"Memikirkan apa?"
Jovan tersentak kecil saat sebuah tangan melingkar manja di pinggangnya. Dapat ia rasakan sentuhan yang menggoda. Membuat bulu kuduknya meremang. Jovan membalikkan tubuhnya, memeluk mesra pinggang gadis yang berada di depannya. Mengulas senyum manis kemudian menyelipkan anak rambut gadis itu ke belakang telinga."Hanya merindukanmu," ujar Jovan menatap lembut.Gadis itu mencebikkan bibirnya kemudian mengecup singkat bibir lelaki yang dicintainya sejak 3 tahun yang lalu. Jovan pun tersenyum mendapat kecupan manis dari kekasihnya itu. Kemudian ia menarik tangan gadis itu dan menggiringnya ke sofa. Gadis itupun bergelayut manja dan mencium pipi Jovan berkali-kali.Jovan tertawa kecil. "Katakan padaku, ada apa kau mencariku?" Tanyanya kemudian.Deluna, gadis itu menghela nafasnya panjang. Tampak ada sesuatu yang ia pikirkan. Jovan pun menunggu gadis itu untuk berbicara."Jadi kapan kau akan menceraikan wanita jelek itu?" Tanyanya sembari mengerucutkan bibirnya membuat Jovan gemas. Ingin rasanya melahap bibir tipis itu sampai habis. Namun ia lebih terpikirkan dengan ucapan Deluna.Deluna Asvara, gadis masalalu yang masih sangat ia cintai hingga saat ini. Bahkan ketika gadis itu meninggalkannya pun, Jovan masih setia menunggu Deluna untuk kembali. Hingga penantiannya berakhir.Satu tahun yang lalu, tepat setelah sehari kematian ibunya, Deluna kembali hadir di tengah-tengah hidupnya yang hancur dan menawarkannya sebuah cinta yang dulu pernah dikhianati oleh Deluna.Jovan pun dengan senang hati memberikan kesempatan kepada Deluna dan mereka sepakat untuk memperbaiki hubungan mereka yang sempat hancur.Jovan menghela nafasnya, kemudian mengusap punggung tangan Deluna dengan lembut."Aku perlu waktu, Sayang. Kau tau kan apa tujuanku menikahi wanita itu? Lagipula aku baru sehari menikahinya," Ucap Jovan lagi.Deluna mencebik lagi. Menarik paksa tangannya dari kungkungan tangan Jovan. Lantas bersedekap dada, memasang wajah cemberutnya. Kesal, tentu saja. Ia sudah bersabar selama satu tahun menunggu Jovan untuk menikahinya tapi lelaki itu malah menikahi gadis lain. Meskipun dengan tujuan tertentu, tetap saja itu membuat Deluna meragukan cinta Jovan padanya."Apa belum cukup aku menunggumu selama ini, Jo? Kalau begini, aku jadi ragu kalau kau benar mencintaiku. Aku yang menunggumu sejak lama tapi orang lain yang kau nikahi," tukas Deluna lagi.Jovan terkesiap mendengarnya. Ia segera menggenggam kedua jemari Deluna."Hei? Kau tau aku sangat mencintaimu, Del. Aku hanya perlu waktu untuk menuntaskan tujuanku. Setelah selesai, kita akan menikah. Ku mohon jangan ragukan cintaku padamu. Aku sangat mencintaimu," ujar Jovan dengan wajah melas.Ia tidak ingin kehilangan Deluna untuk kedua kalinya. Ia sangat mencintai gadis itu. "Permainan ini baru dimulai, Del." Sambungnya. Rasa amarah di dalam dirinya harus terpuaskan."Ingat apa yang pernah ku peringatkan padamu, Jo. Jangan pernah menyentuh wanita itu," ingati Deluna dengan tatapan tajamnya.Jovan terdiam mendengar kalimat itu. Benar, Deluna sudah pernah memperingatinya untuk tidak menyentuh wanita itu. Awalnya Jovan memang tidak memiliki niat untuk menyentuh wanita itu maupun wanita lain selain Deluna. Namun entah mengapa, hari itu..."Jovan?" Panggil Deluna saat melihat Jovan justru terdiam.Membuat rasa curiga dalam diri Deluna semakin menjadi. "Jangan bilang kalau kau sudah menyentuh wanita itu?" Tuding Deluna dengan kedua netra menyipit.Jovan terperangah dan menggeleng cepat. "Tidak, Sayang. Aku selalu ingat janjiku padamu untuk tidak menyentuh siapapun. Aku tidak mengingkarinya," ujar Jovan lagi.Deluna menghela nafasnya kemudian bangkit dari duduknya. "Sudahlah. Aku kemari hanya ingin mengantarkan berkas yang harus kau tanda tangani. Berkasnya sudah ku letakkan di atas meja."Jovan pun memeluk Deluna dan mengecup puncak kepala gadis itu. "Aku akan menemanimu makan siang nanti," katanya sembari tersenyum manis.Deluna pun mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan ruangan Jovan. Jovan menatap kepergian gadis itu dengan tatapan bersalah.