Pagi itu udara terasa hangat dan berbeda dari biasanya, atau mungkin hatiku saja yang terasa begitu hangat melihat Mas Afnan bersiap berangkat. Aku mengantarnya sampai ke teras. Wajahnya begitu segar dan senyumnya yang merekah itu selalu sukses membuat dadaku berdebar tanpa alasan.
“Aku berangkat dulu ya, Sayang,” bisiknya, sebelum bibirnya singgah lembut di keningku. Belum sempat aku merespons, dia sudah menurunkan kecupannya ke kedua pipiku.
Aku terbelalak kaget ketika dia akhirnya menempelkan bibirnya di bibirku. Spontan aku ingin mendorong dadanya, tapi tangannya sudah lebih dulu menahan tengkukku dan memperdalam ciuman itu seolah tak ingin melepaskanku begitu saja.
Aku merasa wajahku benar-benar panas. Jantungku berpacu tak karuan. Begitu Mas Afnan menarik wajahnya, aku mendongak menatapnya dengan tatapan setengah kesal. Wajahku pasti sudah memerah sampai telinga.
“Mas, ih!” protesku setengah salting. “Kalau ada yang lih
Sinar matahari pagi menembus tirai jendela dan menyapu hangat ke seluruh ruangan. Perlahan aku membuka mata, nafasku terengah pelan. Rasa pegal luar biasa menjalari seluruh tubuhku. Aku menggigit bibir dan menahan sesak di dada yang entah mengapa begitu berat pagi ini.Mataku menyapu sekeliling ruangan mencoba menyadari di mana aku berada. Dinding berbalut wallpaper elegan, gorden tebal, ranjang besar, ini ... Hotel.Ya Allah, aku masih di hotel ini. Aku menunduk dan meremas erat selimut yang menutupi tubuh polosku. Semua kenangan semalam berkelebat, membuat wajahku memanas dan dadaku terasa perih. Sentuhan Mas Afnan, tapi bukan seperti biasanya. Bukan dengan kelembutan dan kesabarannya yang aku kenal selama ini.Semalam seperti bukan Mas Afnan. Sentuhannya, caranya menatapku, cara dia merengkuhku, semua terasa asing, penuh gejolak, penuh luka yang seolah ingin dilampiaskan. Aku menggigil mengingatnya.Tanganku perlahan bergerak dan memegang erat selimut
Aku mengangkat sendok terakhir dan menyuapkan potongan kecil ayam bakar ke mulutku. Mama Diana tersenyum puas. Tangannya mengelus punggung tanganku yang berada di atas meja.“Alhamdulillah, akhirnya Safa mau makan dengan tenang malam ini. Mama senang, Nak. Kamu jangan terlalu banyak pikiran, ya,” ucap Mama lembut.Aku mengangguk kecil sambil menahan perih di dada. “Iya, Ma. Terima kasih sudah mau temani Safa makan malam.”Kami duduk di restoran langganan keluarga Mama. Kata Mama, Restoran hotel bintang lima ini yang biasanya jadi tempat makan mereka bersama saat ada acara keluarga. Malam ini seharusnya aku merasa tenang. Tapi entah mengapa, hatiku gelisah sejak awal kami masuk ke sini.“Mama, aku ke toilet sebentar, ya,” pamitku.“Silakan, Sayang. Hati-hati.”Aku berdiri, merapikan hijabku, dan mulai melangkah menuju arah toilet. Tapi baru beberapa langkah, saat aku berbelok di lorong menuju fa
