Aku tak tahu pukul berapa sekarang. Yang pasti, gelap malam masih pekat di luar jendela. Tirai jendela kamar kami pun masih tertutup rapat. Tapi yang membangunkanku bukan cahaya. Melainkan, hangatnya sentuhan lembut di keningku. Sebuah kecupan. Lama dan menenangkan.
Aku mengerjap pelan, tapi masih memejamkan mata. Tak lama, kecupan itu berpindah ke pipiku yang kanan. Lalu yang satunya lagi. Setelah itu, turun ke ujung hidungku. Dan akhirnya … bibirku.
Lembut sekali. Begitu tulus dan tenang. Seakan ia sedang mencurahkan segalanya dalam diam. Aku tahu persis hanya satu orang yang menciumku dengan cara sehangat itu: suamiku, Mas Afnan.
Setelah kecupan itu selesai, kurasakan ia bangkit perlahan dari sisi tempat tidur. Aku masih diam. Mataku hanya terbuka sedikit. Sekilas, kulihat Mas Afnan mengambil ponselnya dan berjalan ke arah balkon kamar dan membuka pintu perlahan agar tak berisik.
Aku hanya bisa mendengarkan dari balik tirai tipis suara lirihnya
Ruang konseling itu bernuansa hangat. Dindingnya berwarna krem lembut. Ada rak buku kecil di pojok ruangan dan beberapa lukisan tenang tergantung di sana. Di tengahnya, ada sofa panjang dan dua kursi berhadapan. Tak ada kesan ‘Rumah Sakit’ yang mencekam. Semuanya terasa menenangkan.Mas Afnan duduk di sebelahku. Tangannya sejak tadi tak melepas genggamanku. Aku bisa merasakan telapak tangannya masih sedikit dingin.Seorang pria berusia sekitar empat puluhan masuk. Ia memperkenalkan diri dengan tenang menyebut namanya sebagai Dr. Arya—psikiater yang direkomendasikan langsung oleh Papa Himawan.“Mas Afnan, Mbak Safa,” sapa beliau ramah. “Di ruangan ini, kalian boleh menjadi versi paling jujur dari diri kalian. Nggak akan ada penilaian, nggak akan ada tekanan.”Aku melirik ke arah Mas Afnan. Wajahnya masih tegang, tapi dia mengangguk. Aku meremas tangannya sebentar.Dr. Arya mencondongkan tubuhnya sedikit. &ld
Aku tak tahu pukul berapa sekarang. Yang pasti, gelap malam masih pekat di luar jendela. Tirai jendela kamar kami pun masih tertutup rapat. Tapi yang membangunkanku bukan cahaya. Melainkan, hangatnya sentuhan lembut di keningku. Sebuah kecupan. Lama dan menenangkan.Aku mengerjap pelan, tapi masih memejamkan mata. Tak lama, kecupan itu berpindah ke pipiku yang kanan. Lalu yang satunya lagi. Setelah itu, turun ke ujung hidungku. Dan akhirnya … bibirku.Lembut sekali. Begitu tulus dan tenang. Seakan ia sedang mencurahkan segalanya dalam diam. Aku tahu persis hanya satu orang yang menciumku dengan cara sehangat itu: suamiku, Mas Afnan.Setelah kecupan itu selesai, kurasakan ia bangkit perlahan dari sisi tempat tidur. Aku masih diam. Mataku hanya terbuka sedikit. Sekilas, kulihat Mas Afnan mengambil ponselnya dan berjalan ke arah balkon kamar dan membuka pintu perlahan agar tak berisik.Aku hanya bisa mendengarkan dari balik tirai tipis suara lirihnya
Sudah beberapa hari kami kembali tinggal di desa. Rumah mungil yang dulu sempat kutinggalkan kini terasa lebih hangat. Lebih hidup. Mungkin karena hatiku juga sudah mulai pulang.Pagi ini, sinar matahari menyusup malu-malu lewat celah jendela ruang kelas TPA. Suara anak-anak yang mulai membaca iqra’ terdengar bersahutan dengan tawa-tawa polos yang kurindukan.“Bu Safa!” seru seorang anak sambil mengangkat tangan. “Ini huruf ‘tsa’ ya?”Aku tersenyum dan mengangguk. “Masya Allah, pintar! Betul, itu huruf ‘tsa’. Ayo, sekarang bareng-bareng, baca barisnya, ya.”Mereka mengangguk. Suara mereka menyatu dan membuat dadaku hangat.Setelah sesi belajar selesai, anak-anak mulai pulang satu per satu. Beberapa masih asyik bermain di halaman Mushola kecil kami. Aku sedang membereskan lembar-lembar kerja mereka ketika sebuah suara familiar terdengar di belakangku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu balik juga ke tempat ini. Sempat aku pikir kamu bakalan nggak balik lagi.”Aku menoleh dan mendapati Nilam