***"Nyonya, biar saya obati."Roseline menaikkan pandangannya menatap seorang pelayan paruh baya kemudian mengulas senyum tipis."Tidak perlu, Bi. Nanti merepotkan," tolaknya dengan sungkan.Pelayan itu menatap Roseline dengan kasihan. Ia tidak tahu kenapa Tuan-nya bisa berlaku kasar pada istrinya ini. Padahal Roseline adalah wanita yang baik, lemah lembut, serta penyayang. Ia belum pernah mendapati Roseline marah. Wanita itu selalu tersenyum sekalipun sedang tidak baik-baik saja.Pelayan itu menghela napasnya pelan kemudian menggeleng tak mengerti. Ia berjalan mendekati Roseline yang tengah duduk di ayunan yang berada di belakang rumah. Kedua matanya memanas saat melihat luka yang berada di tangan serta leher Roseline. Tampak sekali seseorang telah menekan kuat bagian itu hingga meninggalkan bekas memar disana.Pelayan itu mengeluarkan kapas serta alkohol untuk membersihkan luka yang masih tampak basah. Entah karena apa yang jelas ia tidak tega melihatnya."Nyonya kenapa masih berada disini? Nyonya berhak untuk bahagia. Lihatlah, baru sehari nyonya menjadi istri Tuan, tapi apa yang sudah ia perbuat?" ujar pelayan itu dengan sesegukan. Tidak tega melihat majikannya di perlakukan seperti ini.Roseline tersenyum tipis dan menatap wajah pelayan itu. "Terimakasih karena Bibi sudah baik pada saya," ucapnya tulus."Saya tidak tega melihat Nyonya terus diperlakukan seperti ini."Roseline menghela nafasnya panjang. Tatapannya mengedar menatap ke hamparan rumput hijau di belakang rumah mewah ini. Benar, Roseline memang berhak untuk bahagia. Tapi bagaimana jika takdirnya adalah di sisi Jovan? Tidak peduli seburuk apapun perlakuan lelaki itu kepadanya. Karena di dunia ini, Jovan adalah satu-satunya orang yang ia punya. Dan juga...Roseline tersenyum samar. Selain Jovan, masih ada satu lagi orang yang sangat ia sayangi. Ah, sudah lama rasanya ia tidak mengunjungi orang itu. Membuat Roseline sangat merindukannya. Tapi tidak mungkin juga ia pergi dengan keadaannya yang seperti ini."Sudahlah, Bi. Mungkin ini adalah takdir yang harus saya jalani. Bagi saya, hidup bersama Jovan adalah kebahagiaan saya. Saya masuk dulu," ujar Roseline kemudian beranjak pergi meninggalkan pelayan setianya.Pelayan itu menatap kepergian majikannya dengan tatapan sedih.Roseline berjalan menuju ruang makan. Menatap banyak sekali menu yang di masak pelayan di setiap harinya. Sayangnya, selama pernikahannya dengan Jovan, mereka tidak pernah makan di meja yang sama.Jovan selalu saja makan di luar. Membiarkan Roseline mengisi meja makan itu sendirian. Roseline tersenyum tipis, mungkin akan sangat menyenangkan jika Jovan mau makan bersamanya.Wanita itu menoleh dengan cepat saat ia mendengar deru mobil Jovan yang memasuki garasi. Kemudian mengernyitkan keningnya lantas melihat jam yang tergantung di dinding.Ini masih cukup sore, tumben sekali lelaki itu pulang lebih awal. Tak memikirkan banyak hal, Roseline langsung saja berjalan menuju pintu. Hatinya mendadak gembira, karena ini untuk pertama kalinya Jovan tidak lembur bekerja. Biasanya lelaki itu akan pulang larut malam, ketika ia sudah tidur."Jovan, kau sudah pu—"Ucapannya terhenti bersamaan dengan senyuman manisnya yang luntur seketika kala melihat siapa yang datang.Roseline menatap datar ke arah tamu yang tak undang itu. Entah apa tujuannya mendatangi rumahnya. Hanya saja kehadirannya membuat Roseline merasakan aura yang tidak mengenakkan."Apa kau kaget dengan kedatanganku? Apa kau mengira kalau aku adalah Jovan?" Tutur orang itu dengan senyuman miringnya. Menatap