Share

Kecelakaan

"Ini pasti rencana lelaki tua itu agar gundiknya hidup terjamin. Atau jangan-jangan ini ulah wanita murahan itu! Dia merayu Papamu! Astaga, kita kecolongan, Dion!"

Berbagai prasangka muncul di kepala ibu dan anak itu. Mereka menuduh Savira menjadi biang kerok masalah besar yang kini mereka alami. Mereka seolah tak sadar jika semua ini buah atas pohon yang ia tanam sendiri.

"Kamu harus menikah dengan Savira, itu satu-satunya cara agar kita tak jatuh miskin," ucap Regina seraya menyentuh kedua pundak Dion.

"Sampai kapan pun, Dion tak sudi menikahi wanita murahan itu!" pekik Dion sambil menepis kedua tangan Regina.

Lelaki itu dengan cepat berdiri lalu melangkah meninggalkan ruang keluarga.

"Kamu mau ke mana, Dion? Masalah ini belum selesai!" Teriak Regina lantang.

"Dion tak mau menikahi Savira. TITIK!" ucapnya lalu pergi meninggalkan sang ibu seorang diri.

"Dion berhenti!"

"Dion!"

Dion terus melangkah tanpa menghiraukan panggilan ibunya. Dia mulai bosan dan muak dengan permintaan gila untuk menikahi calon istri ayahnya.

"Savira, kamu tak pernah mendengar ucapanku,dan sekarang kamu mengusik kenyamananku. Kamu telah salah memilih lawan!" gumam Dion dengan kaki terus melangkah.

Kendaraan roda empat milik Dion melaju meninggalkan rumah mewah tanpa kebahagiaan itu. Angin yang melambai mendorong lelaki berusia 29 tahun itu pergi ke sebuah klub malam.

Dion duduk sembari menikmati minuman beralkohol yang tersaji di atas meja. Alunan musik disko terdengar jelas di telinga. Namun Dion seakan tenggelam dalam dimensi ruang yang berbeda. Bayangan duduk bersanding bersama Savira di atas pelaminan justru menari-nari di pelupuk mata.

BRAAK!!

"Brengs*k lo, Ra!" maki Dion sambil menggebrak meja.

"Astaga Dion, kamu kenapa?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba duduk di samping Dion.

"Julia... Sayang... Kamu di sini," ucap Dion lalu memeluk tubuh wanita di sampingnya.

"Kenapa kamu di sini, Sayang?" tanya Julia.

"Harusnya kamu di rumah, Bro! Lo masih dalam situasi berkabung. Tak pantas seorang putra pewaris perusahaan ternama keluyuran di saat ayahnya baru saja dimakamkan," ucap Kris.

"Tutup mulut, lo! Gue gak mau pulang!" Seketika mulut Kris bungkam. Dia memilih menyandarkan tubuh di sofa. Malas beradu mulut dengan kekasih Julia itu.

"Sayang, aku antar kamu palang, ya," ucap Julia.

"Gue gak mau pulang, gue gak mau nikah dengan Savira," rancau Dion.

Julia dan Kris saling pandang, sebuah tanda tanya besar di hati sahabat dan pacar Dion itu.

"Aku itu pacar kamu, Dion. Apa-apaan kamu mau nikah dengan orang lain!" sungut Julia lalu mendorong tubuh Dion hingga tergeletak di sofa.

Saat ini mereka berada di ruang vip. Ruang dimana Julia, Kris dan Dion sering minum bersama.

"Aku... Aku ti...."

Kring....

Belum sempat Dion menjelaskan, ponselnya kembali berbunyi. Lelaki itu merogoh benda pipih yang berada di saku celananya. Nama Regina tertera jelas di layar.

"Siapa Dion? Selingkuhan kamu!" tuduh Julia dengan mata melotot.

"Bukan, Mama yang telepon."

"Jangan bohong, ya, kamu pasti selingkuh di belakangku. Ngaku kamu!"

"Terserah kamu percaya atau tidak. Kepalaku pusing, jangan tambah lagi masalah dalam hidupku."

Dion meletakkan ponsel miliknya di atas meja. Tingkahnya membuat Julia semakin meradang. Tidak berapa lama ponsel itu kembali bernyanyi, lagi dari nomor yang sama.

Julia melirik Dion, dengan cepat tangannya mengambil ponsel sang kekasih hati. Rasa curiga yang sempat hadir luntur seketika.

"Mama kamu, Dion." Julia memberikan ponsel setelah menggeser gambar ponsel ke atas.

