Share

Bab. 2

"Kau sudah bangun?"

Rose mengerjapkan kelopak matanya karena cahaya silau yang memaksa masuk ke dalam retina coklat madu itu. Kemudian tatapannya beralih ke sosok yang duduk di sebelah ranjangnya. Kedua alisnya tertaut dalam kala matanya bersitatap dengan manik emerald milik Jovan.

"Sedang apa Bapak disini?" tanya Rose yang merasa heran karena Jovan berada di kamarnya.

Karena saat malam pernikahan mereka kemarin, Jovan telah berubah 360 derajat. Lelaki itu langsung bersikap dingin dengannya. Bukan hanya bersikap dingin, namun hal yang membuat Rose tak mengerti adalah Jovan bahkan tanpa segan melalukan tindakan fisik yang membuatnya memiliki karya tangan Jovan di tubuhnya hanya karena Roseline masuk ke dalam kamar lelaki itu. Bukankah itu hal yang wajar untuk sepasang suami istri berada di satu kamar yang sama?

Sangat jauh berbeda dengan saat mereka masih menjadi atasan dan bawahan. Setelah kejadian malam itu, mereka pun tidur di ranjang yang terpisah dan jaraknya jauh. Jadi saat melihat Jovan berada di kamarnya tentu membuat Rose heran.

Jovan menatap wanita malang di depannya. Dapat ia lihat banyak bekas luka yang ia torehkan di tubuh mungil itu. Terbesit rasa bersalah di hatinya namun segera ia tepis. Baginya, tidak ada kata maaf bagi orang yang sudah mengambil kebahagiaannya. Dan sayangnya, Roseline adalah orang yang harus bertanggung jawab atas semua ini.

"Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja. Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan cepat, Rose. Akan ku buat hidupmu seperti di neraka dengan penderitaan yang abadi," tukas Jovan dengan tajam.

Hati Rose mencelos kala mendengar ucapan Jovan yang terasa seperti belati. Begitu menyakitkan menusuk ke dalam relung hatinya.

"Maksud Bapak? Kenapa Bapak melakukan ini padaku? Apa salahku?" Tanya Roseline dengan menuntut.

Seharusnya ia sadar, kalau Jovan tidak sebaik yang ia kira. Harusnya ia sadar kalau Jovan yang ada di depannya bukanlah Jovan yang sama dengan yang ada di kantor, bukan Jovan yang sangat menghargai dan menghormati wanita. Seharusnya ia tidak perlu berharap apapun.

"Aku baik-baik saja," lirih Rose kala Jovan tak menjawab pertanyaannya. Wanita itu bergerak sedikit menjauh dari Jovan.

Lelaki itu melirik, ia bisa merasakan perasaan takut yang dimiliki Rose. "Aku sedang tidak ingin menyakitimu. Tenanglah," ucapnya pelan.

Rose mengangguk patuh. Hatinya sedikit menghangat karena Jovan tidak berniat menyakitinya. Setidaknya untuk saat ini, dan berharap untuk kedepannya. Semoga kejadian semalam hanyalah kekhilafan Jovan saja. Jovan menegakkan punggungnya, kembali menatap beberapa luka di tubuh wanita itu. Terlintas pertanyaan, mengapa wanita itu masih bertahan? Kenapa wanita itu masih mau berada disisinya? Padahal Rose bisa saja melarikan diri dari rumah ini dan melaporkan tindakan yang dilakukan Jovan. Tapi, kenapa wanita itu hanya diam saja dan pasrah menerima semuanya?

"Kau sudah tahu bagaimana sikapku. Kenapa kau masih bertahan disini? Bukankah aku telah melukaimu?" Jovan berbisik. Meskipun terbawa angin, suaranya terdengar jelas di pendengaran Rose.

"Karena aku adalah istrimu," ujar Rose. Wanita itu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tak sanggup jika harus bersitatap dengan manik milik Jovan.

Jovan mendesis pelan. Jovan adalah manusia yang penuh dengan logika dan kerealistisan. Jadi menurut pandangannya, tidak ada wanita yang sanggup bertahan meskipun tersakiti. Kalaupun ada, maka itu adalah wanita bodoh. Dan Rose adalah satu-satunya wanita bodoh yang pernah ia temui.

"Apa tidak ada jawaban yang lain?" tanya Jovan lagi.

Rose menggeleng pelan. "Tidak ada. Karena aku adalah istrimu dan aku sudah berjanji akan menghabiskan sisa hidupku denganmu."

"Bodoh," ejek Jovan diiringi dengusan kasar.