Roseline dengan tatapan meremehkan."Apa tujuanmu kemari?" Tanya Roseline tanpa basa-basi.Orang tertawa sinis. "Sangat to the point. Baiklah, aku menyukai orang yang tidak basa-basi," ujarnya kemudian menatap Roseline dengan tajam. "Ceraikan Jovan."Roseline mendengus pelan. Seharusnya tanpa ia tanya pun ia sudah tahu apa tujuan wanita di depannya itu menyambangi rumahnya. Ya, Roseline jelas tahu hubungan antara Jovan dengan wanita masalalunya karena Jovan pernah membawanya ke kantor. Ia tahu kalau Deluna pasti tidak terima kala Jovan lebih memilih menikahinya daripada menikahi gadis itu."Mimpi saja," balas Roseline dengan lugas. Membuat Deluna menatapnya marah. Ia tidak menyangka k
Jovan meletakkan sebotol berisi butiran pil di atas nakas samping ranjang Roseline. Kedua netra Roseline menatap obat itu dengan seksama. Kemudian kembali menatap Jovan."Apa itu?" Tanyanya penasaran. Sedikit kaget kenapa Jovan memberikan obat-obatan kepadanya. Jelas saja itu membuat Roseline menjadi bingung."Apa kau pikir aku ingin memiliki anak dari wanita hina sepertimu?" Tutur Jovan terdengar begitu menyakitkan di telinga Roseline.Roseline menatap Jovan tak percaya. Bagaimana bisa manusia berwajah malaikat seperti Jovan memiliki hati bak iblis? "Kau—" Roseline tak lagi mampu mengucapkan sepatah katapun.Bukankah kemarin Jovan yang menginginkannya? Bukankah kemarin Jovan yang memintanya? Bukankah kemarin Jovan juga terlihat menikmatinya? Lantas mengapa lelaki itu bersikap begitu kejam? Apa bagi Jovan, Roseline hanya—"Kau hanya akan menjadi pemuasku saja. Jadi jangan berharap lebih karena aku tidak akan sudi memberikan cintaku padamu," tukas Jovan lagi.Membuat sebulir kristal j
Setelah selesai makan bersama sang mertua, Roseline memilih untuk berjalan-jalan menyusuri rumah milik Abraham. Rumah yang tampak megah namun hanya di huni oleh Abraham seorang, dan beberapa pelayan yang tinggal disini. Roseline yang belum banyak mengetahui tentang keluarga suaminya, tentu bertanya-tanya kemana mereka? Apa Jovan tidak memiliki adik? Atau kakak mungkin? Lantas kemana ibunya Jovan? Ingin rasanya Roseline menanyakan itu namun rasanya tidak pantas. Ia tidak ingin Jovan mengira kalau dirinya terlalu banyak ingin tahu.Melihat ada sebuah gazebo di dekat kolam renang belakang rumah, Roseline langsung berjalan ke arah sana dan duduk di sana. Setelah selesai makan, Jovan pun langsung pamit pergi entah kemana. Begitu juga Abraham yang memilih untuk beristirahat. Roseline mengamati sekelilingnya, udara disini terasa lebih sejuk daripada di rumah Jovan. Mungkin ia akan betah jika tinggal di sini. Apalagi, Abraham sangat baik padanya.Membicarakan Abraham, ia jadi teringat dengan
Roseline menautkan kedua tangannya dengan gelisah. Matanya tak berhenti menatap jam yang tergantung di dinding berulang kali. Sudah hampir pukul satu pagi tapi jovan belum juga pulang ke rumah. Roseline tidak tahu harus berbuat apa. Ditambah ini adalah hari pertamanya menginap di rumah mertuanya. Apa yang akan ia katakan pada Abraham kalau mertuanya itu menanyakan keberadaan Jovan?Roseline berjalan kesana kemari memikirkan cara untuk menemukan Jovan. Sial! Ia sendiri tidak tahu tempat yang sering di kunjungi oleh Jovan. Terlebih lagi mereka masih baru menikah. Tidak banyak hal yang Roseline tahu tentang Jovan. Roseline pun mengambil ponselnya, mencari nomor Jovan untuk menghubungi lelaki itu. Terdengar nada panggilan tersambung yang cukup lama. Namun tidak di jawab oleh pemiliknya. Sebenarnya apa yang terjadi? Roseline semakin risau dibuatnya.Untuk kesekian kalinya, ia menilik jam yang tergantung di dinding. Sudah setengah dua pagi, tidak ada pilihan lain selain pergi keluar mencari
