Lima hari.
Sudah lima hari sejak Mas Afnan berangkat ke Malaysia.
Waktu berjalan lambat. Seperti enggan berlari. Namun, aku terus mencoba sabar. Setiap pagi kuawali dengan senyum walau rindu terus menggantung di dada. Setiap malam kututup dengan panggilan video dari Mas Afnan. Tempatku melepaskan semua penat dan rindu yang tak sempat tumpah siang harinya.
Dua hari lalu, aku akhirnya datang juga ke pernikahan Mas Dika. Bersama Nilam, tentu saja.
Acara itu berlangsung meriah, penuh tawa dan wajah-wajah bahagia. Tetapi, hatiku terasa kosong. Meski aku mencoba tersenyum, menanggapi setiap sapaan, dan bahkan ikut tertawa ketika Nilam membuat candaan, tapi semuanya terasa datar. Bukan karena aku tak senang untuk Mas Dika. Aku justru bahagia dia akhirnya menemukan pasangan yang tepat. Hanya saja … ada ruang yang kosong di sisiku. Tempat yang biasa diisi Mas Afnan.
Aku sempat berdiri agak lama di dekat pelaminan, menatap Mas Dika dan istrinya yang s
Udara siang ini terik, peluh sudah membasahi punggungku sejak dari perjalanan pulang. Aku baru saja memarkirkan sepeda di halaman saat mataku menangkap sosok yang tak asing sedang berdiri di depan rumah. Aku terkejut.“Sarah?” gumamku pelan, nyaris tak percaya.Gadis itu langsung melambai ceria begitu melihatku. “Hai, Kak Safa!” serunya sambil berjalan menghampiri dengan langkah ringan.Aku memicingkan mata. “Tumben kamu ke sini nggak bilang dulu.”Sarah tersenyum, wajahnya cerah seperti biasa. “Nggak lama kok, Kak. Aku tadi mau ngasih laporan tugas penyuluhan desaku ke Kepala Desa. Nah, sekalian aja mampir ke sini. Kan rumahnya deket.”Aku mengangguk, mengeluarkan kunci dan membuka pintu rumah. Rasa terkejutku belum hilang sepenuhnya, tapi kehadiran Sarah cukup jadi pengalihan dari kekosongan hatiku hari ini.Kami masuk. Aku melepas sepatu, Sarah ikut duduk di ruang tamu.“Mas Afn
Lima hari.Sudah lima hari sejak Mas Afnan berangkat ke Malaysia.Waktu berjalan lambat. Seperti enggan berlari. Namun, aku terus mencoba sabar. Setiap pagi kuawali dengan senyum walau rindu terus menggantung di dada. Setiap malam kututup dengan panggilan video dari Mas Afnan. Tempatku melepaskan semua penat dan rindu yang tak sempat tumpah siang harinya.Dua hari lalu, aku akhirnya datang juga ke pernikahan Mas Dika. Bersama Nilam, tentu saja.Acara itu berlangsung meriah, penuh tawa dan wajah-wajah bahagia. Tetapi, hatiku terasa kosong. Meski aku mencoba tersenyum, menanggapi setiap sapaan, dan bahkan ikut tertawa ketika Nilam membuat candaan, tapi semuanya terasa datar. Bukan karena aku tak senang untuk Mas Dika. Aku justru bahagia dia akhirnya menemukan pasangan yang tepat. Hanya saja … ada ruang yang kosong di sisiku. Tempat yang biasa diisi Mas Afnan.Aku sempat berdiri agak lama di dekat pelaminan, menatap Mas Dika dan istrinya yang s
