu. Sudut hatinya tercubit saat menyaksikan Savira menangis. Namun sudut hatinya yang lain tertawa bahagia. Meninggalnya Purnawan membuat langkah untuk mengambil hati Savira terbuka lebar.

Perlahan Bram berdiri lalu melangkah mendekati pujaan hatinya.

"Savira, are you okay?" Savira terperanjat kala sebuah tangan menyentuh pundaknya. Terlalu memikirkan Purnawan membuat dirinya tak fokus dengan keadaan sekitar.

"I-iya, Dok," ucap wanita itu terbata.

Dengan cepat Savira menghapus jejak air mata yang menempel di pipi.

"Maaf, Dok. Saya...." Savira tiba-tiba diam, ia tak tahu harus menjawab apa?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Impian   Perpisahan

    "Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pendarahan

    “Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian

  • Bukan Pernikahan Impian   Sebuah Kebenaran

    Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pergi

    Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m

  • Bukan Pernikahan Impian   Diusir Dari Rumah

    "Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin

  • Bukan Pernikahan Impian   Amarah Dion

    "Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status