"Kau sudah bangun?"
Rose mengerjapkan kelopak matanya karena cahaya silau yang memaksa masuk ke dalam retina coklat madu itu. Kemudian tatapannya beralih ke sosok yang duduk di sebelah ranjangnya. Kedua alisnya tertaut dalam kala matanya bersitatap dengan manik emerald milik Jovan."Sedang apa Bapak disini?" tanya Rose yang merasa heran karena Jovan berada di kamarnya.Karena saat malam pernikahan mereka kemarin, Jovan telah berubah 360 derajat. Lelaki itu langsung bersikap dingin dengannya. Bukan hanya bersikap dingin, namun hal yang membuat Rose tak mengerti adalah Jovan bahkan tanpa segan melalukan tindakan fisik yang membuatnya memiliki karya tangan Jovan di tubuhnya hanya karena Roseline masuk ke dalam kamar lelaki itu. Bukankah itu hal yang wajar untuk sepasang suami istri berada di satu kamar yang sama?Sangat jauh berbeda dengan saat mereka masih menjadi atasan dan bawahan. Setelah kejadian malam itu, mereka pun tidur di ranjang yang terpisah dan jaraknya jauh. Jadi saat melihat Jovan berada di kamarnya tentu membuat Rose heran.Jovan menatap wanita malang di depannya. Dapat ia lihat banyak bekas luka yang ia torehkan di tubuh mungil itu. Terbesit rasa bersalah di hatinya namun segera ia tepis. Baginya, tidak ada kata maaf bagi orang yang sudah mengambil kebahagiaannya. Dan sayangnya, Roseline adalah orang yang harus bertanggung jawab atas semua ini."Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja. Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan cepat, Rose. Akan ku buat hidupmu seperti di neraka dengan penderitaan yang abadi," tukas Jovan dengan tajam.Hati Rose mencelos kala mendengar ucapan Jovan yang terasa seperti belati. Begitu menyakitkan menusuk ke dalam relung hatinya."Maksud Bapak? Kenapa Bapak melakukan ini padaku? Apa salahku?" Tanya Roseline dengan menuntut.Seharusnya ia sadar, kalau Jovan tidak sebaik yang ia kira. Harusnya ia sadar kalau Jovan yang ada di depannya bukanlah Jovan yang sama dengan yang ada di kantor, bukan Jovan yang sangat menghargai dan menghormati wanita. Seharusnya ia tidak perlu berharap apapun."Aku baik-baik saja," lirih Rose kala Jovan tak menjawab pertanyaannya. Wanita itu bergerak sedikit menjauh dari Jovan.Lelaki itu melirik, ia bisa merasakan perasaan takut yang dimiliki Rose. "Aku sedang tidak ingin menyakitimu. Tenanglah," ucapnya pelan.Rose mengangguk patuh. Hatinya sedikit menghangat karena Jovan tidak berniat menyakitinya. Setidaknya untuk saat ini, dan berharap untuk kedepannya. Semoga kejadian semalam hanyalah kekhilafan Jovan saja. Jovan menegakkan punggungnya, kembali menatap beberapa luka di tubuh wanita itu. Terlintas pertanyaan, mengapa wanita itu masih bertahan? Kenapa wanita itu masih mau berada disisinya? Padahal Rose bisa saja melarikan diri dari rumah ini dan melaporkan tindakan yang dilakukan Jovan. Tapi, kenapa wanita itu hanya diam saja dan pasrah menerima semuanya?"Kau sudah tahu bagaimana sikapku. Kenapa kau masih bertahan disini? Bukankah aku telah melukaimu?" Jovan berbisik. Meskipun terbawa angin, suaranya terdengar jelas di pendengaran Rose."Karena aku adalah istrimu," ujar Rose. Wanita itu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tak sanggup jika harus bersitatap dengan manik milik Jovan.Jovan mendesis pelan. Jovan adalah manusia yang penuh dengan logika dan kerealistisan. Jadi menurut pandangannya, tidak ada wanita yang sanggup bertahan meskipun tersakiti. Kalaupun ada, maka itu adalah wanita bodoh. Dan Rose adalah satu-satunya wanita bodoh yang pernah ia temui."Apa tidak ada jawaban yang lain?" tanya Jovan lagi.Rose menggeleng pelan. "Tidak ada. Karena aku adalah istrimu dan aku sudah berjanji akan menghabiskan sisa hidupku denganmu.""Bodoh," ejek Jovan diiringi dengusan kasar.Rose tersenyum tipis. Bodoh? Iya. Dia akui kalau dia memang wanita yang bodoh. Rela tersakiti padahal ini baru hari pertama mereka menjadi pasangan suami istri. Karena sekarang, Jovan adalah satu-satunya orang yang harus ia kasihi. Ibu dan ayahnya yang telah lama tiada membuat Rose tidak lagi mendapatkan kasih sayang. Selama bertahun-tahun ia hidup bersama Catherine, hanya wanita itu yang mampu menyayanginya dengan tulus.Dan di waktu yang tepat, Jovan datang dengan menawarkan bantuan yang membuat dirinya terbebas dari rasa malu."Jika kau adalah istriku..." jovan menatap dalam ke netra cokelat madu milik Rose.