Aku berdiri di ambang pintu dan menatap punggung Mas Afnan yang perlahan menjauh. Satu helai helaan nafas panjang lolos dari bibirku, berusaha mengusir rasa sesak yang diam-diam menyelip di dada. Tadi, sebelum benar-benar memasuki mobil, Mas Afnan sempat mengusap pipiku dengan lembut. Sentuhan itu hangat, menenangkan, tapi entah mengapa juga membuat hatiku ngilu.“Aku pergi ya, Sayang,” katanya tadi dengan tatapan teduh yang selalu bisa membuatku luluh. Dan aku hanya bisa mengangguk dan menyembunyikan gelombang perasaan yang bergemuruh di dalam hati.Kini, aku hanya bisa memandangi mobil yang membawa Mas Afnan dan Sarah perlahan menghilang di tikungan jalan. Jantungku berdegup pelan seiring langkah mereka menjauh. Aku berusaha menenangkan diri dan berusaha menguatkan hati.Dia hanya menepati janji, bisikku pada diri sendiri. Ini tak akan mengubah apa pun. Mas Afnan tetap Mas Afnanku. Suamiku yang mencintaiku. Suamiku yang tak pernah seka
Pagi itu udara terasa hangat dan berbeda dari biasanya, atau mungkin hatiku saja yang terasa begitu hangat melihat Mas Afnan bersiap berangkat. Aku mengantarnya sampai ke teras. Wajahnya begitu segar dan senyumnya yang merekah itu selalu sukses membuat dadaku berdebar tanpa alasan.“Aku berangkat dulu ya, Sayang,” bisiknya, sebelum bibirnya singgah lembut di keningku. Belum sempat aku merespons, dia sudah menurunkan kecupannya ke kedua pipiku.Aku terbelalak kaget ketika dia akhirnya menempelkan bibirnya di bibirku. Spontan aku ingin mendorong dadanya, tapi tangannya sudah lebih dulu menahan tengkukku dan memperdalam ciuman itu seolah tak ingin melepaskanku begitu saja.Aku merasa wajahku benar-benar panas. Jantungku berpacu tak karuan. Begitu Mas Afnan menarik wajahnya, aku mendongak menatapnya dengan tatapan setengah kesal. Wajahku pasti sudah memerah sampai telinga.“Mas, ih!” protesku setengah salting. “Kalau ada yang lih
Helaan nafasku menggantung ketika kecupan hangat terasa begitu lama di keningku. Sentuhan itu membangunkanku dari tidur yang tak benar-benar nyenyak. Kelopak mataku mengerjap perlahan dan berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram kamar.Begitu aku membuka mata, sosok Mas Afnan yang begitu kukenal ada di hadapanku. Wajahnya lelah, tapi tatapannya penuh sayang.“Eh, kamu kok bangun? Maaf, aku bangunin ya?” bisiknya lembut.Aku menggeleng kecil, lalu bangkit duduk dan segera menyalim tangannya dengan takzim. Kehangatan kulitnya membuatku terdiam sesaat.“Mas, baru pulang?” tanyaku pelan dan menahan agar suara tak bergetar karena berbagai rasa yang membuncah.Mas Afnan mengangguk. Senyum tipis menghias wajahnya yang tampak penat. Satu tangannya terulur. Jari-jarinya mengusap rambutku perlahan. Seolah ingin menyalurkan seluruh rindu yang ia bawa pulang.“Maaf, kemarin aku nggak sempat nemuin kamu,” bi
Pelan-pelan aku membuka mata dan menyadari bahwa aku tertidur dalam posisi bersujud di atas sajadah. Tubuhku terasa kaku, leherku pegal, dan mataku masih terasa berat karena tangis semalam.Aku menegakkan tubuh dan menatap sekitar kamar. Pandanganku langsung tertuju pada tempat tidur yang masih rapi, selimut yang tak terusik sedikit pun, dan bantal yang masih dalam posisi sama seperti semalam.Deg.Dada ini seperti tertimpa batu besar. Mas Afnan, tidak kembali ke kamar ini semalam.Dan itu artinya, Mas Afnan tidur di kamar Sarah.Aku menunduk. Dada ini sakit. Sangat sakit. Tapi aku tahu, aku tak boleh berburuk sangka. Aku tak boleh menghakimi.Air mataku mulai menggenang lagi. Tangan ini refleks mengusap kedua pipiku. Ya Allah, kuatkan aku hari ini.Aku menarik nafas dalam dan berusaha menenangkan diri. Lalu perlahan aku bangkit, membereskan sajadah dan mukena dan mencoba menyibukkan diri agar hati ini tak larut dalam ge