Roseline memapah Jovan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, semoga saja Abraham belum terbangun dari tidurnya. Roseline memeluk erat pinggang Jovan agar lelaki itu tidak jatuh. Jujur saja, Jovan memiliki tubuh yang cukup berat bagi Roseline yang bertubuh mungil harus mengeluarkan banyak tenaga agar bisa membawa Jovan ke kamar. Terlebih lagi kamar mereka berada di lantai dua. Roseline berjalan perlahan menaiki anak tangga satu persatu. Sesekali membenarkan posisi Jovan di pelukannya. Takut kalau Jovan bereaksi lain dan malah membuat lelaki itu jatuh. Setelah usahanya yang susah payah, akhirnya mereka sampai di kamarnya. Roseline segera membaringkan tubuh Jovan di atas ranjang. Melepaskan sepatu serta menaikkan selimutnya hingga sebatas dada.Roseline menatap wajah Jovan yang terlelap. Seulas senyum tipis tercetak di bibir tipisnya. Menyadari betapa tampan suaminya itu. Hanya saja, sikap Jovan yang selalu menyakitinya itu. Memb
Sore ini, Jovan dan Roseline memutuskan untuk pulang ke rumah. Selama perjalanan, keduanya saling bungkam. Ditambah dengan raut wajah Jovan yang tampak tegang. Sepertinya lelaki itu masih marah karena kejadian tadi. Roseline berdehem sebentar kemudian melirik ke arah Jovan. "Apa kau masih marah karena perkataan papa tadi?" Tanyanya hati-hati. Tidak ingin memancing emosi Jovan kembali.Jovan bungkam. Tampaknya tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Roseline. Lelaki itu terus fokus dengan jalanan yang ada di depannya.Melihat itu, Roseline memilih untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi. Melihat itu, membuatnya merasa rindu dengan masa dia kerja dulu. Apakah kalau ia kembali bekerja, Jovan akan mengizinkannya?"Aku ingin kembali bekerja," ujar Roseline tiba-tiba.Mendengar itu, Jovan langsung menolehkan kepalanya ke arah Roseline. Menatap wanita itu dengan tatapan tajam."Tidak ada yang mengizinkanmu kemba
Jovan tengah duduk termenung di meja kantornya. Hari ini ia sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Entahlah, setelah melihat ada Roseline di dalam kamarnya pagi tadi, membuat suasana hatinya memburuk. Apalagi saat ia tahu bahwa wanita itu yang telah merawatnya saat ia demam semalam. Dan lagi, ia tahu kebiasaan dirinya kalau demam pasti akan meracau. Membuatnya berpikir kalau Roseline pasti mendengar racauannya.Shit! Jovan melempar bolpoin yang ada ditangannya dengan kasar hingga bolpoin itu terpental hingga ke lantai. Pikirannya menjadi kacau. Tidak. Tidak seharusnya seperti ini. Ingat Jovan, tujuan awalmu menikahi Roseline itu apa. Jangan sampai karena hal kecil yang wanita itu lakukan padamu, membuatmu menjadi iba. Tidak.Jovan terus mengingatkan dirinya tentang tujuannya menikahi Roseline dan juga dengan Deluna, wanita yang dicintainya itu. Wanita yang seharusnya menjadi masa depannya. Jovan menghembuskan nafasnya kasar. Sial! Bisa-bisanya ia menjadi tidak fokus hanya karena
"Biar saya saja yang mengantarkan kepada pak Jovan," sela Deluna saat melihat resepsionis hendak berjalan mengantarkan berkas milik Jovan.Resepsionis itu tersenyum dan langsung memberikan berkas itu kepada Deluna. "Terimakasih, Bu."Deluna tersenyum tipis membalasnya. Kemudian segera bergegas menuju ruangan Jovan. Seperti biasa, ia mengetuk pintu terlebih dulu setelahnya masuk ke dalam. Senyumnya melebar saat melihat Jovan yang tengah membaca beberapa berkas di atas meja.Jovan menaikkan pandangannya saat melihat kedatangan Deluna. Lelaki itu tersenyum simpul menyambut kekasihnya. Ia segera bangkit dan langsung memeluk pinggang Deluna dengan posesif. Bibirnya mendarat di pipi wanita itu kemudian merambat turun ke leher jenjang milik Deluna. Nafasnya mulai memburu namun dengan cepat Deluna menjauhkan diri membuat Jovan langsung memasang wajah penuh kecewa. Wanita itu berjalan mendekati meja Jovan dan meletakkan dokumen yang tadi ia minta Roseline antarkan. "Kau bertemu Roseline?" Ta