***"Aku memperkosanya."Seorang lelaki yang sedang menyesap jus jeruk hampir saja menyemburkan airnya keluar saat mendengar ucapan orang yang duduk di depannya. Kedua matanya menatap penasaran serta tak percaya."Siapa? Apa kau sudah menjelma menjadi seorang bajingan yang memperkosa gadis? Dimana hati nuranimu? Hah?!" cecarnya dengan tatapan sengit.Ia tak percaya dengan apa yang telah dilakukan oleh temannya itu. Karena yang ia tahu, temannya adalah orang yang sangat menyayangi dan memuliakan wanita. Jadi begitu mendengar kabar itu, tentu ia terkejut."Roseline," ujar Jovan dengan tatapan datar."Hah?" otak Regan mendadak menjadi buntu saat mendengar perkataan Jovan. "Maksudmu, kau memperkosa Roseline?" lanjutnya lagi.Jovan mengangguk pelan. Regan hampir saja tertawa saat mendengar ucapan Jovan kalau saja lelaki di depannya itu tidak menatapnya dengan tajam dan serius. Regan pun terpaksa menelan kembali rasa ingin tertawanya daripada harus dijadikan samsak oleh Jovan."Rose itu istrimu, Jo. Tidak ada istilahnya suami memperkosa istri karena itu adalah hal yang memang semestinya dilakukan," ujar Regan.Pagi ini, ia cukup di kejutkan dengan kedatangan Jovan di rumah sakit tempat ia bekerja. Biasanya Jovan adalah orang yang super sibuk dengan pekerjaan. Hanya karena ingin menyampaikan berita konyol itu, Jovan sampai rela mendatanginya.Regan adalah satu-satunya orang yang tahu apa rencana Jovan menikahi Roseline. Bahkan ia juga sudah sering menasehati Jovan untuk mengiringi niatnya itu."Rose tidak pantas menerima semua ini, Jovan." Regan berujar memecahkan keheningan yang tercipta.Jovan pun langsung menatapnya tajam, tak setuju dengan ucapan Regan. "Dia pantas menerima semuanya," balasnya dengan penuh penekanan.Regan mendengus pelan. Lelaki itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela kaca. Menatap gedung-gedung tinggi yang ada di sana. "Apa menurutmu orang yang tidak bersalah pantas diperlakukan seperti itu?" tanyanya lagi."Tapi dia adalah orang yang berkaitan dengan itu semua dan jangan lupakan apa yang sudah wanita itu lakukan hingga membuat—""Bukan dia yang melakukannya," Sela Regan cepat.Lelaki itu sudah cukup sering memberitahu Jovan kalau apa yang dilakukannya itu sama sekali tidak benar. Namun Jovan sangat keras kepala. Dendam yang ada di hatinya sudah membutakan mata serta akal sehatnya."Aku sudah menantikan waktu ini sejak lama. Jadi jangan harap kalau aku akan menghentikannya," balas Jovan.Ia tahu Regan sangat menentang segala perlakuan yang mungkin akan Jovan kepada Rose. Maka dari itu ia memilih diam. Berdebat dengan Regan sama saja membuang waktu."Berikan aku obat itu," ujar Jovan.Regan menghela nafasnya pasrah karena Jovan masih tidak mau mendengarkannya dan berjalan menuju laci obat. Mengambil satu botol kecil berisi pil berwarna kuning. Ia cukup paham obat apa yang dibutuhkan oleh Jovan. Kemudian memberikannya kepada Jovan. Jovan segera mengantonginya."Suatu saat kau akan mencintai Roseline," kata Regan.Jovan menaikkan pandangannya mendengar ucapan Regan. Menatap wajah temannya itu dengan sinis. "Kau sendiri tahu siapa wanita yang sangat aku cintai. Jadi berhenti berpikir kalau aku akan mencintai jalang sialan itu," tukas Jovan kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan kerja Regan."Memikirkan apa?"Jovan tersentak kecil saat sebuah tangan melingkar manja di pinggangnya. Dapat ia rasakan sentuhan yang