Langit sore di desa begitu tenang. Seolah ikut menyaksikan langkah kami kembali menapaki jalan kecil berdebu menuju rumah kami di desa ini.Di sampingku, Mas Afnan berjalan dengan diam. Tapi, tangannya erat menggenggam jemariku. Hawa musim kemarau membuat dedaunan berguguran satu per satu. Tapi hari ini ada sedikit ruang lapang di dada. Ada yang terasa pulang.“Alhamdulillah, kita bisa sampai lagi di sini,” gumamku seraya menatap rumah sederhana itu dengan perasaan penuh campur aduk.Mas Afnan menoleh. Sorot matanya masih menyimpan luka, tapi ada ketegasan di sana. Ketegasan yang sama saat ia mengucapkan talak itu di hadapan keluarga dan Allah—bukan karena benci, tapi karena kebenaran harus ditegakkan.“Rumah ini selalu jadi tempat aku menenangkan diri,” ujarnya akhirnya. “Dan kamu adalah rumah itu, Safa.”Hatiku tercekat. Aku tak bisa membalas kata-kata itu selain dengan menunduk dan menguatkan genggamanku di tangannya. Aku masih mengingat jelas momen ketika semua kebohongan itu terb
Mobil Mas Afnan melaju perlahan memasuki halaman rumah. Senja sudah hampir hilang, langit mulai gelap, menyisakan rona jingga samar di ufuk barat. Suasana rumah begitu hening dan hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin yang terdengar.Kami turun dari mobil tanpa banyak bicara. Mas Afnan menggenggam tanganku erat seolah ingin memastikan aku benar-benar ada di sisinya. Langkah kami menyusuri teras dan masuk ke dalam rumah yang seolah ikut menyimpan duka hari ini.Begitu pintu tertutup, Mas Afnan menghela nafas panjang, lalu menuntunku ke ruang tamu. Kami duduk bersebelahan. Mas Afnan menunduk dengan kedua tangannya saling bertaut.“Safa …,” panggilnya lirih seraya menatapku dalam-dalam. “Aku minta maaf. Semua ini pasti berat buat kamu. Tapi aku janji, aku janji mulai sekarang nggak akan ada lagi kebohongan yang nyakitin kamu. Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu rumah tangga kita.”Aku menatapnya dengan mataku berkac
Ruangan itu seolah menahan nafas. Tegangan di dalam kamar makin menebal seakan dinding-dindingnya pun ikut menahan gejolak yang nyaris meledak. Papa Himawan berdiri dengan wajah merah padam dan menatap Sarah tajam, sementara Sarah semakin tersudut di atas ranjangnya.“Bicara, Sarah! Jelaskan! Kenapa kamu tega melakukan ini semua?!” desak Papa Himawan lagi. Suaranya meninggi, tak mampu lagi menahan kekecewaan dan amarahnya.Air mata Sarah semakin deras. Bahunya bergetar hebat, dan akhirnya, dengan suara serak, ia pecah juga. “Aku udah bilang sama Mama, sama Papa, kalau aku cinta sama Kak Afnan!” teriaknya di antara tangisnya.Ruangan itu hening seketika seolah semua baru saja dipukul kenyataan yang menyakitkan.Sarah terisak, matanya basah, wajahnya merah. “Mama juga tahu, penyebab aku kecelakaan sampai koma dua tahun itu karena aku mau nemuin Kak Afnan! Aku mau nyusulin Kak Afnan waktu dia lagi kuliah di luar kota! Tapi kalia