Rose tersenyum tipis. Bodoh? Iya. Dia akui kalau dia memang wanita yang bodoh. Rela tersakiti padahal ini baru hari pertama mereka menjadi pasangan suami istri. Karena sekarang, Jovan adalah satu-satunya orang yang harus ia kasihi. Ibu dan ayahnya yang telah lama tiada membuat Rose tidak lagi mendapatkan kasih sayang. Selama bertahun-tahun ia hidup bersama Catherine, hanya wanita itu yang mampu menyayanginya dengan tulus.

Dan di waktu yang tepat, Jovan datang dengan menawarkan bantuan yang membuat dirinya terbebas dari rasa malu.

"Jika kau adalah istriku..." jovan menatap dalam ke netra cokelat madu milik Rose.

***

"Aku memperkosanya."

Seorang lelaki yang sedang menyesap jus jeruk hampir saja menyemburkan airnya keluar saat mendengar ucapan orang yang duduk di depannya. Kedua matanya menatap penasaran serta tak percaya.

"Siapa? Apa kau sudah menjelma menjadi seorang bajingan yang memperkosa gadis? Dimana hati nuranimu? Hah?!" cecarnya dengan tatapan sengit.

Ia tak percaya dengan apa yang telah dilakukan oleh temannya itu. Karena yang ia tahu, temannya adalah orang yang sangat menyayangi dan memuliakan wanita. Jadi begitu mendengar kabar itu, tentu ia terkejut.

"Roseline," ujar Jovan dengan tatapan datar.

"Hah?" otak Regan mendadak menjadi buntu saat mendengar perkataan Jovan. "Maksudmu, kau memperkosa Roseline?" lanjutnya lagi.

Jovan mengangguk pelan. Regan hampir saja tertawa saat mendengar ucapan Jovan kalau saja lelaki di depannya itu tidak menatapnya dengan tajam dan serius. Regan pun terpaksa menelan kembali rasa ingin tertawanya daripada harus dijadikan samsak oleh Jovan.

"Rose itu istrimu, Jo. Tidak ada istilahnya suami memperkosa istri karena itu adalah hal yang memang semestinya dilakukan," ujar Regan.

Pagi ini, ia cukup di kejutkan dengan kedatangan Jovan di rumah sakit tempat ia bekerja. Biasanya Jovan adalah orang yang super sibuk dengan pekerjaan. Hanya karena ingin menyampaikan berita konyol itu, Jovan sampai rela mendatanginya.

Regan adalah satu-satunya orang yang tahu apa rencana Jovan menikahi Roseline. Bahkan ia juga sudah sering menasehati Jovan untuk mengiringi niatnya itu.

"Rose tidak pantas menerima semua ini, Jovan." Regan berujar memecahkan keheningan yang tercipta.

Jovan pun langsung menatapnya tajam, tak setuju dengan ucapan Regan. "Dia pantas menerima semuanya," balasnya dengan penuh penekanan.

Regan mendengus pelan. Lelaki itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela kaca. Menatap gedung-gedung tinggi yang ada di sana. "Apa menurutmu orang yang tidak bersalah pantas diperlakukan seperti itu?" tanyanya lagi.

"Tapi dia adalah orang yang berkaitan dengan itu semua dan jangan lupakan apa yang sudah wanita itu lakukan hingga membuat—"

"Bukan dia yang melakukannya," Sela Regan cepat.

Lelaki itu sudah cukup sering memberitahu Jovan kalau apa yang dilakukannya itu sama sekali tidak benar. Namun Jovan sangat keras kepala. Dendam yang ada di hatinya sudah membutakan mata serta akal sehatnya.

"Aku sudah menantikan waktu ini sejak lama. Jadi jangan harap kalau aku akan menghentikannya," balas Jovan.

Ia tahu Regan sangat menentang segala perlakuan yang mungkin akan Jovan kepada Rose. Maka dari itu ia memilih diam. Berdebat dengan Regan sama saja membuang waktu.

"Berikan aku obat itu," ujar Jovan.

Regan menghela nafasnya pasrah karena Jovan masih tidak mau mendengarkannya dan berjalan menuju laci obat. Mengambil satu botol kecil berisi pil berwarna kuning. Ia cukup paham obat apa yang dibutuhkan oleh Jovan. Kemudian memberikannya kepada Jovan. Jovan segera mengantonginya.

"Suatu saat kau akan mencintai Roseline," kata Regan.

Jovan menaikkan pandangannya mendengar ucapan Regan. Menatap wajah temannya itu dengan sinis. "Kau sendiri tahu siapa wanita yang sangat aku cintai. Jadi berhenti berpikir kalau aku akan mencintai jalang sialan itu," tukas Jovan kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan kerja Regan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status