menggoda. Membuat bulu kuduknya meremang. Jovan membalikkan tubuhnya, memeluk mesra pinggang gadis yang berada di depannya. Mengulas senyum manis kemudian menyelipkan anak rambut gadis itu ke belakang telinga."Hanya merindukanmu," ujar Jovan menatap lembut.Gadis itu mencebikkan bibirnya kemudian mengecup singkat bibir lelaki yang dicintainya sejak 3 tahun yang lalu. Jovan pun tersenyum mendapat kecupan manis dari kekasihnya itu. Kemudian ia menarik tangan gadis itu dan menggiringnya ke sofa. Gadis itupun bergelayut manja dan mencium pipi Jovan berkali-kali.Jovan tertawa kecil. "Katakan padaku, ada apa kau mencariku?" Tanyanya kemudian.Deluna, gadis itu menghela nafasnya panjang. Tampak ada sesuatu yang ia pikirkan. Jovan pun menunggu gadis itu untuk berbicara. "Jadi kapan kau akan menceraikan wanita jelek itu?" Tanyanya sembari mengerucutkan bibirnya membuat J
Roseline menatap datar ke arah tamu yang tak undang itu. Entah apa tujuannya mendatangi rumahnya. Hanya saja kehadirannya membuat Roseline merasakan aura yang tidak mengenakkan."Apa kau kaget dengan kedatanganku? Apa kau mengira kalau aku adalah Jovan?" Tutur orang itu dengan senyuman miringnya. Menatap Roseline dengan tatapan meremehkan."Apa tujuanmu kemari?" Tanya Roseline tanpa basa-basi.Orang tertawa sinis. "Sangat to the point. Baiklah, aku menyukai orang yang tidak basa-basi," ujarnya kemudian menatap Roseline dengan tajam. "Ceraikan Jovan."Roseline mendengus pelan. Seharusnya tanpa ia tanya pun ia sudah tahu apa tujuan wanita di depannya itu menyambangi rumahnya. Ya, Roseline jelas tahu hubungan antara Jovan dengan wanita masalalunya karena Jovan pernah membawanya ke kantor. Ia tahu kalau Deluna pasti tidak terima kala Jovan lebih memilih menikahinya daripada menikahi gadis itu."Mimpi saja," balas Roseline dengan lugas. Membuat Deluna menatapnya marah. Ia tidak menyangka k
Jovan meletakkan sebotol berisi butiran pil di atas nakas samping ranjang Roseline. Kedua netra Roseline menatap obat itu dengan seksama. Kemudian kembali menatap Jovan."Apa itu?" Tanyanya penasaran. Sedikit kaget kenapa Jovan memberikan obat-obatan kepadanya. Jelas saja itu membuat Roseline menjadi bingung."Apa kau pikir aku ingin memiliki anak dari wanita hina sepertimu?" Tutur Jovan terdengar begitu menyakitkan di telinga Roseline.Roseline menatap Jovan tak percaya. Bagaimana bisa manusia berwajah malaikat seperti Jovan memiliki hati bak iblis? "Kau—" Roseline tak lagi mampu mengucapkan sepatah katapun.Bukankah kemarin Jovan yang menginginkannya? Bukankah kemarin Jovan yang memintanya? Bukankah kemarin Jovan juga terlihat menikmatinya? Lantas mengapa lelaki itu bersikap begitu kejam? Apa bagi Jovan, Roseline hanya—"Kau hanya akan menjadi pemuasku saja. Jadi jangan berharap lebih karena aku tidak akan sudi memberikan cintaku padamu," tukas Jovan lagi.Membuat sebulir kristal j
Setelah selesai makan bersama sang mertua, Roseline memilih untuk berjalan-jalan menyusuri rumah milik Abraham. Rumah yang tampak megah namun hanya di huni oleh Abraham seorang, dan beberapa pelayan yang tinggal disini. Roseline yang belum banyak mengetahui tentang keluarga suaminya, tentu bertanya-tanya kemana mereka? Apa Jovan tidak memiliki adik? Atau kakak mungkin? Lantas kemana ibunya Jovan? Ingin rasanya Roseline menanyakan itu namun rasanya tidak pantas. Ia tidak ingin Jovan mengira kalau dirinya terlalu banyak ingin tahu.Melihat ada sebuah gazebo di dekat kolam renang belakang rumah, Roseline langsung berjalan ke arah sana dan duduk di sana. Setelah selesai makan, Jovan pun langsung pamit pergi entah kemana. Begitu juga Abraham yang memilih untuk beristirahat. Roseline mengamati sekelilingnya, udara disini terasa lebih sejuk daripada di rumah Jovan. Mungkin ia akan betah jika tinggal di sini. Apalagi, Abraham sangat baik padanya.Membicarakan Abraham, ia jadi teringat dengan