Dengan malas Dion menempelkan benda pipih di telinga kanannya.

"Apa, Ma? Dion sudah bilang tak mau, kan!"

"Cepat pulang, Dion! Atau kamu akan menjadi miskin selamanya!"

"Apa!" Mata yang sempat terpejam tiba-tiba terbuka lebar. Dengan cepat Dion berdiri lalu berjalan ke luar. Efek terlalu banyak minum membuat langkah Dion sempoyongan..

"Mau aku antar, Sayang?" tawar Julia.

"Aku bisa sendiri," ucap Dion lalu kembali melangkah pergi.

Lelaki berkulit putih itu berjalan sambil berpegangan tembok dan kursi. Sesekali ia hampir menabrak pelayan atau orang yang lewat.

"Jalan pakai mata, woy!" Teriak seorang lelaki yang baru saja disenggol Dion.

Tanpa mengucapkan kata maaf Dion terus berjalan keluar klub tersebut.

Di dalam ruang VIP, Julia terdiam. Perkataan Dion terus saja terdengar di telinganya.

"Kamu tahu siapa Savira, Kris?" tanya Julia sambil menatap lekat manit bening lelaki di sebelahnya.

"Seingatku, Savira nama calon ibu tiri Dion."

"Apa!"

Kendaraan roda empat Dion melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali ia harus berhenti karena merasakan kepala yang kian berdenyut. Setelah cukup membaik Dion kembali menjalankan mobilnya.

Sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Kendaraan Dion yang sedikit menengah membuat truk itu tak sengaja menyenggol mobil Dion. Gesekan yang tiba-tiba membuat mobil yang dikendarai Dion kehilangan keseimbangan.

BRUUG

Mobil Dion menabrak tiang listrik, benturan yang cukup kuat membuat lelaki itu tak sadarkan diri.

Orang-orang berkerumun ke lokasi kecelakaan. Membentuk pola melingkar mengerubungi mobil Dion.

"Tak bisa dibuka, orangnya pingsan di dalam!" teriak seseorang sambil menengok dari jendela.

Orang-orang mulai sibuk membuka pintu mobil yang terkunci dari dalam. Namun tak ada yang bisa membukanya.

Suara mobil polisi terdengar nyaring di telinga. Satu persatu orang menyingkir hingga menciptakan jalan untuk para petugas kepolisian.

Satu orang polisi berusaha membuka pintu mobil menggunakan obeng. Butuh waktu sepuluh menit hingga pintu mobil itu terbuka.

"Minggir! Minggir!" teriak seorang polisi seraya membopong tubuh Dion dan membaringkannya ke dalam brankar di dalam mobil khas rumah sakit tersebut.

Suara sirine menyingkirkan kendaraan yang ada di depan ambulans itu. Mobil ambulans melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat.

Savira duduk termenung di kursi depan meja dokter. Ruang IGD terasa sepi karena tak ada pasien, maklum saja jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas malam. Hanya pasien darurat yang datang di tengah malam seperti ini.

"Kamu tidak lapar, Ra?" tanya Bram, dokter jaga yang duduk tepat di hadapannya.

Wanita dengan hijab berwarna biru itu hanya diam, pertanyaan Bram bagai hembusan angin yang membuat tidurnya kian lelap. Pikirannya melayang membayangkan Purnawan yang baru saja dimakamkan hari ini.

Savira menundukkan kepala, tak terasa bulir demi bulir jatuh membasahi pipi wanita itu. Bayangan kebersamaan dengan Purnawan kembali melintas, seakan mempermainkan hati wanita yang masih betah menyendiri itu.

Bram menggelengkan kepala kala melihat tingkah bawahannya itu. Sudut hatinya tercubit saat menyaksikan Savira menangis. Namun sudut hatinya yang lain tertawa bahagia. Meninggalnya Purnawan membuat langkah untuk mengambil hati Savira terbuka lebar.

Perlahan Bram berdiri lalu melangkah mendekati pujaan hatinya.

"Savira, are you okay?" Savira terperanjat kala sebuah tangan menyentuh pundaknya. Terlalu memikirkan Purnawan membuat dirinya tak fokus dengan keadaan sekitar.

"I-iya, Dok," ucap wanita itu terbata.

Dengan cepat Savira menghapus jejak air mata yang menempel di pipi.

"Maaf, Dok. Saya...." Savira tiba-tiba diam, ia tak tahu harus menjawab apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status