Langkahku lesu saat melewati gerbang TPA pagi itu. Matahari belum sepenuhnya tinggi, tapi rasanya hari ini berat sekali. Mungkin karena baru beberapa jam lalu aku melambaikan tangan pada Mas Afnan di Bandara, dan sekarang .…Aku menghela nafas panjang dan menunduk sambil bergumam, “Baru beberapa jam aja aku udah kangen sama kamu, Mas. Apalagi seminggu.”Langkahku terhenti saat Nilam menghampiri dengan senyum cerah dan buku catatan di tangan.“Safa, ini catatan kegiatan hari kemarin. Kamu tinggal cek ulang ya,” ucapnya sambil menyodorkan buku itu.Aku menyambutnya dengan senyum kecil yang terasa hambar. “Makasih ya, Nil.”Nilam mengangguk, tapi matanya menatapku penuh perhatian. Kemudian, seakan baru ingat sesuatu, dia berkata, “Oh iya! Hari Ahad kamu jadi ‘kan ke nikahannya Mas Dika?”Pertanyaan itu membuatku diam. Hening sejenak menyelimuti. Aku menatap buku catatan di tanganku, l
Langkahku ringan saat berjalan kembali ke rumah, sambil membawa secarik undangan pernikahan Mas Dika yang ingin kubicarakan dengan Mas Afnan. Aku tahu ini bukan hal besar, hanya undangan pernikahan biasa, tapi entah kenapa aku ingin dia tahu lebih dulu dan aku ingin kami datang bersama.Senyumku makin mengembang saat menyadari Mas Afnan sudah pulang. Aku semakin mempercepat langkahku masuk ke dalam.“Satu minggu saya ke Malaysia? Apa tidak bisa diwakilkan?”Deg.Aku spontan menghentikan langkah tepat di ambang pintu. Tanganku yang menggenggam undangan bergetar ringan. Satu minggu?Kupalingkan wajah menatap ke arahnya. Mas Afnan duduk bersandar dengan satu tangan memijit pelipis, ekspresinya serius. “Saya paham. Nanti saya kabari lagi keputusan finalnya.”Nada suaranya terdengar lelah, tetapi tetap tenang seperti biasa. Ia menutup telepon tak lama kemudian, lalu mengembuskan nafas panjang. Aku berdiri di tempatku tanpa
Beberapa hari berlalu seperti gerimis yang tak lekas reda. Ada jarak yang menggantung di antara kami bertiga. Aku, Mas Afnan, dan Sarah. Tapi pagi ini, ada udara yang berbeda. Lebih sunyi. Lebih ringan. Lebih mengakhiri.Sarah berdiri di dekat koper kecilnya yang sudah tertata rapi. Wajahnya tertunduk, dan langkahnya pelan saat akhirnya menghampiriku. Aku hanya bisa menatapnya tanpa banyak kata.“Kak,” ucapnya lirih.Aku mengangkat wajah dan menunggu kelanjutannya.“Maaf, ya,” lanjut Sarah. Suaranya bergetar. “Aku sadar aku udah buat Kakak nggak nyaman selama tinggal di sini.”Aku tetap diam. Sekilas, aku menoleh ke arah Mas Afnan yang berdiri tak jauh dariku. Lelaki itu hanya menatap kami santai. Seolah semuanya memang sudah diatur sejak awal. Aku tidak tahu harus menanggapi dengan cara seperti apa.Sarah menggigit bibir bawahnya, lalu berkata lagi, “Aku juga mau minta maaf karena udah undang teman-
Aku masih berdiri di depan cermin dan menyisir rambut perlahan sambil sesekali melirik pantulan wajahku sendiri. Ini malam terakhir kami di Hotel ini. Dan jujur, aku belum siap kembali ke kenyataan rumah yang--ah, mungkin saja masih terasa asing karena keberadaan dia.Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara Mas Afnan dari dalam kamar mandi. “Saf, ambilin handuk dong. Lupa aku bawa masuk.”Aku memutar bola mata. Bisa-bisanya Mas lupa, batinku. Tapi ya sudahlah. Dengan langkah pelan, aku mengambil handuk yang tergantung di rak dan berjalan ke pintu kamar mandi.“Ini, Mas,” ucapku sambil menyodorkan handuk lewat celah pintu yang sedikit terbuka.Tetapi, belum sempat aku menarik kembali tanganku, jemari Mas Afnan justru meraih dan menarikku masuk ke dalam. Aku nyaris kehilangan keseimbangan.“Mas! Astagfirullah!” Aku mengerjap panik saat mendapati tubuhku kini berdiri tepat di bawah shower yang masih menya