Roseline menautkan kedua tangannya dengan gelisah. Matanya tak berhenti menatap jam yang tergantung di dinding berulang kali. Sudah hampir pukul satu pagi tapi jovan belum juga pulang ke rumah. Roseline tidak tahu harus berbuat apa. Ditambah ini adalah hari pertamanya menginap di rumah mertuanya. Apa yang akan ia katakan pada Abraham kalau mertuanya itu menanyakan keberadaan Jovan?Roseline berjalan kesana kemari memikirkan cara untuk menemukan Jovan. Sial! Ia sendiri tidak tahu tempat yang sering di kunjungi oleh Jovan. Terlebih lagi mereka masih baru menikah. Tidak banyak hal yang Roseline tahu tentang Jovan. Roseline pun mengambil ponselnya, mencari nomor Jovan untuk menghubungi lelaki itu. Terdengar nada panggilan tersambung yang cukup lama. Namun tidak di jawab oleh pemiliknya. Sebenarnya apa yang terjadi? Roseline semakin risau dibuatnya.Untuk kesekian kalinya, ia menilik jam yang tergantung di dinding. Sudah setengah dua pagi, tidak ada pilihan lain selain pergi keluar mencari
Roseline memapah Jovan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, semoga saja Abraham belum terbangun dari tidurnya. Roseline memeluk erat pinggang Jovan agar lelaki itu tidak jatuh. Jujur saja, Jovan memiliki tubuh yang cukup berat bagi Roseline yang bertubuh mungil harus mengeluarkan banyak tenaga agar bisa membawa Jovan ke kamar. Terlebih lagi kamar mereka berada di lantai dua. Roseline berjalan perlahan menaiki anak tangga satu persatu. Sesekali membenarkan posisi Jovan di pelukannya. Takut kalau Jovan bereaksi lain dan malah membuat lelaki itu jatuh. Setelah usahanya yang susah payah, akhirnya mereka sampai di kamarnya. Roseline segera membaringkan tubuh Jovan di atas ranjang. Melepaskan sepatu serta menaikkan selimutnya hingga sebatas dada.Roseline menatap wajah Jovan yang terlelap. Seulas senyum tipis tercetak di bibir tipisnya. Menyadari betapa tampan suaminya itu. Hanya saja, sikap Jovan yang selalu menyakitinya itu. Memb
Sore ini, Jovan dan Roseline memutuskan untuk pulang ke rumah. Selama perjalanan, keduanya saling bungkam. Ditambah dengan raut wajah Jovan yang tampak tegang. Sepertinya lelaki itu masih marah karena kejadian tadi. Roseline berdehem sebentar kemudian melirik ke arah Jovan. "Apa kau masih marah karena perkataan papa tadi?" Tanyanya hati-hati. Tidak ingin memancing emosi Jovan kembali.Jovan bungkam. Tampaknya tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Roseline. Lelaki itu terus fokus dengan jalanan yang ada di depannya.Melihat itu, Roseline memilih untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi. Melihat itu, membuatnya merasa rindu dengan masa dia kerja dulu. Apakah kalau ia kembali bekerja, Jovan akan mengizinkannya?"Aku ingin kembali bekerja," ujar Roseline tiba-tiba.Mendengar itu, Jovan langsung menolehkan kepalanya ke arah Roseline. Menatap wanita itu dengan tatapan tajam."Tidak ada yang mengizinkanmu kemba
Jovan tengah duduk termenung di meja kantornya. Hari ini ia sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Entahlah, setelah melihat ada Roseline di dalam kamarnya pagi tadi, membuat suasana hatinya memburuk. Apalagi saat ia tahu bahwa wanita itu yang telah merawatnya saat ia demam semalam. Dan lagi, ia tahu kebiasaan dirinya kalau demam pasti akan meracau. Membuatnya berpikir kalau Roseline pasti mendengar racauannya.Shit! Jovan melempar bolpoin yang ada ditangannya dengan kasar hingga bolpoin itu terpental hingga ke lantai. Pikirannya menjadi kacau. Tidak. Tidak seharusnya seperti ini. Ingat Jovan, tujuan awalmu menikahi Roseline itu apa. Jangan sampai karena hal kecil yang wanita itu lakukan padamu, membuatmu menjadi iba. Tidak.Jovan terus mengingatkan dirinya tentang tujuannya menikahi Roseline dan juga dengan Deluna, wanita yang dicintainya itu. Wanita yang seharusnya menjadi masa depannya. Jovan menghembuskan nafasnya kasar. Sial! Bisa-bisanya ia menjadi tidak fokus hanya karena