Infertil 18"Hasil pemeriksaan Nyonya Vina semuanya baik, kondisi rahimnya juga sehat. Sangat memungkinkan untuk dibuahi, dan mengandung. Ini saya lihat tak ada masalah yang berarti yang menganggu kesuburan," ucap wanita cantik bersneli panjang itu, sambil melihat medical record yang dia pegang. Sementara Vina dan Abra serius menyimak. "Apa itu artinya istrinya saya ---" Abra tak sanggup melanjutkan kalimatnya, saking bahagianya. "Nyonya Vina subur, Pak. Kans untuk hamil sangat besar. Jadi Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir. Soal kapan diberi, itu semua ketetapan yang Di Atas, ya, Pak. Kita hanya bisa menunggu, sambil berusaha dan berdoa," jawab dokter Adriana bijak. "Sekarang giliran Pak Abraham, yang menjalani tes kesuburan. Saya rujuk ke poli andrologi, ya, Pak. Silahkan Bapak bawa kartu ini! Di sana nanti akan bertemu dokter Anwar." Hati Abra mencelos, tiba-tiba gelisah melanda. Kalau hasil pemeriksaan Vina menyatakan, bahwa istrinya itu dalam kondisi sehat, dan subur. Bagaiman
"Mas, kenapa?" Tanya Vina begitu menyadari Abra berubah sikap. Abra yang tengah terpaku menatap ponselnya itu bergeming, panggilan Vina tak didengarnya. Padahal jarak mereka begitu dekat. "Mas! Siapa yang WA?" Tentu Vina penasaran, dengan sikap Abra yang tiba-tiba berubah. Tadi dia baik-baik saja, kok. Abra menanggapi candaan Vina seperti biasa, meksipun sejak di klinik tadi Abra sering tergagap. Abra masih bergeming, dia menatap nanar layar ponselnya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terpampang di sana. Dari awal Abra sudah mengkhawatirkan hasil tes kesuburan nya, dia khawatir kalau ternyata hasilnya tak sesuai harapan. Dan benar, kan. Abra dinyatakan infertil. Begitu isi surat yang Antoni foto, dan kirim ke Abra.Antoni bahkan menulis pesan yang berisi kalimat penyemangat. "Jangan putus asa, Bra. Tanpa anak bukan berarti kita tidak bisa bahagia."Masalahnya ini bukan hanya tentang Abra, tapi juga istri dan mamanya. Maya menuntut cucu darinya, hingga berfikir untuk menggan
Vina membaca sekali lagi pesan yang Antoni kirim ke nomor Abra, berharap dia salah baca, berharap tulisan itu berubah. Tapi harapan tinggal lah harapan, tulisan itu sama sekali tak berubah. Dalam surat itu, dinyatakan sperma Abra hanya berisi mani, tidak mengandung sperma sama sekali. Yang artinya sperma Abra tidak mungkin membuahi sel telur, yang bisa menyebabkan kehamilan. Alias tidak subur atau mandul. Infertil bahasa kerennya. Tangis Vina pecah seketika, sekarang dia bingung harus bagaimana. Syok, sedih, kaget dan tak percaya. Mengapa ini terjadi pada mereka berdua? Itu yang ingin Vina tanyakan, andai bisa bertemu Tuhan. Vina ingin protes sudah begitu kejam dan tidak adil? Itu yang Vina rasakan sekarang. "Mas! Jadi, hasilnya ...." Vina tak sanggup melanjutkan ucapannya, tenggorakannya bagai tercekik. Tak pernah terlintas dalam benak Vina, akan mengalami nasib seperti ini. Dia menatap Abra dengan mata berkaca-kaca, berharap yang dia baca itu salah. Abra mengangguk lemah, membena
Tiga bulan kemudian. "Waktu kalian sudah habis, Mama tidak mau mendengar alasan apapun. Kalau minggu depan hasil tes pack Vina masih negatif, maka kalian harus bercerai!" Ucap Maya penuh penekanan. Mereka sedang berada di ruang makan, tengah menikmati makan malam, yang tidak nikmat untuk Vina dan Abra. Abra dan Vina kompak saling pandang. Bercerai? Bagi Vina itu lebih baik, dia bisa lepas dari tekanan sang Mama mertua. Soal kehidupannya dan keluarganya nanti, itu bisa diatur. Toh Vina sudah lulus kuliah, sudah bisa cari kerja. Meski nanti harus hidup prihatin, karena penghasilan Vina tentu jauh dari nafkah yang diberikan Abra. Itu tak jadi masalah, yang penting hidup bebas tanpa beban. Tapi bagi Abra, itu pertanda kiamat. Mau menikah dengan siapapun, istri Abra nanti tidak akan hamil. Hasil tes kesuburan sudah menyatakan, kalau Abra Infertil, sudah tidak bisa diubah lagi. "Ma, tolong jangan berkata seperti itu. Punya anak atau tidak punya anak, aku hanya hidup bersama Vina, Ma.
Pagi itu Abra menarik dua koper besar berisi pakaian dan dokumen pribadi keluar kamar, disusul Vina yang membawa tas yang tak kalah besar, tak lupa sling bag sudah menghiasi bahunya. Mereka memutuskan untuk pindah dari rumah maya ke apartemen milik Abra. Sejak pertengkaran di meja makan beberapa minggu lalu, hubungan Abra dan Vina dengan Maya memburuk. Mereka saling diam, tak ada tergur sapa. Membuat suasana di rumah seperti neraka. Terutama Vina, dia yang paling tersiksa, dia yang menjadi korban pertikaian ibu dan anak itu. Apalagi sehari-hari Vina hanya di rumah saja, karena Abra tidak mengijinkan istrinya bekerja, takut kecantol teman sekantor katanya. Karena hanya di rumah, membuat Vina lebih sering berinteraksi dengan mertuanya. Dan terpaksa mendengar sindiran pedas mamanya Abra itu. "Ma, kami pamit." Abra dan Vina menghampiri Maya, yang tengah menikmati teh sambil membaca majalah di teras samping rumah. Maya menatap keduanya dengan tatapan nanar, apalagi koper dan tas besar y
"Wah, sepertinya aku melewatkan sesuatu." Tesa berkata sambil mengenyakkan pantatnya di sofa, meski tidak dipersilahkan. Spontan Vina dan Maya melepas pelukan mereka. Keduanya kompak menatap Tesa yang tengah duduk dengan gaya angkuhnya. "Te--- Tesa?" Maya tergagap menyebut nama anak sepupu jauhnya itu. Vina melirik Maya dengan tatapan heran. Kok bisa? Maya yang biasanya selalu bersikap ramah dan antusias itu, tiba-tiba ketakutan seperti melihat setan ketika Tesa datang. Ini yang jadi pertanyaan Vina. "Iya, Tante. Ini saya Tesa, keponakan tersayang dan calon menantu Tante yang paling cantik, dan pastinya akan cepat memberi cucu pada Tante. Karena saya ini subur, nggak mandul kayak itu .... tu.... " Tesa menunjuk Vina dagunya, disertai tatapan merendahkan. Karena tak ingin terlibat masalah dengan Tesa, Vina memilih pergi. "Ma, saya ke atas dulu. Kalau ada apa-apa, Mama panggil Vina aja," pamit Vina. Maya mengangguk pelan, satu kebetulan baginya. Dia tidak ingin Vina mendengar ap
"Gila! 10M itu bukan uang yang sedikit, Vin? Dari mana aku dapat uang sebanyak itu!" Pekik Abra syok. Baru datang langsung dapat laporan kalau mamanya terlilit hutang yang jumlahnya tidak main-main, masih ditambah bunga pula. Bagaimana Abra tidak kaget. "Awalnya aku juga nggak percaya, Mas. Tapi Mama sendiri yang ngomong, aku juga dengar sendiri waktu Tesa nagih," cicit Vina. Meski bukan dirinya yang berhutang, melihat reaksi Abra yang seperti ini membuat nyali Vina ciut juga. Padahal dia janji pada mertuanya untuk bicara dengan Abra, dan membujuk suaminya itu agar mau membantu Maya melunasi hutangnya pada Tesa. Abra menghenyakkan tubuh di tepi ranjang, dia meremas rambutnya kasar, lalu meraupkan kedua tangannya ke wajah. "Kapan hutang Mama jatuh tempo?" Tanya Abra setelah merasa sedikit tenang. "Sebulan lagi, Mas." Abra meninju kasur di sebelahnya. Dia benar-benar tidak menyangka, kalo Tesa dan keluarganya yang selama terlihat baik dan ramah. Ternyata tega pada saudara sendiri
"Mas, cukup! Sekali aku bilang tidak mau, aku tetap tidak mau. Meski aku tidak tidur dengan laki-laki itu, tetap saja hukumnya Zina, Mas." Setengah memekik ketika Vina berkata, saking jengkel nya dia pada Abra yang ngeyel dari tadi. "Terus maumu apa, Vin? Kamu mau semua orang tahu kalau suamimu ini mandul? Kamu mempermalukan suamimu ini, begitu?" Vina terdiam. Berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menyampaikan pendapatnya, tanpa menyinggung perasaan Abra. "Aku mau hamil, Mas. Tapi ---" "Tapi apa? Katakan! Tidak usah berbelit-belit," sahut Abra yang tidak sabar menunggu Vina menyelesaikan kalimatnya. "Aku mau hamil, tapi harus hamil dengan suamiku. Bukan dengan laki-laki lain, meski hanya donor sperma. Kita ini muslim, Mas. Segala sesuatu yang kita lakukan harus sesuai hukum agama. Aku nggak mau seumur hidup menanggung dosa. Kita bukan bule yang hidup bebas, nggak kenal Tuhan. Kamu juga harus memikirkan resiko yang harus kita terima di belakang hari, dengan mengambil keputusan